Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-
Tampilkan postingan dengan label Berita Kampus. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Berita Kampus. Tampilkan semua postingan
Dimuat dalam Harian Kompas, 2 Februari 2013.



Bencana banjir yang terjadi di ibukota, menimbulkan kepedulian dari berbagai elemen masyarakat di setiap daerah. Tak terkecuali dengan mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang turut berpartisipasi menggalang bantuan bagi korban banjir Jakarta. Mahasiswa yang berasal dari sejumlah organisasi mahasiswa UPI tersebut, membuat sebuah forum solidaritas bernama “Warga UPI Peduli Banjir Jakarta”.


Mentari menggantung di ubun. Untuk udara sekaliber Bandung, rasanya panas betul siang itu (15/2). Mustandi sudah paham bagaimana kiranya terpaan terik mentari. Meskipun begitu, tak menyurutkan niatnya meletakkan karangan bunga di lokasi terbunuh anak pertamanya.

Bumi Siliwangi, isolapos.com-

Sejumlah mahasiswa yang mengatasnamakan diri sebagai Komite Mahasiswa Tolak Parkir Berbayar di UPI, mengadakan aksi dengan berorasi di depan pelataran parkir bekas gedung Pentagon, menolak pemberlakuan pemungutan tarif parkir di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Kamis sore (3/3)

Dalam orasinya, mereka meneriakan bahwa penarifan parkir di UPI merupakan usaha komersialisasi pendidikan, merekapun menilai bahwa hal tersebut sebagai suatu tindakan pemerasan kepada mahasiswa, dan harus secara penuh ditolak.

“Secara keras kami menolak ketidak bijakan universitas untuk memungut uang parkir, apapun bentuknya tanpa syarat,” tegas Restu Nur Wahyudin, sebagai koordinator lapangan aksi tersebut.

Beberapa mahasiswa pengendara kendaraan bermotor juga terlihat membuang dan menyobek karcis parkir Tanda Masuk Kampus (TMK) uji coba, ketika melihat aksi tersebut.

Restu mengancam, jika suara mereka tidak segera direspon pihak universitas, mereka akan mengadakan aksi besar-besaran untuk menolak penerapan tarif perparkiran tersebut, dengan mengerahkan semua organisasi kemahasiswaan yang ada di UPI.

“Kami juga mengajak kepada semua mahasiswa dan civitas akademika yang tidak setuju penerapan perparkiran di UPI, untuk bergabung bersama kami menolak pemerasan ini,” Ujar Restu seusai aksi. [Isman R Yusron]

sumber: http://isolapos.com/?p=685

Komite Mahasiswa Tolak Parkir Berbayar bersama perwakilan Organisasi Mahasiswa (Ormawa) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) mengadakan audiensi bersama Pembantu Rektor bidang Keuangan dan Sumber Daya, Idrus Affandi, mengenai pemberlakuan tarif parkir berbayar di UPI, Selasa (8/3).

Mereka menuntut untuk membatalkan rencana pemberlakuan tarif parkir bagi civitas akademika yang membawa kendaraan masuk ke wilayah kampus.

“Kami, sangat keberatan dengan penerapan parkir berbayar ini, dan kami meminta untuk menghentikan segala bentuk komersialisasi di kampus UPI ini,” Ujar Restu Nur Wahyudin, koordinator Komite Mahasiswa Tolak Parkir Berbayar.

Pihak universitas berdalih bahwa pemberlakuan tarif parkir ini dalam rangka untuk penertiban parkir di kampus UPI. “Persoalan parkir di UPI ini sangat semrawut, dengan pengaturan parkir ini kita harapkan parkir bisa tertib,” ujar Idrus.

Audiensi yang diselenggarakan di ruang rapat gedung Isola tersebut memunculkan beberapa opsi tentang perparkiran di UPI, salah satunya yaitu perwakilan mahasiswa menginginkan untuk diterapkan denda kepada mahasiswa yang tidak tertib.

“Karena tujuannya untuk menertibkan, berikan saja denda bagi yang tidak tertib, tidak harus memungut uang parkir kepada semua mahasiswa,” Usul Sigit Pramono kepada Idrus.

“Pada dasarnya kami setuju tentang penertiban parkir di UPI, namun kami keberatan jika UPI harus memungut bayaran kepada mahasiswa,” tambah Riki Ardiyanto, wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa UPI.

Hampir saja idrus menyetujui tentang usulan mahasiswa tersebut, namun Cecep Darmawan, Direktur Kemahasiswaan malah memberikan opsi lain yaitu dengan menerapkan sistem yang ada di Institut Teknologi Bandung (ITB).

“Sudah saja seperti di ITB, semua kendaraan tidak diperbolehkan masuk kampus, dan silahkan parkir diluar kampus,” ujar Cecep dalam audiensi tersebut.

Sontak saja, semua perwakilan mahasiswa yang hadir menentang hal tersebut, lalu audiensi jadi berlangsung alot, pasalnya kedua belah pihak tidak mendapatkan titik temu antara keinginan mahasiswa dengan keinginan universitas.

Setiap keinginan mahasiswa yang disampaikan, tidak juga mendapat persetujuan universitas.

Karena tidak ada titik temu,maka Idrus menantang mahasiswa untuk membuat konsep perparkiran di UPI sendiri dan sampaikan di audiensi selanjutnya.

“Silahkan atur parkir sendiri, jangan libatkan pihak keamanan, Saya cabut peraturan itu kembali dan saya instruksikan kepada keamanan agar bertugas sesuai tupoksi saja, tak perlu jaga parkir,” tandas Idrus sambil menutup audiensi.

