
Kepada Silkvi Purwayagslin
dia pernah patah sebagaimana manusia
pernah rapuh andaisaja angin mengibas
kealfaan mungkin masih ada sedikit
walau esok takkan sampai nampak pias
Kepada Yanti
biasanya dia datang dengan sejumput rambut
terurai menyolek langit akibat pagi juga semilir
bilamana dia juga tahu kerap hujan mengganjal
tapi bukan berarti itu ancaman tetapi cerah
Kepada Tanti Agustina
dia akan masuk ke dalam sadar
membenam kepala hingga rantai terjaga
sejak itu terang beranjak hitam
dia akan mengangkut gempita menuju utara
Kepada Nanda Mahesa
waktu menyuruh dia menyerah rela
meletakkan tekad di kantung angan
sementara kita masih ingin menenang puas
sepanjang kita bertuntun tanpa irisan bawang
Kepada Susi Latifatul Kamilah
sunyi telah pandai menyimpan petunjuk
Senantiasa mengendap di daun lidah
kau benar-benar seperti batu
berdiam kaku terombang tenang
Kepada Soekowati Dwi Fitriani
siapa yang hendak menyunting usia
meski waktu berpacu tergesa
adalah dia muasal muda
dari fragmen rona yang ronta
Kepada Ajeng Rahayu Eka
adapun dia membuka lembar bergulung
berbagi serupa pereda lewat telinga
merambat setia di tawa riang
menaruh sahut kepada sang pelindung
Kepada Benedict Dinar Anggia
gemetar debar begitu lekas tercerai
bertegur dingin memantul tatap
dari jauh memancar pratanda
bertaruh tenang menjenguk lawan
Kepada Risca Olistiani
ikhwal riwayat mengiris malam
memerah mata akan cerita
tegar dia sedari awal
berakhir gembira dan terbata
Kepada Merinda Solikhah
sebungkus nasi sangat lelah tersimpan
sehitung hari beserta suara kerontang
dia masih menata perutnya saat itu
menyambut perisi yang masih sebatas apa
Kepada Widya Lestari
pekik suara sayup melintas
meliuk bebas membunuh sunyi
dengan tenang seseorang merekam
dan namamu menjadi kala yang lain
Kepada Febriani Justitia Pahlevi
bunyi aksara timbul memantul mesra
berasonan dalam setiap larik sangau
dia membaca sedemikian gembira
sampai sajak mencurah irama
Kepada Navika Dzuhisna
mendayu jernih menyambar batin
bermelodi menjawab pesan fonem
hanya dalam satu dua intonan
menimbul nuansa menarik citra
Kepoada Gina Agniya
senyum beku bercakrawala
mencakar langit membentuk mata
pandang kaku urung bergegas
sekedar teronggok di sudut panas
Kepada Winni Siti Alawiah
sepasang lesung luruh melayang
menjadi lanskap sesosok wajah
hingga kala senja yang serupa
lepas senyum tatap meluncur
Kepada Eriana Trizadestiani
sepotong ilusi mengajakmu pada rumah
menjadi objek dari setengah narasi
kau poros kau lingkar yang berwarna
seperti realis di putih kanvas
Kepada Raswati
ingar-bingar berimaji sekeliling pantai
berpacu terhempas terombang laguna
sejurus mentari melekat kulit
pikir kita mengkhayal tetapi nyata
Kepada Devi Lamria Hasibuan
jangan lagi berbincang kepada jarak
cukup hati yang merekam peristiwa
lewat tanya mari kita berkata
lalu bersenang menyambang riang
Kepada Erna Siti Rahayu
sesosok singkat selain tergesa
dan sesuatu yang raib sampai merindu
selalu terkenang kepada nalar
yang hanya terselip di runtun memoir
Kepada Dwi Sukmalanita
dari ujung belitong tercipta jejak
bertukar ruang mengumpul ilmu
kadang jauh menjadi butiran air
akan kenangan sebuah kota
Kepada Leni Pujiastuti
telah usai misi menuju tepian
menembus pahit menyerah sebatas gusar
kepalkan batin dengan tidak bermuram
maka jangan kau tanyakan hidup apa pilihnya
Kepada Yuli Disfana
mari kita tertawa membalas kelam
terpingkal seakan dengan begitu menyedihkan
entah apa ulahnya yang dulu sering datang
kemudian kita mengerti apa yang bisa dan tidak
Kepada Widya Nastiti Osman
sungguh tercatat dalam suatu kitab
daripada tujuh lembar langit yang kokoh
diendapnya mereka tinggal amat berleha
terlilit kesudahan pada hari yang berat
Kepada Riqoh Fariqoh
sungguh semesta bersandiwara
berperan kuasa memberi niscaya
demi kita balasan yang setimpal
sebagai nasihat menyirat peringat
Kepada Fatwa Amalia
ilham menyeru dari arah yang entah
membuat pikir terkepung duga
bak labirin tesis tergopoh
mencari jalan gelisah pecah
Kepada Irna Rahayu
teringini sungguh tiada selisih
tanpalah kami duka neraka
menyampai sadar maha pentasbih
kehendak doa berjauh siksa
Kepada Elis Nur Vitasari
apabila telah habis harian muram
maka terlegalah jauhi kekal
sebab bumi menjelma sempit
bertaruh percaya mencari taqwa
Kepada Veni Septiani
membui kami tertunduk nikmat
berpayung dosa atasmu sembunyi
sadar lemah niatan berubah
maka persaksian itu ialah pencipta
Kepada Novia Siti Rohayani
bersiap langkah terbungkuk takut
amat petaka berhambus belas
demi masa semua kembali
membawa apa sampai ke suci
Kepada Betta Anugrah Setiani
dia adalah torehan yang belum tiada
dan sosokmu dari samar peradaban
kita akan terus menyeringai tak pernah padam
sebagaimana noktah pada kerut petromak
rumahtirani, akhir september 2010

