Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-
Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label puisi. Tampilkan semua postingan


di rahim dunia seorang pengelana menyusuri waktu
mencari bekal kebajikan dan kerinduan
ada yang tersesat dan kau memilih untuk mengantarkannya
ada yang hilang dan kau memberi isinya
ada yang rapuh dan kau mengokohkannya
kaulah tepi dari keramaian
pintu keluar kemuraman
pengelana, matamu nyala kejora
akalmu pustaka doa yang kaya kata
dan setiap tapak langkahmu jadi petunjuk

bagi para pejalan yang lupa arah pulang


--



Kepada Silkvi Purwayagslin

dia pernah patah sebagaimana manusia

pernah rapuh andaisaja angin mengibas

kealfaan mungkin masih ada sedikit

walau esok takkan sampai nampak pias

Kepada Yanti

biasanya dia datang dengan sejumput rambut

terurai menyolek langit akibat pagi juga semilir

bilamana dia juga tahu kerap hujan mengganjal

tapi bukan berarti itu ancaman tetapi cerah

Kepada Tanti Agustina

dia akan masuk ke dalam sadar

membenam kepala hingga rantai terjaga

sejak itu terang beranjak hitam

dia akan mengangkut gempita menuju utara

Kepada Nanda Mahesa

waktu menyuruh dia menyerah rela

meletakkan tekad di kantung angan

sementara kita masih ingin menenang puas

sepanjang kita bertuntun tanpa irisan bawang

Kepada Susi Latifatul Kamilah

sunyi telah pandai menyimpan petunjuk

Senantiasa mengendap di daun lidah

kau benar-benar seperti batu

berdiam kaku terombang tenang

Kepada Soekowati Dwi Fitriani

siapa yang hendak menyunting usia

meski waktu berpacu tergesa

adalah dia muasal muda

dari fragmen rona yang ronta

Kepada Ajeng Rahayu Eka

adapun dia membuka lembar bergulung

berbagi serupa pereda lewat telinga

merambat setia di tawa riang

menaruh sahut kepada sang pelindung

Kepada Benedict Dinar Anggia

gemetar debar begitu lekas tercerai

bertegur dingin memantul tatap

dari jauh memancar pratanda

bertaruh tenang menjenguk lawan

Kepada Risca Olistiani

ikhwal riwayat mengiris malam

memerah mata akan cerita

tegar dia sedari awal

berakhir gembira dan terbata

Kepada Merinda Solikhah

sebungkus nasi sangat lelah tersimpan

sehitung hari beserta suara kerontang

dia masih menata perutnya saat itu

menyambut perisi yang masih sebatas apa

Kepada Widya Lestari

pekik suara sayup melintas

meliuk bebas membunuh sunyi

dengan tenang seseorang merekam

dan namamu menjadi kala yang lain

Kepada Febriani Justitia Pahlevi

bunyi aksara timbul memantul mesra

berasonan dalam setiap larik sangau

dia membaca sedemikian gembira

sampai sajak mencurah irama

Kepada Navika Dzuhisna

mendayu jernih menyambar batin

bermelodi menjawab pesan fonem

hanya dalam satu dua intonan

menimbul nuansa menarik citra

Kepoada Gina Agniya

senyum beku bercakrawala

mencakar langit membentuk mata

pandang kaku urung bergegas

sekedar teronggok di sudut panas


Kepada Winni Siti Alawiah

sepasang lesung luruh melayang

menjadi lanskap sesosok wajah

hingga kala senja yang serupa

lepas senyum tatap meluncur

Kepada Eriana Trizadestiani

sepotong ilusi mengajakmu pada rumah

menjadi objek dari setengah narasi

kau poros kau lingkar yang berwarna

seperti realis di putih kanvas

Kepada Raswati

ingar-bingar berimaji sekeliling pantai

berpacu terhempas terombang laguna

sejurus mentari melekat kulit

pikir kita mengkhayal tetapi nyata

Kepada Devi Lamria Hasibuan

jangan lagi berbincang kepada jarak

cukup hati yang merekam peristiwa

lewat tanya mari kita berkata

lalu bersenang menyambang riang

Kepada Erna Siti Rahayu