Dengan instruksi idrus tersebut, sampai audiensi selanjutnya seluruh pihak keamanan penjaga parkir ditarik dan tidak boleh memungut biaya parkir.

Rencananya, audiensi kedua akan dilakanakan pada tanggal 15 maret mendatang, atau seminggu setelah audiensi pertama. [Fikri Fasha]

sumber: http://isolapos.com/?p=695

Tim satuan keamanan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), ditarik tugasnya dari penjagaan gerbang serta pengamanan parkir. Mulai pagi tadi (09/03), tak tampak Satpam menjaga setiap gerbang masuk kampus atau memberikan kartu parkir kendaraan seperti biasanya.

Hal itu berdasarkan instruksi dari Pembantu Rektor bidang Keuangan, Sumberdaya dan Usaha, Idrus Affandi, ketika audiensi bersama mahasiswa di ruang rapat gedung Isola. “saya intruksikan pada pihak keamanan untuk untuk bertugas sesuai tupoksi jadi perparkiran tidak perlu dijaga.” Ujar Idrus Afandi saat melakukan audiensi dengan Komite Mahasiswa Tolak Parkir Berbayar, Selasa (08/03).

Dadi Darmadi wakil ketua satuan keamanan UPI menyatakan bahwa dalam tugas pokok dan fungsi satpam,perparkiran bukanlah merupakan tanggung jawab mereka, akhirnya merekapun membiarkan perparkiran UPI bebas tanpa ada yang mengatur.

“Tugas kami hanya untuk mengamankan aset negara bukan menjaga parkir,” Ujar Dadi saat ditemuiisolapos.com di ruangannya.

Meskipun satpam tidak menjaga parkir, kata Dadi, namun mereka selaku tim keamanan tetap menjaga kemanan lingkungan civitas akademika UPI. “seperti sekarang kami menemukan kunci motor mahasiswa yang kelupaan tergantung di motornya,” ungkap Dadi sambil menunjukan kunci motor.

“Kondisi seperti ini akan berakhir jika ada intruksi dari pimpinan,” Ujar Dadi. [Rifqi Nurul Aslami]

sumber: http://isolapos.com/?p=701


Komite Mahasiswa Tolak Parkir Berbayar (KMTPB) mengadakan audiensi kedua mengenai tindak lanjut masalah perparkiran lingkungan kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dengan Pembantu Rektor bidang Keuangan Sumber Daya dan Usaha, Idrus Affandi, di gedung rektorat Selasa (15/3).

Mengenai tindak lanjut tentang hal ini, pihak universitas masih menunggu keputusan rektor selanjutnya. “UPI bertanggung jawab kepada seluruh mahasiswa dan harus mengamankan kecuali aset mahasiswa,” ujar Idrus dalam audiensinya.

Ia menambahkan dana parkir itu sebagiannya akan masuk kepada Pemerintah Daerah (Pemda). “Dana parkir ini tidak akan dipakai yang macam-macam,” tambahnya. Selain itu, ia menyatakan bahwa tenaga satpam di UPI akan menjadi beban honor parkir. “40 orang satpam akan dilatih menjadi tenaga perparkiran,” tandasnya.

Koordinator KMTPB, Restu Nur Wahyudin menyatakan keberatan apabila tarif parkir ini berlaku karena tidak semua mahasiswa mampu menerima kebijakan ini. “Ini merupakan wujud perhatian kami pada kampus, bukan merupakan suatu pertentangan,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Idrus tidak menyetujui tentang konsep perparkiran yang diajukan mahasiswa karena ia menganggap mahasiswa yang membawa kendaraan tidak mungkin dikatakan tidak mampu. “Emangnya orang-orang yang masuk UPI itu orang-orang miskin?,” ujarnya.

Audiensi yang diadakan di gedung rektorat itu tidak mencapai kesepakatan karena Idrus menyatakan setiap kebijakan yang dibuat pasti ditolak mahasiswa dan ia menganggap semua kebijakan yang dikeluarkan rektor tidak akan pernah memberatkan mahasiswa. “Saya akan membuat aturan tanpa terkecuali dosen dan karyawan,” ujarnya.

Akan tetapi, menurut Muhamad Fauzi Ridwan, salah satu perwakilan Komite Mahasiswa Tolak Parkir Berbayar, hal ini dinilai memberatkan mahasiswa bila dipungut biaya. “Kalau rektor tidak akan memberatkan mahasiswa, maka yang menjadi keberatan kami adalah parkir berbayar,” ujarnya.

Audiensi tersebut diakhiri dengan tanya jawab antara perwakilan mahasiswa dengan rektorat meski penjelasan dari Idrus masih simpang siur dan dilanjutkan dengan penyerahan petisi keberatan kepada Direktur Direktorat Kemahasiswaan, Cecep Darmawan, karena Idrus tidak mau menerima langsung petisi tersebut. [Fikri Fasha]

sumber: http://isolapos.com/?p=714

Bumi Siliwangi, isolapos.com-,

“Tolak tarif parkir untuk kita semua, parkir harus gratis untuk kita semua, karena fasilitas untuk kita semua,” teriak Restu, Koordinator Komite Mahasiswa Tolak Parkir Berbayar saat menggelar aksi di selasar Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Aksi yang dilakukan senin (28/3), dimaksudkan untuk mencari dukungan dengan mengumpulkan tanda tangan dari mahasiswa yang menolak parkir berbayar. Hal ini dilakukan untuk mengingatkan kembali mengenai isu parkir berbayar yang belum terselesaikan sampai saat ini. “Cara ini dilakukan untuk menjaga agar isu tetap didengar,” ucap Faizal Arifin, koordinator tolak parkir berbayar FPIPS.