kepada Syifa Nursyamsiah
I/ yang seketika menghampiri: telah rapat menuju pintu bandusa tua menjadi penyaksi kala angin menyerta ajal dan orang-orang gigil mengeja usia, bukan sebab waktu tergagap berdesing, memasuki sendi darah: perlahan dingin mencatat perakhiran sebuah kisah
biarkan, waktu terlena mencari pemangsa kepada ayat-ayat dalam tanya menuju tanah sepintas jarak teramat singkat, wajah-wajah berkerut meninggalkan sebab bergegas tersirat dalam buku riwayat
II/ dan bunga-bunga menari lembar daun berguguran di langit: jingga yang haru mengirim gerimis seorang tua menata pucat pada sebongkah tanah maka biarkan angin berkesiur menyesak
III/ akan menjeru dalam kerumunan doa menyisakan memori sampai raga telah rela bergegaslah menghimpun bala sebelum singgah pada jirat kelabu
Bandung, 2011

kepada Syifa Nursyamsiah
1/ Suatu ketika; doaku menyambangi dirimu yang berbeda dengan rasa biasa, seperti mentari yang kerap memancar siang yang basah dirimu adalah siang terang tanpa hujan, selalu sungguh menjadi bagian dari gulir kehidupanku. Dekat denganmu; Aku selalu dibawa dalam perjalanan menakjubkan ke kota yang asing Kita akan mengunjungi hamparan bukit membentang, kita berkelana dalam permadani hijau. Meski terkadang waktu tak selalu riang. Aku selalu menyiasatinya dengan senyum jika datang waktu yang lama-bersama. Sungguh, kepuasanku tak sanggup diterjemahkan oleh kata-kata: melebihi nikmatnya Gluehwein pada musim berbalut salju. Ini tampak berbeda, tidak seperti sebelumnya yang berlebih tapi untuk sementara. Ini sangat biasa, tapi justru selamanya.
2/ Duhai, doaku menjelajahi seisi kota: mencari cintaku. melewati jajaran pinus yang anggun. Menyelusup di antara rumput-rumput yang tipis, dan masuk dalam telinga pengunjung residenz palace: mereka mengiang doaku dengan khidmat bak memandang takjub ornamen-ornamen Albrecht cintaku ibarat sebuah bunga elok yang tumbuh di tengah-tengah bukit Suatu saat; doaku menyambangi masa depan. Kita akan meninggalkan hari ini. berpapasan dengan impian dan segera menyusun rencana dengan tepat: aku ingin menyalamimu dengan sepasang cincin serangkai berkilau.
rumahtirani, 4 November 2010

PERTATAPAN
mentari terkurung
di bulat matamu, di siang yang polos
di balik cahaya menyilau hangat
mata yang jernih ketimbang air
mata yang teduh setelah langit
ada matamu
matamu, dalam sebuah pertatapan singkat
menunduk
memantul pandangku
berbalik
dan pergi tergopoh
parompong, juli 2010
ANKARA
datang memopong rindu
dengan hati yang urung
lewat mimpi yang tak terhitung
terlebih tidur tetapi tidak
lelap pulas ketimbang mati

afifah
bayangmu melayang lewat petirpetir petang
namun menghilang tatkala Hujan berseri
perihperih
aku menangis memandangimu pergi
lewat angin, kau sampaikan serpihan-serpihan rindu
yang menyusup masuk kedalam hati
maka dayaku hanya tertegun kecil
bersama belantara-belantara sunyi
bahterabahtera
dengannya Aku terhempas waktu
dan sepotong kenangan
yang redup
Hilang
ada yang berpulang tapi tak mati
ada yang pergi tapi tak raib
telah berlinang telah sirna
melayang