sesosok singkat selain tergesa

dan sesuatu yang raib sampai merindu

selalu terkenang kepada nalar

yang hanya terselip di runtun memoir

Kepada Dwi Sukmalanita

dari ujung belitong tercipta jejak

bertukar ruang mengumpul ilmu

kadang jauh menjadi butiran air

akan kenangan sebuah kota

Kepada Leni Pujiastuti

telah usai misi menuju tepian

menembus pahit menyerah sebatas gusar

kepalkan batin dengan tidak bermuram

maka jangan kau tanyakan hidup apa pilihnya

Kepada Yuli Disfana

mari kita tertawa membalas kelam

terpingkal seakan dengan begitu menyedihkan

entah apa ulahnya yang dulu sering datang

kemudian kita mengerti apa yang bisa dan tidak

Kepada Widya Nastiti Osman

sungguh tercatat dalam suatu kitab

daripada tujuh lembar langit yang kokoh

diendapnya mereka tinggal amat berleha

terlilit kesudahan pada hari yang berat

Kepada Riqoh Fariqoh

sungguh semesta bersandiwara

berperan kuasa memberi niscaya

demi kita balasan yang setimpal

sebagai nasihat menyirat peringat

Kepada Fatwa Amalia

ilham menyeru dari arah yang entah

membuat pikir terkepung duga

bak labirin tesis tergopoh

mencari jalan gelisah pecah

Kepada Irna Rahayu

teringini sungguh tiada selisih

tanpalah kami duka neraka

menyampai sadar maha pentasbih

kehendak doa berjauh siksa

Kepada Elis Nur Vitasari

apabila telah habis harian muram

maka terlegalah jauhi kekal

sebab bumi menjelma sempit

bertaruh percaya mencari taqwa

Kepada Veni Septiani

membui kami tertunduk nikmat

berpayung dosa atasmu sembunyi

sadar lemah niatan berubah

maka persaksian itu ialah pencipta

Kepada Novia Siti Rohayani

bersiap langkah terbungkuk takut

amat petaka berhambus belas

demi masa semua kembali

membawa apa sampai ke suci

Kepada Betta Anugrah Setiani

dia adalah torehan yang belum tiada

dan sosokmu dari samar peradaban

kita akan terus menyeringai tak pernah padam

sebagaimana noktah pada kerut petromak



rumahtirani, akhir september 2010




kepada Syifa Nursyamsiah

I/ yang seketika menghampiri: telah rapat menuju pintu bandusa tua menjadi penyaksi kala angin menyerta ajal dan orang-orang gigil mengeja usia, bukan sebab waktu tergagap berdesing, memasuki sendi darah: perlahan dingin mencatat perakhiran sebuah kisah

biarkan, waktu terlena mencari pemangsa kepada ayat-ayat dalam tanya menuju tanah sepintas jarak teramat singkat, wajah-wajah berkerut meninggalkan sebab bergegas tersirat dalam buku riwayat

II/ dan bunga-bunga menari lembar daun berguguran di langit: jingga yang haru mengirim gerimis seorang tua menata pucat pada sebongkah tanah maka biarkan angin berkesiur menyesak

III/ akan menjeru dalam kerumunan doa menyisakan memori sampai raga telah rela bergegaslah menghimpun bala sebelum singgah pada jirat kelabu

Bandung, 2011



kepada Syifa Nursyamsiah

1/ Suatu ketika; doaku menyambangi dirimu yang berbeda dengan rasa biasa, seperti mentari yang kerap memancar siang yang basah dirimu adalah siang terang tanpa hujan, selalu sungguh menjadi bagian dari gulir kehidupanku. Dekat denganmu; Aku selalu dibawa dalam perjalanan menakjubkan ke kota yang asing Kita akan mengunjungi hamparan bukit membentang, kita berkelana dalam permadani hijau. Meski terkadang waktu tak selalu riang. Aku selalu menyiasatinya dengan senyum jika datang waktu yang lama-bersama. Sungguh, kepuasanku tak sanggup diterjemahkan oleh kata-kata: melebihi nikmatnya Gluehwein pada musim berbalut salju. Ini tampak berbeda, tidak seperti sebelumnya yang berlebih tapi untuk sementara. Ini sangat biasa, tapi justru selamanya.