Dalam orasi itu Hamka, ketua himpunan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) mengemukakan bahwa UPI tidak pantas untuk mengkomersialisasikan sarana dan prasarana. “UPI bukanlah lembaga komersil, apalagi menentukan kebijakan tarif parkir,” ucap Hamka.

Aksi yang berlangsung dari pukul 12.00-14.00, menghasilkan sekitar seratus tanda tangan dari para mahasiswa. Di tengah orasi Ali Mahfud, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa (BEM Rema) UPI, mengatakan bahwa pendapatan parkir yang diterima UPI dalam sehari mencapai 7 juta dari 7 ribu kendaraan. “Itu artinya satu tahun, UPI akan mendapatakan 2,1 milyar dari perparkiran,” ucap Ali. “Itu akan menjadi peluang usaha jika fasilitas UPI harus bayar,” tambah Ali.

Saat dimintai keterangan lebih lanjut Faizal mengatakan bahwa rencananya aksi itu akan dilakukan selama satu minggu ke depan ke semua fakultas. “Kami akan melakukan roadshow to fakultas,” ujar Faizal. Rabu minggu ini Komite Tolak Parkir Berbayar merencanakan untuk menggelar aksi di Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS). “Kami akan melakukan aksi siang hari di FPBS”, tambah Faizal. [Resti S Cahyati & Julia Hartini]


sumber: http://isolapos.com/?p=810

“Apakah artinya tata warna dan naluri rendah demi kartu parkir,” teriak M. Aldi Febrian salah seorang anggota Komite Mahasiswa Tolak Parkir Berbayar saat orasi di belakang Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Rabu (30/3).

Aksi tersebut merupakan kelanjutan dari roadshow yang sebelumnya sudah dilakukan di Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Aksi kali ini sedikit berbeda, bukan hanya mengumpulkan tanda tangan mahasiswa sebagai petisi penolakan parkir berbayar, namun aksi didominasi dengan apresiasi puisi. “Ketika susasana bising dengan kartu parkir,” teriak Zulfa Nasrullah salah seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Ditengah-tengah aksi, Langgeng Prima A. anggota Komite Mahasiswa Tolak Parkir Berbayar, dipanggil oleh Pembantu Dekan II FPBS Andoyo. Andoyo menjelaskan bahwa aktivitas tersebut mengganggu proses belajar mengajar.

Menurut Andoyo, alat musik gimbe yang digunakan saat orasi sangat mengganggu. Selain itu, tidak adanya surat izin dalam orasi tersebut.

Menanggapi pernyataan andoyo, langgeng menyatakan bahwa aksi yang dilakukan tadi tidak memicu keributan“Saya rasa apresiasi yang dilakukan dibelakang FPBS tadi tidak menganggu karena dilakukan di luar gedung,” ujar Langgeng. [Nisa Rizkiah & Julia Hartini]

sumber: http://isolapos.com/?p=863

Bumi Siliwangi, isolapos.com-

Belum selesai permasalahan parkir selepas audiensi, Rabu pagi, (09/03) beredar pamflet yang mengatasnamakan Unit Kegiatan Study Kemasyarakatan (UKSK). Pamflet itu bertuliskan “Segala kehilangan dan keamanan kampus di tanggung oleh UKSK UPI”, tertempel di setiap sudut wilayah kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

Dini Yulia, ketua Unit Kegiatan Mahasiswa UKSK mengungkapkan bahwa dia tidak mengetahui siapa yang menyebarkan Pamflet itu, pasalnya mereka tidak merasa menyebarkan pamflet tersebut. “Saya mengetahui tentang pamflet itu juga dari teman-teman mahasiswa yang menghubungi kami,” ujar Dini ketika diklarifikasi isolapos.com siang harinya.

Dini, menegaskan bahwa pihak UKSK UPI tidak pernah menyebarkan pamflet yang banyak tertempel di wilayah UPI itu.“Selain pamflet tentang penolakan perparkiran berbayar, kami tak pernah menyebar pamflet lain, ini sepertinya ada yang ingin mengadu domba kami,” kata Dini.

Setelah beredarnya pamflet tersebut, Restu Nur Wahyudin, koordinator Komite Mahasiswa Tolak Parkir Berbayar, menerima pesan singkat dari nomor tak dikenal yang mengatasnamakan mahasiswa dengan nada mengancam.

Isi pesan singkat yang diterima Restu antara lain, “Kami UKM OLAHRAGA mencari anda! Kami tidak tenang di UPI gara-gara kamu!”

Restu mengaku bahwa dirinya saat ini seperti diteror dan dicemarkan nama baiknya, pasalnya dia tak pernah menyebarkan pamflet tersebut, apalagi mencantumkan nomornya sendiri seperti tertulis dalam pamflet tersebut.

Saya rasa ini sudah bisa disebut pencemaran, sejak audiensi kemarin banyak ancaman yang saya terima melalui SMS (Short Message Service -red), juga dari wakil ketua Satuan Keamanan Pa Dadi, tapi kami tak akan gentar,” tandas Restu.

Ketika ditemui di ruanganya, Dadi Darmadi, mengaku juga mendapat SMS dari beberapa mahasiswa yang tidak suka dengan sikap Restu.

Sayapun sudah menghubungi Restu dan mengatakan pada dia agar hendaknya restu pergi jauh-jauh dari Pusat Kegiatan Mahasiswa(PKM) karena banyak mahasiswa dari Pencinta Alam, anak Fakultas Olahraga dan mahasiwa lainnya yang mengincarnya,” ujar Dadi.