Wajah yang menirus telah lembab oleh airmata
Tubuhnya yang molek telah terhasut oleh derita
Sekeliling lengang sembunyi dari pijakan
Ia tuangkan arak murah dari pasar kembang
Mengoceknya penuh nikmat hingga aku mabuk
Sesekali diiringi oleh kecupan
Tubuhku menggeliat dan lapar
Selepas hari menjelang wafat aku
meredam bulan
dalam sebuah remang
aku kibaskan uang
ia terbirit-birit menjadi pemenang
nyaris tidak kotor dan bernoda
seperti mereka yang semestinya
ada dalam neraka
Kini waktu berselang
di barat rayuan tuhan: aku campakan
dan
di pipir belantara menjadi saksi
kisah biru
antara aku dan dirinya

:: Untuk Widhi Afifah
Embun pagi menyusup masuk di antara bilik-bilik using
Resapannya mengusik kulit-kulit nan pucat
Angin mengucap salam di balik pintu
Sedang aku masih saja bergelut pada puncak mimpi yang pecah
Tentang kamu, tentang tangis perpisahan serta
Rentetan kata yang kau patri di pelipisku
Gelegar, aku terpental
bangkit hingga menggesek-gesek kelopak
yang kutahu dua diantaranya memudar
(Bangun, Euforia Cahaya)
Kau, lebihnya adalah sosok pembual gradasi waktu
membawaku bersama
Pikiran yang masih tersangkut di atas angan
Entah dan entah sampai kapan engkau menghilang
Sampai terang, bukan?
Akar pinus, 2010
Perang Hasrat
Pergi. Pergi kalian.
Aku masih ingat gusti
O kalian utusan-Nya?
Atau kalian adalah Nya?
Dan terdiam
Lalu sudah
Tanah Sewa, 2010

:: Untuk Gina Yulianty
(I)
andai semilir angin tidak membawa butiran-butiran debu yang hinggap di pundakku O teramat pekat beban hidup ini atau pula burung-burung terbang bebas tanpa sayap: Teramat sukar dicapai nalar kusaksikan segenap alam mengepung disesaki butir-butir berdebu hingga sampai terdiam sunyi berteduh di bawah lazuardi perempuan nan molek: datang menjelma bagai kilatan warna
(II)
mataku seketika layu di antara tiupan angin yang menderu aku berkaca pada wajah halusnya masih seperti dahulu seperti pertama kali mengintip dua kumbang yang sedang bercumbu puas atau bercerita tentang hidup di hari seterusnya: sampai pada titik nadir yang lunglai
(III)
angin sejenak berhenti matanya tampak teduh butur-butir air mata menepi diantara kelopak hatiku teriris perih Ada apa denganmu manis? suara hatiku Ia menangkap Tanya-tanya itu menjawab tegas segalanya bagai arah lurus terus melaju melawan kabisat sejalan bergerilya dengan kuatnya waktu
(IV)
lalu sekebat hitam memisah dari jauh suara panggilan jagad lantas aku hanya menangis pilu tak kuasa melihat dia tidak berpaling doa-doa kupanjatkan di peristirahatan terakhirnya Jiwa kesepian merangkulku dibalik nyata
Tambora, 2010

Embun pagi menyusup masuk di antara bilik-bilik using
Resapannya mengusik kulit-kulit nan pucat
Angin mengucap salam di balik pintu
Sedang aku masih saja bergelut pada puncak mimpi yang pecah
Tentang kamu, tentang tangis perpisahan serta
Rentetan kata yang kau patri di pelipisku
--
Gelegar, aku terpental
bangkit hingga menggesek-gesek kelopak
yang kutahu dua diantaranya memudar
(Bangun, Euforia Cahaya)
Kau, lebihnya adalah sosok pembual gradasi waktu
membawaku bersama
Pikiran yang masih tersangkut di atas angan
Entah dan entah sampai kapan engkau menghilang
Sampai terang, bukan ?
Akar pinus, 2010