2/ Duhai, doaku menjelajahi seisi kota: mencari cintaku. melewati jajaran pinus yang anggun. Menyelusup di antara rumput-rumput yang tipis, dan masuk dalam telinga pengunjung residenz palace: mereka mengiang doaku dengan khidmat bak memandang takjub ornamen-ornamen Albrecht cintaku ibarat sebuah bunga elok yang tumbuh di tengah-tengah bukit Suatu saat; doaku menyambangi masa depan. Kita akan meninggalkan hari ini. berpapasan dengan impian dan segera menyusun rencana dengan tepat: aku ingin menyalamimu dengan sepasang cincin serangkai berkilau.

rumahtirani, 4 November 2010




PERTATAPAN


mentari terkurung
di bulat matamu, di siang yang polos
di balik cahaya menyilau hangat

mata yang akrab ketimbang mentari
mata yang jernih ketimbang air
mata yang teduh setelah langit

ada matamu
matamu, dalam sebuah pertatapan singkat
menunduk
memantul pandangku
berbalik
dan pergi tergopoh

parompong, juli 2010


ANKARA


datang memopong rindu
dengan hati yang urung
lewat mimpi yang tak terhitung
terlebih tidur tetapi tidak
lelap pulas ketimbang mati

tangkubanparahu, agustus 2010


afifah

bayangmu melayang lewat petirpetir petang
namun menghilang tatkala Hujan berseri
perihperih
aku menangis memandangimu pergi

lewat angin, kau sampaikan serpihan-serpihan rindu
yang menyusup masuk kedalam hati
maka dayaku hanya tertegun kecil
bersama belantara-belantara sunyi

bahterabahtera
dengannya Aku terhempas waktu
dan sepotong kenangan
yang redup


Hilang

ada yang berpulang tapi tak mati

ada yang pergi tapi tak raib

telah berlinang telah sirna

melayang




Wajah yang menirus telah lembab oleh airmata
Tubuhnya yang molek telah terhasut oleh derita
Sekeliling lengang sembunyi dari pijakan
Ia tuangkan arak murah dari pasar kembang
Mengoceknya penuh nikmat hingga aku mabuk
Sesekali diiringi oleh kecupan
Tubuhku menggeliat dan lapar

Selepas hari menjelang wafat aku
meredam bulan
dalam sebuah remang
aku kibaskan uang


ia terbirit-birit menjadi pemenang
nyaris tidak kotor dan bernoda
seperti mereka yang semestinya
ada dalam neraka
Kini waktu berselang
di barat rayuan tuhan: aku campakan
dan
di pipir belantara menjadi saksi
kisah biru
antara aku dan dirinya

:: Untuk Widhi Afifah

Embun pagi menyusup masuk di antara bilik-bilik using
Resapannya mengusik kulit-kulit nan pucat
Angin mengucap salam di balik pintu
Sedang aku masih saja bergelut pada puncak mimpi yang pecah
Tentang kamu, tentang tangis perpisahan serta
Rentetan kata yang kau patri di pelipisku
Gelegar, aku terpental
bangkit hingga menggesek-gesek kelopak
yang kutahu dua diantaranya memudar
(Bangun, Euforia Cahaya)
Kau, lebihnya adalah sosok pembual gradasi waktu
membawaku bersama
Pikiran yang masih tersangkut di atas angan
Entah dan entah sampai kapan engkau menghilang
Sampai terang, bukan?


Akar pinus, 2010

Perang Hasrat
Pergi. Pergi kalian.
Aku masih ingat gusti
O kalian utusan-Nya?
Atau kalian adalah Nya?