Sampai saat ini, belum diketahui siapa penyebar pamflet yang dianggap mencemarkan nama baik UKSK tersebut, namun Dini menilai bahwa ada permainan di balik semua itu, terutama oleh yang berkepentingan dengan dibatalkannya pemungutan parkir di UPI.

Ini tidak akan menjadikan kami gentar untuk tetap membela mahasiswa, jika dilihat dari pamflet yang tersebar dari pagi sekali, tidak mungkin mahasiswa yang melakukan ini, karena audiensi tentang parkir ini baru kemarin sore, jadi yang bisa tau hanya orang-orang yang ikut audiensi kemarin,” ujar Dini. [Rifki Nurul Aslami]

sumber: http://isolapos.com/?p=706
Jika kita jeli melihat sekitar kita, ternyata banyak kesempatan emas, lowongan pekerjaan, ataupun jabatan tertentu justru diisi atau diduduki oleh orang-orang yang tidak tepat, bahkan tak punya kapabilitas untuk jabatan itu.

raktik nepotisme mengepung kita. Dengan membayar sejumlah uang ataupun semangat ”kekeluargaan atau pertemanan”, mereka bisa masuk atau mendapatkan pekerjaan di instansi atau menduduki jabatan tertentu. Bagaimana mahasiswa Indonesia memandang nepotisme?

Boyle Peranginangin, mahasiswa semester akhir jurusan Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, menyatakan, nepotisme sudah membudaya sehingga banyak pihak menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.

Praktik nepotisme yang dilakukan pada level negara ataupun perusahaan milik negara sama sekali tidak bisa dibenarkan. Selain merugikan pihak yang lebih berhak, praktik nepotisme dapat mencederai rasa keadilan rakyat dan bertentangan dengan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila, khususnya sila kelima.

Negara yang dikelola pegawai yang tak profesional dapat menimbulkan kerugian besar bagi negara dan rakyat, buruknya layanan birokrasi, dan tradisi nepotisme yang tumbuh subur.

Sebenarnya, jika pihak-pihak yang berwenang mempunyai niat tulus dalam mengelola negara, dengan optimistis kita masih bisa berharap praktik nepotisme bisa dihilangkan. Sanksi yang tegas dan mempunyai efek jera perlu diberikan kepada pihak yang melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Kita perlu belajar dari China yang berkembang menjadi salah satu kekuatan dunia, diawali dengan pemberantasan KKN tanpa tebang pilih. Negara kita juga bisa kalau punya kemauan politik kuat, tak sekadar janji pada saat kampanye. Di sini diperlukan tindakan nyata.

Fikri Arief Husaen, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, juga prihatin terhadap maraknya praktik nepotisme.

Dalam kesempatan perekrutan dalam sebuah organisasi, lembaga, ataupun pemerintahan, baik pada pengaderan, lowongan pekerjaan, beasiswa, dan jabatan, hampir dalam setiap kesempatan ”emas” itu terjadi praktik nepotisme. Nepotisme ibarat penyakit sosial yang menular dengan mengatasnamakan kekerabatan atau teman akrab.

Hal ini merupakan permasalahan serius yang harus dihilangkan karena merugikan banyak pihak. Mereka yang memiliki kompetensi dan kemampuan lebih atau mumpuni tersisihkan oleh mereka yang relatif tak tepat penempatannya, hanya gara-gara praktik nepotisme.

Sistem birokrasi

Adang Nur Muhammad I Al-Sadaaf, mahasiswa jurusan Broadcasting Bina Sarana Informatika, Jakarta, berpandangan bahwa nepotisme dalam sistem birokrasi itu sarat akan motivasi menolong sahabat atau saudara (subyektif).

Nepotisme merupakan jalan pintas dan instan. Pada berbagai lini, nepotisme terus mengalami pertumbuhan dan bermanuver lebih rapi. Di sini mahasiswa bisa menjadi bagian dari usaha mengikis nepotisme, setidaknya di dalam kampus.

Bagaimanapun, kampus adalah bagian dari proses yang mendidik kita untuk menjadi seseorang dalam masyarakat. Setidaknya sejak dari kampus, seharusnya kita sudah memiliki pola pikir bahwa pekerjaan atau posisi yang kita inginkan bukan diperoleh dari kemudahan karena koneksi.

Sementara Ineke Yulianti, mahasiswa Jurusan Perhotelan Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Jakarta, menyayangkan bila ada sebagian mahasiswa yang bisa masuk ke perguruan tinggi favorit karena nepotisme.

”Misalnya karena jabatan ayahnya, pengaruh ibunya, atau alasan lain, tetapi bukan karena kompetensi yang dimilikinya. Hal serupa juga bisa terjadi pada pemberian beasiswa,” katanya.

Allin Esa Widara, mahasiswa Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan Politeknik Negeri, Jakarta, menyatakan, praktik nepotisme bisa dikatakan ”sudah umum” terjadi dalam masyarakat. Ini seakan sudah menjadi rahasia umum.

Meski sebenarnya kita tahu, pada akhirnya hal tersebut merugikan pihak yang benar-benar berkompeten di bidangnya dan menguntungkan pihak lain yang belum tentu ahli dan mampu mengemban tanggung jawab atas tugas atau jabatan yang disandang.

Sejak dulu

Cipto Wardoyo, mahasiswa Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta menyatakan, praktik nepotisme di Indonesia sudah ada sejak masa Orde Baru. Ketika itu, sebagian jabatan strategis didominasi oleh orang-orang dekat atau kerabat penguasa.