::Jaka Aris Napitupulu
Jong Medan, kutulis resahku ini di subuh yang tengik. Di detik kelima belas selepas peluit akhir pertandingan MU vs Munich. Payah. Dukaku tersentak, ini kekalahan telak. 3-2. Jong, rasanya tubuhku seperti ditembus moncong peluru ’98 Maseur laras berat. Arteri leherku seperti ditebas belati. Perih.
Jong Medan, ingatkah kau tentang tragedi Munich ’58, kala delapan serdadu Bursby tewas di medan langit. Itu selepas kemenangan atas Belgrade, bukan? Berandai jika menang, Niatku di subuh ini akan meyalakan dupa mengenang arwah Bent, Byne, Colman, Edward, Jones, Pegg, Taylor dan Wheland. Sayang, kuurungkan niat sebab kecewaku memuncak. Rintih perkabungan mengisaki puing-puing kejayaan. kupandang lemah layar TV. Komentator tiada henti mencibir Fergie, Jong. Subuhku kian pasrah. Sepasrah fergie kala menilik rengek ronaldo yang ingin hengkang ke Madrid. Harapku buyar, selamat tinggal angan final. Bernabeu.
:: Imay ifdlal Fahmy
*
Aku bertemu anak kelana. Kasat mata kubaca geriknya:
pembuntut perawan
ah, dia,-
Dia di kala hati dia dapat meruntuh hati perawan. Perawan dan tingkah perawan dibuatnya larut
Sekian detik dia bawa perawan hijrah pada suatu muara. Muara di mana poros muara acap membentuk cinta dia
**
Kueja terus setiap geriknya, Cara rayunya, Cara alaynya, Cara gombalnya
(Ah, Dasar penyetia)
::Resa Pratama
Waktu telah memberi jalan;
Kau singgahinya dengan helai-helai
rambut gelombang
(kupikir panjangnya seperti nisan)
Kudapan riwayatmu tanpa isak air mata
yang kosong yang hampa
tanpa dosa: entah luka
dan jika sampai pada juluran ujung
kau hisap rokok sepotong;
(menafsir cerita sendiri-sendiri)
::Dicky Nugraha
Seseorang mengetuk tidur
Lantas masuk dalam mimpiku
Bujang rengasdenglok!
(Ah, seharusnya nona bugil yang datang)
kau menyapa dengan lubuk bimbang
kubalas dengan tanya;
adakah yang kau bawa?
ini, selembar rentetan kata
tentang harap kusam
dari perhelat malam;
untuk siapa?
Nafasmu terengah,
aku mencium harum
Wanita bale endah,-
::Ahmad Syauqi
Tuan Parlente, kau datang dari kota tawa
dengan misi membawa lagu kemenangan;
gelap langit kau anggap terang;
bayang dan jejak di antara sebilah belati
yang entah apa maksudnya.
Aku ingat, kisah tigaratus video biru
yang kau beri selepas sholat
Tawaku berceceran,
Puas kunyalakan bara;
Liar, hingga aku terbakar juga.
Namun aku terhenyak kala kuterka ini isyarat,
Maksudmu hidup seperti langit.
Ada hitam ada putih, bukan?
::Reza Rianto
Angin-angin bergedesau
Dan kabisat dan moncong pisau
Dekap waktu merisau
Lorong-lorong kampus payau
Jadilah aku galau
(dan kuukir namamu di surau)
menanti pengulur hidup
Dan harap sukar meredup
Ini sudah cukup
kudengar kisahmu sayup-sayup
(ikhwal tetabuhan do’a)
::Deden Zainal Muttaqin
Ra D e
De n
rangkai serenada Partere::
Fa
J j a
R o
S s i
::Muhammad Zacky
di hulu senyap, aku terhisap radio Franksford ‘78
terpaksa kujamahi hutan-hutan frekuensi
jua kurasa hunus suara
bak beringin tergesek angin.
hingga
satu alunan menyelusup-masuk telinga,
Dangdut rupanya.
Bergoyanglah nadiku
Berjingkrak seiring irama
Dendang-dendang merdu para tetabuh
Hawa Liriknya sejuk terasa
Menyirat pemuda menuju australia
::Muhammad Aldi Febrian
Datanglah pada suatu altar
Dengungkan pesta-sorak revolusi
Usunglah warna-warna semangat
Terang membentuk kemilau
Maka jika telah sampai
Aku berjingkrak- harap mutlak
menjurus puncak
::Ahmad Taoziri
Aih, warta nilai melambai tangan
Bergegas menuju masa yang urung usai
Satu jalan engkau menggenggam;
Ambisi menyamar di balik pedati
Mengantar cita menjadi nyata
::Imam Akhmad
Dengan ocehan liar,
Kurindui diskusi kewarganegaraan
Tapi kapan, kawan? Sahut-menyahut politik lagi.
Cemasku gemas, hanya membui di ruang benak
Rumah Tirani, Juli 2010