Dan terdiam
Lalu sudah


Tanah Sewa, 2010




:: Untuk Gina Yulianty

(I)
andai semilir angin tidak membawa butiran-butiran debu yang hinggap di pundakku O teramat pekat beban hidup ini atau pula burung-burung terbang bebas tanpa sayap: Teramat sukar dicapai nalar kusaksikan segenap alam mengepung disesaki butir-butir berdebu hingga sampai terdiam sunyi berteduh di bawah lazuardi perempuan nan molek: datang menjelma bagai kilatan warna
(II)
mataku seketika layu di antara tiupan angin yang menderu aku berkaca pada wajah halusnya masih seperti dahulu seperti pertama kali mengintip dua kumbang yang sedang bercumbu puas atau bercerita tentang hidup di hari seterusnya: sampai pada titik nadir yang lunglai
(III)
angin sejenak berhenti matanya tampak teduh butur-butir air mata menepi diantara kelopak hatiku teriris perih Ada apa denganmu manis? suara hatiku Ia menangkap Tanya-tanya itu menjawab tegas segalanya bagai arah lurus terus melaju melawan kabisat sejalan bergerilya dengan kuatnya waktu
(IV)
lalu sekebat hitam memisah dari jauh suara panggilan jagad lantas aku hanya menangis pilu tak kuasa melihat dia tidak berpaling doa-doa kupanjatkan di peristirahatan terakhirnya Jiwa kesepian merangkulku dibalik nyata
Tambora, 2010

Embun pagi menyusup masuk di antara bilik-bilik using
Resapannya mengusik kulit-kulit nan pucat
Angin mengucap salam di balik pintu
Sedang aku masih saja bergelut pada puncak mimpi yang pecah
Tentang kamu, tentang tangis perpisahan serta
Rentetan kata yang kau patri di pelipisku
--
Gelegar, aku terpental
bangkit hingga menggesek-gesek kelopak
yang kutahu dua diantaranya memudar
(Bangun, Euforia Cahaya)


Kau, lebihnya adalah sosok pembual gradasi waktu
membawaku bersama
Pikiran yang masih tersangkut di atas angan
Entah dan entah sampai kapan engkau menghilang
Sampai terang, bukan ?

Akar pinus, 2010

::Jaka Aris Napitupulu

Jong Medan, kutulis resahku ini di subuh yang tengik. Di detik kelima belas selepas peluit akhir pertandingan MU vs Munich. Payah. Dukaku tersentak, ini kekalahan telak. 3-2. Jong, rasanya tubuhku seperti ditembus moncong peluru ’98 Maseur laras berat. Arteri leherku seperti ditebas belati. Perih.

Jong Medan, ingatkah kau tentang tragedi Munich ’58, kala delapan serdadu Bursby tewas di medan langit. Itu selepas kemenangan atas Belgrade, bukan? Berandai jika menang, Niatku di subuh ini akan meyalakan dupa mengenang arwah Bent, Byne, Colman, Edward, Jones, Pegg, Taylor dan Wheland. Sayang, kuurungkan niat sebab kecewaku memuncak. Rintih perkabungan mengisaki puing-puing kejayaan. kupandang lemah layar TV. Komentator tiada henti mencibir Fergie, Jong. Subuhku kian pasrah. Sepasrah fergie kala menilik rengek ronaldo yang ingin hengkang ke Madrid. Harapku buyar, selamat tinggal angan final. Bernabeu.

:: Imay ifdlal Fahmy

*
Aku bertemu anak kelana. Kasat mata kubaca geriknya:
pembuntut perawan
ah, dia,-
Dia di kala hati dia dapat meruntuh hati perawan. Perawan dan tingkah perawan dibuatnya larut
Sekian detik dia bawa perawan hijrah pada suatu muara. Muara di mana poros muara acap membentuk cinta dia

**
Kueja terus setiap geriknya, Cara rayunya, Cara alaynya, Cara gombalnya
(Ah, Dasar penyetia)

::Resa Pratama

Waktu telah memberi jalan;
Kau singgahinya dengan helai-helai
rambut gelombang
(kupikir panjangnya seperti nisan)

Kudapan riwayatmu tanpa isak air mata
yang kosong yang hampa
tanpa dosa: entah luka
dan jika sampai pada juluran ujung
kau hisap rokok sepotong;
(menafsir cerita sendiri-sendiri)

::Dicky Nugraha

Seseorang mengetuk tidur
Lantas masuk dalam mimpiku
Bujang rengasdenglok!
(Ah, seharusnya nona bugil yang datang)

kau menyapa dengan lubuk bimbang
kubalas dengan tanya;
adakah yang kau bawa?
ini, selembar rentetan kata
tentang harap kusam
dari perhelat malam;


untuk siapa?
Nafasmu terengah,
aku mencium harum
Wanita bale endah,-


::Ahmad Syauqi

Tuan Parlente, kau datang dari kota tawa
dengan misi membawa lagu kemenangan;
gelap langit kau anggap terang;
bayang dan jejak di antara sebilah belati
yang entah apa maksudnya.