Hingga kini praktik-praktik nepotisme seperti itu masih tumbuh subur, bahkan semakin menggurita dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Bahkan, praktik-praktik nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan kalangan pejabat, tetapi juga oleh hampir sebagian ”besar” masyarakat kita.

Praktik nepotisme memang tidak ”tampak jelas” seperti tindakan korupsi ataupun kolusi. Namun, jika terus dibiarkan, ini akan menjadi semacam bom waktu bagi bangsa Indonesia. Boleh dibilang bahwa nepotisme merupakan musuh dalam selimut di tubuh NKRI.

Maka, perang melawan segala praktik nepotisme di Tanah Air adalah sebuah keharusan yang amat mendesak. Ini harus kita lakukan bersama. Perang melawan nepotisme memang tidak semudah yang dibayangkan. Namun, paling tidak, harus ada komitmen bersama dalam wujud tindakan nyata untuk melawan segala bentuk praktik nepotisme.

Nurul Anisa Putri, mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menyatakan, pada era globalisasi yang membuat kompetisi semakin ketat, banyak orang mengambil jalan pintas. Ingin bekerja di perusahaan terkenal mesti ada relasi dengan orang dalam, ingin dapat beasiswa ke luar negeri atau masuk kerja ke sebuah instansi harus membayar sejumlah biaya. Apa jadinya negeri ini bila orang sudah menghalalkan segala cara.

”Miris melihat fenomena ini semakin menjadi-jadi meski terkadang ditutup rapat oleh para oknumnya. Hal seperti ini bisa menghadang jalan mereka yang berprestasi, mereka yang berjuang mengandalkan kemampuannya sendiri,” papar Nurul Anisa.(LOK)

Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/16/05404053/nepotisme.mengepung.kita






Ada yang akan lulus akhir tahun ini? Siap-siaplah antre mencari kerja. Mau ”booking” urutan berapa? Aha..., tak ada yang bisa memastikan nomor antrean kamu. Yang jelas, kamu akan masuk urutan dua juta ke atas karena memang sebanyak itulah pengangguran intelektual kita.

” Saya tak takut... saya kreatif, inovatif, percaya diri...,” begitu banyak komentar yang masuk ke e-mail Kompas Kampus.

Jika hingga kini sampai mahasiswa semester akhir kamu masih tetap santai, pacaran keterlaluan, IP jeblok, tak pernah berorganisasi, tak pernah punya keahlian spesifik, dan tak ada minat berwirausaha, itu sama saja membunuh masa depan diri sendiri.

Ah, kesempatan kerja itu, kan, sebagian karena keberuntungan dan koneksi berbasis nepotisme? Tidak selamanya kawan!

Sebagian besar memang benar-benar terukur, berdasarkan prestasi, keahlian, pengalaman kerja, pengalaman berorganisasi, kemandirian, dan kesan pertama pencari kerja terhadap pribadi kamu dan curriculum vitae (CV) kamu.

Lulus kuliah dalam kondisi menganggur adalah sesuatu yang benar-benar membuat dunia kita seperti runtuh. Selain malu, ada beban ekonomi yang harus dipanggul. Jadi, persiapkan baik-baik, pupuk motivasi kamu, dan pastikan nanti kamu bisa menghiasi CV kamu dengan biodata yang mengesankan.

Makanya, jangan heran, jangan pernah mencibir teman-teman kamu yang mendapat tugas magang di berbagai bidang kerja. Magang adalah pengalaman awal untuk menyerap iklim kerja dan menyesuaikan diri dengan keahlian yang dimiliki.

Christy Pattipeiluhu, Communications Specialist dari IBM Indonesia, mengatakan, tak bisa dimungkiri bahwa tenaga kerja yang baru lulus saat ini adalah tenaga kerja yang siap didik. ”Tapi bukan tenaga kerja siap pakai,” katanya.

Magang adalah salah satu cara murah untuk mengondisikan seseorang untuk menuju siap pakai di dunia kerja. ”Melalui berbagai pengamatan, soft skills seperti cara menelepon, cara menulis e-mail, presentasi, berhubungan dengan berbagai kalangan mutlak perlu kembali diajarkan,” tuturnya.

International Business Machine (IBM), salah satu penyedia solusi teknologi, juga menyediakan sarana magang. Namun, tak gampang untuk bisa magang di sebuah institusi.

Menurut Christy, dari hampir 1.000 pelamar dari berbagai universitas terkemuka di Indonesia, hanya 20 talenta muda yang terpilih pada program apprentice IBM. Apabila para apprentice ini memperlihatkan kemampuan yang menonjol, tidak tertutup kemungkinan untuk direkrut langsung oleh IBM.

”Berbagai hal menarik lainnya, seperti program mentoring ke universitas-universitas juga kami lakukan untuk memberikan gambaran nyata tentang dunia kerja di lingkungan TI yang sesungguhnya,” papar Christy.

Kurang serasi

Dengan cara itu, industri bisa mengomunikasikan kepada perguruan tinggi, tenaga kerja seperti apa yang sebenarnya diinginkan. Persoalan tidak nyambungnya antara perguruan tinggi dan dunia usaha ini memang persoalan klasik yang harus segera dipecahkan.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar juga pernah mengungkapkan hal itu. Bahkan, menurut Muhaimin, akibat kurang serasinya hasil pendidikan dan pelatihan dengan kebutuhan pasar kerja, daya saing Indonesia jadi rendah di mata internasional.

Tingkat daya saing Indonesia hingga saat ini hanya masuk peringkat ke-54 dari 133 negara berdasarkan survei Lembaga World Economic Forum 2010. Pelajaran kewirausahaan di bangku sekolah adalah mutlak diperlukan jika ingin bersaing dengan bangsa lain (Kompas, 11 Oktober 2010).