Biasa-Nya ketika penat mengintai
Terngiang Racun sesaat menghilang
Sadar mata luluh terdiam.
Lisna di surat itu Hingga pena terbelah dua
usunglah awan sungkan meratap
_senja kelam tepat semua melegam
lembayung alunkan simponi rintihan
gagak hitam kembali bersemedi ke desa-Nya dan jangan biarkan airmu menetes_
nadi mengalir tak karuan
Terekam harap menanti jawab
celoteh kawan bau cibiran sumpah serapah sukar kuucap
ketika waktu yang mengembara
kesekian kali sinergi kisah
sedari awal harumnya bangkai
namun syukur terlihat asing
_ketika waktu memecat senja
bersiap hitam mengintai
gelap terpingkal terbahak-bahak_
tanda ketika surat akhir-Nya sampai
2008, kantin sekolah
"kakak kuliah di Upi ya" dia memegang gitar.
"ia de, tau darimana?" aku bertanya keheranan.
tak sempat menjawab.
terdengar suara sopir teriak lancang
"hus..di sana ngamennya hus hus anjing"
jantung sejenak berhenti.
muncul fatamorgana kedua adik kecil ku yang
mungkin sedang sayu dalam dekapa...n
emak nan ronta.
gusti.mengapa yang iklas selalu tak berdaya.
atau mungkin beginilah kenyataan adanya..
beberapa detik berpaling gadis
keluar penuh sedih
masuk ke tiap angkot yang kulihat
di jendela mobil dengan sopir yang kuanggap batu dunia.
:: seperti Alogana saja
" tiadalah berarti sebuah batasan jika didasari oleh uang"
cetus seorang penaruh modal berbaju rapih penuh
wibawa di negeri khayalan.
Mengangguklah mereka dengan tangan
dijepit parang berulu pedang.
"ya..yaa..ya.. tuan ampuni kami"
Semua berawal ketika terjadi konfrontasi
yang sangat akut disebuah tempat penuh rindang.
Sekelilingnya dikurung oleh indah pepohon
sesekali harum semerbak melumangi jiwa-jiwa yang sepi
"hahaha..kalian kaum kampung nan terbelakang"
"enyah kalian..mana ada tempat yang dilarang untuk sebuah pembangunan"
" harga diri kalian tak lebih dari uang recehan"
penuh jumawa seorang pengusaha mendoktrin
kaum-kaum "terbelakang" tersebut dengan kilau harta nan gemerlap.
"kami hanya kaum alam..jangan usik kami wahai binasa"
"ya..harta tak lebih dari sesaat..kalian hanyalah anjing-anjing dari neraka"
sembari sujud mereka mengeluarkan angan
.namun ujaran hanyalah ujaran.
kasihan sekali mereka: melawan mencoba berontak
namun sekali lagi satu hal berbicara : kekuasaan
tempat itu elok.
penuh kerindangan juga gemercik ketenangan.
namun masa edarnya tak lebih hanya "guyonan" sesaat
kaum-kaum petuah terusik
terlalu banyak diskriminasi yang mereka dapat-maklum kaum terpencil-tak ada mereka temukan sebuah televisi ataupun radio.
yang ada hanyalah sayup berita dari kawanan burung juga suara-suara misterius yang datangnya dari sebuah pepohon.
ahh. tak banyak yang mesti diceritakan. satu hal yang pasti :
anjing-anjing utusan neraka telah membinasakan mereka.
binasa karena harta pun reputasi (malu mereka disebut kampung)
hingga mereka berontak.
bernama: ketamakan
jadilah tempat tersebut menjadi kenangan.
kabar terakhir disurat kabar: Rencana Pembangunan Kandang Anjing Utusan Neraka Telah Disepakati Oleh petamak
lugas cerdas
di langit jawa air deras. .
Berlarian
komunal berbaju loreng. .
Terlihat si rambut cepak
"ia surya kencana?"
"ya..ya. .ya" teriak pasukan.
"songsong peluru..tepat ke penjuru"
surya kalang kabut
"peduli apa peluru itu, sekalipun ia bebas masuk ke tubuhku"
terus menyusuri semak tajam:
"diobral..diobral. Setumbak satU juta. Diobral..diobral"
Lupa..
Terlihat banyak Kuli bangunan bekerja
sesekali tampak asap menyembur dari rokok yg di hisapnya
ketika parang siap ku kibaskan
Kembali aku tersipu malu rupanya..
sedari dulu: pribumi menjadi babu..