Aku ingat, kisah tigaratus video biru
yang kau beri selepas sholat
Tawaku berceceran,
Puas kunyalakan bara;
Liar, hingga aku terbakar juga.

Namun aku terhenyak kala kuterka ini isyarat,
Maksudmu hidup seperti langit.
Ada hitam ada putih, bukan?

::Reza Rianto

Angin-angin bergedesau
Dan kabisat dan moncong pisau
Dekap waktu merisau
Lorong-lorong kampus payau
Jadilah aku galau
(dan kuukir namamu di surau)

menanti pengulur hidup
Dan harap sukar meredup
Ini sudah cukup
kudengar kisahmu sayup-sayup
(ikhwal tetabuhan do’a)


::Deden Zainal Muttaqin

Ra D e
De n
rangkai serenada Partere::
Fa
J j a
R o
S s i

::Muhammad Zacky

di hulu senyap, aku terhisap radio Franksford ‘78
terpaksa kujamahi hutan-hutan frekuensi
jua kurasa hunus suara
bak beringin tergesek angin.
hingga
satu alunan menyelusup-masuk telinga,
Dangdut rupanya.
Bergoyanglah nadiku
Berjingkrak seiring irama
Dendang-dendang merdu para tetabuh
Hawa Liriknya sejuk terasa
Menyirat pemuda menuju australia

::Muhammad Aldi Febrian

Datanglah pada suatu altar
Dengungkan pesta-sorak revolusi
Usunglah warna-warna semangat
Terang membentuk kemilau
Maka jika telah sampai
Aku berjingkrak- harap mutlak
menjurus puncak

::Ahmad Taoziri

Aih, warta nilai melambai tangan
Bergegas menuju masa yang urung usai
Satu jalan engkau menggenggam;
Ambisi menyamar di balik pedati
Mengantar cita menjadi nyata

::Imam Akhmad

Dengan ocehan liar,
Kurindui diskusi kewarganegaraan
Tapi kapan, kawan? Sahut-menyahut politik lagi.
Cemasku gemas, hanya membui di ruang benak

Rumah Tirani, Juli 2010



Biasa-Nya ketika penat mengintai
Terngiang Racun sesaat menghilang
Sadar mata luluh terdiam.
Lisna di surat itu Hingga pena terbelah dua
usunglah awan sungkan meratap
_senja kelam tepat semua melegam
lembayung alunkan simponi rintihan
gagak hitam kembali bersemedi ke desa-Nya dan jangan biarkan airmu menetes_

nadi mengalir tak karuan
Terekam harap menanti jawab
celoteh kawan bau cibiran sumpah serapah sukar kuucap
ketika waktu yang mengembara
kesekian kali sinergi kisah
sedari awal harumnya bangkai
namun syukur terlihat asing
_ketika waktu memecat senja
bersiap hitam mengintai
gelap terpingkal terbahak-bahak_
tanda ketika surat akhir-Nya sampai

2008, kantin sekolah
gadis kecil di sebuah angkot:
"kakak kuliah di Upi ya" dia memegang gitar.
"ia de, tau darimana?" aku bertanya keheranan.
tak sempat menjawab.
terdengar suara sopir teriak lancang
"hus..di sana ngamennya hus hus anjing"
jantung sejenak berhenti.

muncul fatamorgana kedua adik kecil ku yang
mungkin sedang sayu dalam dekapa...n
emak nan ronta.

gusti.mengapa yang iklas selalu tak berdaya.
atau mungkin beginilah kenyataan adanya..

beberapa detik berpaling gadis
keluar penuh sedih
masuk ke tiap angkot yang kulihat

di jendela mobil dengan sopir yang kuanggap batu dunia.

:: seperti Alogana saja


Tangkuban parahu di sebuah senja:

sengat belerang kian terasa dalam pertemuan itu.

Berdua menyusuri

kayangan hingga langit larut

ada pula ranahnya kelabu abu

juga pepohon pucuknya hitam.



"pucuk itu sama seperti kulitmu tus.."

wanita berkerudung tersenyum puas.