Benar kata banyak orang, lapangan kerja sebenarnya luas terbentang jika kita kreatif, ulet, inovatif, dan berkemauan keras untuk menciptakan lapangan usaha sendiri. Apalagi di dunia teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK) masih banyak celah yang bisa kita tekuni.

Mumpung pesaing-pesaing kamu masih terlelap dan terbuai dengan main-main media sosial seperti Twitter dan Facebook, kini saatnya kamu untuk kreatif. Mulailah bangun kerajaan bisnis kamu sendiri di atas fondasi yang nyata dan berdaya saing tinggi.

Memiliki usaha sendiri dan kemudian menjadi pemimpin di industri bukanlah persoalan ada tidaknya modal. Ini lebih kepada kemauan dan keterampilan membaca peluang.

Misal, jika kamu belum bisa membangun distro pakaian sendiri, bergabunglah dengan teman kamu yang sudah punya. Tak harus menunggu lulus untuk berwirausaha, tak harus menunggu punya modal untuk bisa berbisnis.

Jika kamu belum bisa menyewa toko di pinggir jalan, jadikan website, blog, dan forum jual beli gratisan sebagai showroom atau lapak asongan kamu. Manfaatkan jaringan teman-teman kamu untuk membantu tumbuh kembang bersama.

Jangan malu karena keajaiban bisa bermula dari dukungan kecil teman-teman kamu. Kata forum di sebelah, ”Bantu sundul saja gan... up... up... up!” Kelak, semua itu akan menjadi investasi masa depan kamu. (Amir Sodikin)

Sumber:

http://cetak.kompas.com/read/2010/11/30/04470047/saatnya.investasi.pengalaman.kerja

Lemahnya budaya meneliti, sarana-prasarana yang tak memadai, serta kebijakan pemerintah yang kurang mendukung menyebabkan banyak dosen enggan meneliti. Untuk karier di perguruan tinggi, mereka lebih suka menyiasati angka kredit dari publikasi di jurnal nasional.

Banyak dosen mengeluhkan tingginya beban mengajar sehingga tugas meneliti terabaikan.
-- Muhamad Ali

”Banyak dosen mengeluhkan tingginya beban mengajar sehingga tugas meneliti terabaikan,” kata Ketua Laboratorium Mikrobioteknologi Universitas Mataram Muhamad Ali saat dihubungi Kamis (9/12/2010).

Persaingan mendapatkan dana penelitian sangat ketat. Kebijakan pemerintah yang menekankan pada riset berbasis produk membuat dosen ilmu dasar sulit bersaing merebutkan dana yang terbatas.

Saat proposal penelitian disetujui, banyak dosen, khususnya di Indonesia timur, terkendala peralatan dan akses informasi ilmiah yang terbatas. Seusai meneliti, sebagian dosen memilih memublikasikan hasilnya di jurnal lokal intraperguruan tinggi atau jurnal nasional. Selain lebih mudah dan lebih cepat pemuatannya, angka kredit atau kum-nya tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian yang dimuat jurnal internasional.

”Pembatasan maksimal dua publikasi per semester untuk setiap dosen justru menghambat penelitian,” ungkapnya.

Koordinator Penelitian Unit Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung Ahmad Faried mengatakan, di luar persoalan teknis meneliti, seperti menyusun proposal penelitian yang detail, peneliti masih dibebani hal- hal birokratis, seperti penyusunan laporan kemajuan penelitian dan pelaporan dana penelitian sesuai sistem keuangan negara.

”Muncul ketakutan di antara peneliti, uang penelitiannya sedikit, tapi pelaporannya rumit. Risikonya pun berat,” ujarnya. (ELN/MZW)

Sumber:

http://edukasi.kompas.com/read/2010/12/10/0856389/Ini.Lho.Penyebab.Dosen.Enggan.Meneliti..
Profesor Kai-Ming Cheng:"World Class University Is Not Built Overnight"

Dalam upaya menuju universitas kelas dunia (world class university) Indonesia perlu mengetahui apa sebetulnya yang dimaksud dengan istilah itu, bagaimana cara mencapainya dan apakah memang perlu semua perguruan tinggi Indonesia mengejar taraf universitas kelas dunia ini. Untuk itulah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi berinisiatif mengundang Profesor Kai-Ming Cheng, guru besar University of Hongkong untuk membicarakan tentang universitas kelas dunia ini.

"Saya melakukan pembicaraan dengan World Bank, bagaimana caranya mengukur universitas kelas dunia ini dan siapa kira-kira pakarnya yang bisa didatangkan. World Bank mengatakan ada dua orang, yaitu Profesor Jamil Salmi dan Profesor Kai-Ming Cheng. Akhirnya kita mendapatkan professor Kai-Ming ini untuk bertatap muka langsung. Sementara dengan Profesor Jamil Salmi, bersama Menteri Pendidikan Nasional sebelumnya kita telah melakukan teleconference selama kurang lebih 3 jam" kata Dirjen Dikti, Fasli Jalal, dalam pengantarnya sebelum dimulainya ceramah ilmiah Profesor Kai-Ming.

Acara dengan Profesor Kai-Ming dihadiri oleh seluruh unsur dalam lingkungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, mulai dari eselon 1 sampai IV. Formatnya dalam bentuk ceramah ilmiah. Acara yang digelar pada 13 Februari 2008, 19.00 itu dipandu langsung oleh Dirjen Dikti, sekaligus sebagai penterjemah dari uraian-uraian Profesor Kai-Ming.