"manis..hitam seperti warna kerudungmu" aku kembali menghibur.


Sepanjang jalan kami saling berbagi pengalaman.

(juga) sesekali ku elus kerudungnya..

Tanpa terasa para sinden kayangan

mengikuti langkah jejak ini

matanya menggoda untuk bergoyang.

(pun) bokongnya lenggak-lenggok nan aduhai.

Aku sedikit goyah.

Sesekali..

sesekali..

jalan kembali


menuju puncak sangkuriang.
"janganlah kau takutkan suatu aturan"
" tiadalah berarti sebuah batasan jika didasari oleh uang"
cetus seorang penaruh modal berbaju rapih penuh
wibawa di negeri khayalan.

Mengangguklah mereka dengan tangan
dijepit parang berulu pedang.

"ya..yaa..ya.. tuan ampuni kami"

Semua berawal ketika terjadi konfrontasi
yang sangat akut disebuah tempat penuh rindang.

Sekelilingnya dikurung oleh indah pepohon
sesekali harum semerbak melumangi jiwa-jiwa yang sepi

"hahaha..kalian kaum kampung nan terbelakang"
"enyah kalian..mana ada tempat yang dilarang untuk sebuah pembangunan"
" harga diri kalian tak lebih dari uang recehan"
penuh jumawa seorang pengusaha mendoktrin
kaum-kaum "terbelakang" tersebut dengan kilau harta nan gemerlap.

"kami hanya kaum alam..jangan usik kami wahai binasa"
"ya..harta tak lebih dari sesaat..kalian hanyalah anjing-anjing dari neraka"
sembari sujud mereka mengeluarkan angan

.namun ujaran hanyalah ujaran.
kasihan sekali mereka: melawan mencoba berontak
namun sekali lagi satu hal berbicara : kekuasaan

tempat itu elok.
penuh kerindangan juga gemercik ketenangan.
namun masa edarnya tak lebih hanya "guyonan" sesaat

kaum-kaum petuah terusik
terlalu banyak diskriminasi yang mereka dapat-maklum kaum terpencil-tak ada mereka temukan sebuah televisi ataupun radio.

yang ada hanyalah sayup berita dari kawanan burung juga suara-suara misterius yang datangnya dari sebuah pepohon.

ahh. tak banyak yang mesti diceritakan. satu hal yang pasti :
anjing-anjing utusan neraka telah membinasakan mereka.

binasa karena harta pun reputasi (malu mereka disebut kampung)
hingga mereka berontak.
menjual
menyetubuhi
alam tempat kelahiranya sendiri
terkoyak, terijak, terkekang oleh suatu labirin hidup.
bernama: ketamakan
jadilah tempat tersebut menjadi kenangan.

kabar terakhir disurat kabar: Rencana Pembangunan Kandang Anjing Utusan Neraka Telah Disepakati Oleh petamak
Surya kencana:
tegas
tegas
tegas

lugas cerdas
di langit jawa air deras. .

Berlarian
komunal berbaju loreng. .

Terlihat si rambut cepak
Berlari..
Berlari..
Di barat musuh siap membidik :Lupa sekutu dan seteru

"ia surya kencana?"
"ya..ya. .ya" teriak pasukan.
"songsong peluru..tepat ke penjuru"

surya kalang kabut
"peduli apa peluru itu, sekalipun ia bebas masuk ke tubuhku"

terus menyusuri semak tajam:
Melupakan anak istri
demi bakti Ibu pertiwi..
:: Untuk Temanku surya.
sedari dulu: Beton di tancapkan pada pori tanah

"diobral..diobral. Setumbak satU juta. Diobral..diobral"
Lupa..
Masa depan
gadiS kecil..
pohon hijau. .
Atau bunga yg mengunin
Barangkali ilalang pun
rerumputan hanya akan
meninabobokan
"beli saja. .beli saja" kaUm tamak menghasut..
aku tersipu malu sejenak
selang kemudian mengambil parang di gudang..
Terlihat banyak Kuli bangunan bekerja
sesekali tampak asap menyembur dari rokok yg di hisapnya
ketika parang siap ku kibaskan
Kembali aku tersipu malu rupanya..

sedari dulu: pribumi menjadi babu..
Previous PostPostingan Lama Beranda