[ Profesor Kai-Ming Cheng adalah seorang dosen di University of Hongkong. Jika kita perhatikan Brand Top 100 Universtitas di dunia yang dirilis pada 2007 oleh Times Higher Education Supplement, maka University of Hongkong berada pada urutan 18 besar berdekatan dengan universitas-universitas seperti Harvard, Yale, Oxford, Cambridge, Massachusetts institute of Technology. Profesor Kai-Ming adalah menjadi bagian dari kesuksesan ini. Beliau adalah salah satu konseptor dari ide menuju World Class University di University of Hongkong. Dia duduk sebagai dekan ilmu kependidikan dan pernah menjadi wakil rector di sana.Saat ini Profesor Kai-Ming adalah juga direktur filanropy di Hongkong yang bertanggung jawab untuk Fund raising di bidang pendidikan. Lembaga ini baru berumur 8 tahun. Walaupun masih muda, lembaga ini berhasil mengumpulkan uang 100 juta dolar Amerika per tahun. Untuk kawasan Asia Timur ini merupakan jumlah yang fantastis. Oleh karena itu, setengah waktu beliau disibukkan sebagai professor dan
setengahnya lagi sebagai direktur filantropi ini.

Disamping itu beliau adalah juga konsultan untuk UNESCO, World Bank dan berbagai institusi di dunia untuk bidang pendidikan, mulai dari Negara-negara besar sampai Negara-negara kecil. Apa yang disampaikan oleh Profesor adalah berdasarkan pengalaman lapangan, bukan sekedar refleksi teoritis semata].

Prof Kai-Ming memberikan latarbelakang yang sangat menarik kenapa pentingnya universitas kelas dunia ini. Saat ini, kata Profesor, dunia sedang mengalami perubahan yang sangat pesat, baik di bidang sosial, organisasi, model pekerjaan, aktivitas pekerjaan, Front-Line Workers, kehidupan Individu dan termasuk juga ekspektasi. Pemindaian lingkungan ini dikemukakan oleh Profesor Kai-Ming karena pendidikan tinggi banyak dipengaruhi oleh perubahan lingkungan eksternalnya.

Di bidang sosial, menurut Profesor terjadi ekspansi sector jasa, customized product, aktivitas ekonomi yang nyaris tanpa tapal batas, semakin intensifnya interaksi antara manusia, dan sebagainya. Profesor mencontohkan bagaimana customized product terjadi di tengah masyarakat dunia. Saat ini, orang ketika membeli suatu produk tidak lagi karena fungsi tapi karena keunikan mode.

Dari 500 orang yang pernah disurvei sederhana oleh Profesor dalam suatu pertemuan di India tentang siapa saja yang memiliki hp yang sama. Hanya 8 orang saja yang punya hp yang sama. Kecendrungan kebanyakan orang adalah memiliki sesuatu yang eksklusif berbeda dari yang lain.

Kalau dulu hanya dikenal Panasonic saja merek rice cooker, sekarang sudah ada kurang lebih 300 merek. Fungsinya sama, menanak nasi dengan kualitas yang sama, tapi orang butuh sesuatu yang beda. Karenanya produsen tidak lagi memproduksi dalam volume massal, tapi dalam bentuk yang unik dan kreatif. Produk-produk terus mengalami pergantian yang begitu cepat.

Pada aras organisasi, sekarang (professor menyebutnya masa post industrial sebagai lanjutan dari era industrial) tidak lagi berbentuk piramida besar, tapi perusahan/asosiasi kecil; orang tidak lagi producer-centered, tapi client centered; tidak lagi departementalisasi, tapi berbentuk tim; tidak hirarki, tapi datar; tidak lagi struktur yang rumit, melainkan longgar dan cair.

Air bah perubahan juga mengikis model pengaturan pekerjaan. Tidak lagi pembagian tugas, tapi sudah solusi total. Sudah ketinggalan cara-cara kerja individual terspesialisasi, sekarang sudah dalam bentuk tim kerja. Credential base-appointment mulai dilupakan digantikan dengan on-demand just-in time learning.

Individu yang bekerja pada Front-line tidak lagi aman sekarang jika tidak bisa mengikuti gerak perubahan yaitu bisa bekerja dalam kelompok kecil/tim kerja, memiliki kepribadian yang bagus, memiliki skill yang berlapis, kreatif, berani mengambil resiko. Oleh karena itu menurut professor, siklus perjalanan kehidupan pribadi seseorang terkait dengan pekerjaan menjadi multiple Career and Jobs bukan lagi life long career and loyality. Masa depan penuh ketidakpastian, karir naik turun; pemasukan tidak lagi stabil; dalam tantangan itu jaringan semakin luas dan partner silih berganti.

Di Hongkong, menurut Profesor, akibat dari perubahan ini, sedikitnya 300 ribu orang pertahun jatuh menjadi penganggur. Pemerintah Hongkong tidak memiliki pilihan lain, kecuali mendongkrak pendidikan tingginya agar bisa menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang begitu cepat itu. salah satunya adalah dengan mendisain beberapa perguruan tingginya berkelas dunia. Perubahan disain itu mendapatkan momentumnya pada interval 1999-2000 saat terjadi reformasi besar-besaran terhadap system dan paradigma pendidikan di Hongkong.

[ Profesor Kai-Ming secara lebih lengkap menjelaskan apa saja yang mempengaruhi pola berfikirnya dalam reformasi pendidikan dan urgensi pembentukan Universitas kelas dunia. Pertama kapasitas dan pengalamannya di bidang ahli kebijakan pendidikan. Kedua, keterlibatannya dalam lembaga-lembaga internasional sebagai konsultan seperti di UNESCO dan World Bank. Ketiga, pengalamannya sebagai staf pengajar dan pernah juga di structural kampus University of Hongkong, keempat, perubahan paradigma baru dalam pembelajaran yang tidak lagi transfer of knowledge, tapi fasilitasi terhadap student active learning].

Oleh karena itulah dalam rangka menuju universitas kelas dunia, Profesor menjelaskan ada empat hal yang harus ada dalam setiap satuan pendidikan tinggi yaitu reputasi internasional; prestasi penelitian; lulusan yang terkemuka; Partisipasi Internasional. Kalau empat hal ini belum terpenuhi jangan bermimpi dulu menjadi universitas kelas dunia.

Tidak semua empat hal itu dijelaskan dalam ceramah ilmiah, karena banyak sekali indicator-indikator derivasinya. Reputasi Internasional, misalnya memiliki berbagai indicator, Profesor menyebutkan salah satunya, yaitu perengkingan global. ada tiga lembaga perengkingan global yang menjadi rujukan yaitu Times Higher Education Supplement; Shanghai Jio Tong World University Ranking; Webometrics Rangking of World Universities. Masing-masing mengembangkan indicator-indikator penilaian terhadap suatu universitas di dunia.

Times Higher komposisi penilaiannya dilihat dari reputasi akademik berdasar peer Review (bobot 40 %); survey pengguna/Employer Review (10 %); Mahasiswa internasional (5 %); international Staff (5 %); Rasio mahasiswa: dosen (20 %); rata-rata Sitasi per dosen (20 %).

Shanghai Jiao Tong memakai standar penilaian dengan kategori: lulusan yang memenangkan nobel (10 %); staf pemenang nobel (20 %); hasil riset staf dikutip dalam 21 bidang (20 %); artikel dalam nature dan science (20 %); artikel dalam jurnal internasional (20 %); kinerja akademik relatif terhadap ukuran institusi (10 %).

Sementara itu Webometrics melihat pemanfaatan ICT sebagai proxinya dengan indicator: ukuran website (20%); link/jumlah sambungan yang diterima dari luar (50 %); Jumlah Rich Files (15 %); Scholars: kandungan publikasi ilmiah, laporan, jumlah sitasi dsb (15%).

Untuk membangun universitas kelas dunia, menurut Profesor beberapa prasyarat dan komitmen yang tidak bisa ditawar adalah: pertama, pembangunan pendidikan tinggi sebagai prioritas; kedua, harus memperhatikan sumberdaya; ketiga, sudah punya identifikasi institusi; keempat, rekrutmen akademisi; kelima, mengembangkan sumberdaya; dan keenam, melakukan reformasi tatakelola.

Dengan mengambil data tahun 2005, Profesor mencontohkan bagaimana negara-negara di Asia yang talah menjadikan pembangunan pendidikan tinggi sebagai prioritas, misalnya Korea Selatan rasio partisipasi pendidikan tingginya sudah mencapai 84 %; Thaiwan sudah 82 %; Jepang 76.2 %; Singapura sudah 81 % dari 15 % pada 1990-an awal dan Hongkong sendiri sudah 67 % dari 30 % pada 2002.

Bagaimana sumberdaya finansialnya? Profesor Kai-Ming melihat ada tiga hal yang secara simultan dilakukan yaitu pendanaan melalui APBN; donasi pihak swasta dan peran lembaga-lembaga pilantropy.

Terakhir Profesor Kai-Ming mengatakan bahwa membangun universitas kelas dunia bukanlah pekerjaan yang bisa selesai semalam, tapi kendati demikian harus dimulai. Jika tidak dimulai suatu negara tidak akan pernah sampai pada puncak pencapaian itu. "World Class University are not build overnight, but if we don't start today, they would never come by", tutup Profesor.

Profesor Kai-Ming juga mengingatkan bahwa konsep pendidikan tinggi, termasuk ide world class university ini banyak dipengaruhi oleh barat. Sebuah universitas non barat yang mencoba menuju world class university, jangan melupakan jati diri bangsanya atau karakteristik budayanya. Identitas ini menurut Profesor hanya bisa diketahui dan diisi oleh suatu
perguruan tinggi di negaranya.

Last but not least, Profesor mengingatkan juga bahwa bagian terpenting lagi dari universitas kelas dunia dan itu dipraktekan di university of hongkong adalah perhatian penuh pada mahasiswanya. Mereka punya program-program pembinaan mahasiswa yang cukup kaya. Misalnya program di mana mahasiswa-mahasiswanya diasuh oleh tokoh masyarakat/guru-guru besar, tidak harus di bidang studi yang sama. Karena intake mahasiswanya berasal dari latarbelakang sosial ekonomi yang berbeda diajarkan cara, manner, nilai pada acara-acara kebesaran, sehingga ada kepercayaan diri. Program kuliah kerja nyata menjadi program prioritas, sehingga mahasiswa tahu bermasyrakat dan masyarakat merasa membutuhkan mahasiswa; mahasiswa-mahasiswa juga diasramakan, mereka yang mengatur kehidupan asrama sendiri dan 25 % dari mereka dikirim ke luar negeri untuk mendapatkan pengalaman.

Sumber: http://www.ubb.ac.id/menulengkap.php?judul=World%20Class%20University%20Is%20Not%
20%20Built%20Overnight&&nomorurut_artikel=5

Dikirim oleh I Made Andik Setiawan
Tanggal 2008-04-08
Jam 12:36:02






Previous PostPostingan Lama Beranda