Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Budaya membaca masih menjadi persoalan yang belum tuntas di Indonesia. Sejumlah survei menyatakan kegiatan membaca bangsa kita masih rendah. Survei Central Connecticut State University (CCSU) misalnya, pada 2016 menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca.

Hal ini tentu harus menjadi perhatian bersama. Sebab, setiap negara yang maju, dibangun dengan fondasi literasi yang kuat. Jika membaca sudah menjadi budaya, kita bisa memiliki penalaran yang tajam. Bangsa kita tak akan terperdaya oleh kabar hoaks. Logika kita akan bekerja seiring dengan banyaknya sumber bacaan yang kita tuntaskan.

Bagi masyarakat kelas menengah yang lekat dengan gawai, seharusnya budaya membaca bukanlah menjadi persoalan. Semua informasi bisa kita dapatkan melalui internet dalam gawai. Sebagai catatan, berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan setengah penduduk Indonesia atau sekitar 143 juta orang telah terhubung jaringan internet. Fenomena yang terjadi, publik kadang lebih menikmati membaca teks-teks ringkas dalam media sosial dibandingkan membaca buku secara utuh.

Kondisi demikian menjadi tantangan tersendiri bagi guru dalam upaya membudayakan literasi anak didik. Rasanya kita tidak bisa melarang anak memainkan gawai sebab telah telanjur lekat dalam keseharian. Hal yang harus kita lakukan adalah memanfaatkan gawai sebagai media meningkatkan budaya membaca buku.

Ada sejumlah aplikasi penyedia buku digital yang bisa kita manfaatkan dalam pembelajaran. Salah satu aplikasi tersebut yakni ipusnas. Aplikasi yang dikembangkan oleh Perpustakaan Nasional ini memiliki keunggulan dibanding aplikasi lainnya. Pertama, aplikasi ini bisa diakses secara gratis. Kedua, koleksi buku digital dalam ipusnas cukup lengkap.

Kita bisa menemukan sejumlah buku fiksi maupun nonfiksi karya penulis ternama. Dalam kategori novel misalnya, kita bisa membaca Dunia Kafka karya Haruki Murakami, Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan, Sang Alkemi skarya Paulo Coelho, Multatuli karangan Max Havelaar, sampai Dilan-nya Pidi Baiq.


Tampilan aplikasi Ipusnas jika kita hendak membaca buku

Untuk bisa mengaksesnya, kita harus mengunduh terlebih dahulu di play store. Selanjutnya, kita harus mengisi data diri agar memperoleh akun. Cari buku yang kita suka kemudian unduh. Konsep dari ipusnas adalah sistem pinjam buku digital. Karenanya, ada batas waktu peminjaman. Lewat tiga hari, data buku akan hilang dari ponsel dan kita harus mengunduhnya kembali.

Sebenarnya di sanalah kelemahan sekaligus tantangan aplikasi ipusnas. Di satu sisi kita harus memperbaharui unduhan bila waktunya habis. Di sisi lainnya ada sensasi tersendiri bagi pembaca untuk menakar sejauh mana keterampilan membaca sesuai batas waktu peminjaman yang ditentukan.

Dalam pembelajaran, kita dapat memanfaatkan aplikasi ipusnas untuk proyek membaca anak. Kita bisa memberikan tantangan kepada anak untuk memilih buku yang dibaca. Selanjutnya anak diarahkan untuk membuat ulasan dari bab yang ia baca. Agar menarik, ulasan tak melulu dalam bentuk esai. Anak-anak bisa menginterpretasikan isi bagian buku tersebut dalam bentuk mind map, gambar, atau puisi.

Anak kemudian diarahkan untuk mempresentasikan dan saling menanggapi hasil ulasan buku. Guru dapat memberikan stimulus dengan memberi sejumlah pertanyaan kritis pada anak. Misalnya, Apa yang kamu lakukan jika jadi tokoh utama dari cerita tersebut? Apa bagian paling berkesan dari buku tersebut? Bagaimana cara menerapkan amanat dari cerita tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari?

Pada era digital yang bertabur informasi ini, sejatinya menjadi peluang untuk meningkatkan minat baca. Hal yang harus kita lakukan adalah membangun pembiasaan membaca buku bagi anak, baik bentuknya cetak atau digital. Aplikasi ipusnas, bisa menjadi media untuk merealisasikan hal tersebut.


*Artikel yang saya tulis ini dimuat di koran Pikiran Rakyat, 8 April 2019.



Teknologi dan pendidikan bukanlah hal yang berlawanan. Keduanya saling mengisi kebutuhan manusia. Dalam pembelajaran misalnya, kita bisa memanfaatkan produk teknologi sebagai media belajar untuk anak-anak.  Dan produk teknologi yang bisa kita manfaatkan adalah Kode QR.

Kode QR merupakan kepanjangan dari Quick Response Code.  Kode QR merupakan kode batang yang jika dipindai, bisa menautkan kita pada aplikasi atau web. Sebagaimana namanya, fungsi Kode QR untuk mempermudah kita menautkan informasi pada kode-kode yang tersedia. Hmm, biasanya Kode QR dapat kita temui di bungkus makanan atau sticker yang tertempel di alat elektronik.

Dulu sewaktu belum menjamurnya hape android, saya kebingungan kalau lihat kode QR di label makanan. Kadang berpikir kalau itu kode misterius yang hanya bisa dibaca oleh perusahaan-perusahaan tertentu. Tapi kini, saat kebanyakan hape punya aplikasi pemindai kode QR, segalanya jadi terkuak dan menjadi kemudahan buat kita.

Contoh kode QR
Lantas apa manfaat Kode QR dalam pembelajaran? Segalanya berawal dari kejenuhan anak-anak di kelas saat saya meminta mereka mengerjakan soal latihan. Wajah-wajah mereka cemberut. Lesu. Seperti tanpa semangat. Akhirnya beres latihan, saya coba minta pendapat dari seorang anak.

“Kamu kenapa keliatan lemes gitu!” kata saya.
“Bosen, Pak!”
“Lah? Soalnya kegampangan?”
“Nggak gitu Pak, bosen ngerjain soal esai teruuus.”

Walhasil saya coba nyari referensi metode belajar yang cocok untuk anak-anak. Dan bertemulah saya dengan Kode QR. Sebenernya QR dalam pembelajaran bukan hal yang baru digunakan. Kita sebagai guru bisa memodifikasi praktiknya tergantung kebutuhan.

Saya coba mempraktikan kode QR untuk tes kebahasaan buat anak-anak kelas 7. Biar lebih menarik, kita namakan kegiatan ini sebagai misi Sherlock Holmes. Anak-anak, sebagaimana Sherlock Holmes sang detektif rekaan Sir Arthur Conan Doyle, harus memecahkan misi simbol-simbol tersembunyi di sekitar lingkungan sekolah. Simbol-simbol itu berbentuk Kode QR.

Anak-anak lagi mencoba menjawab teka-teki dalam kode QR
Kode-kode tersebut ada yang tertempel di dinding, di bawah kursi, atau di semak-semak. Setelah dipindai memakai hape, kode akan menghubungkan pada link yang berisi pertanyaan. Dan pertanyaan tersebut harus dijawab di tabel teka-teki silang. Mereka yang paling cepat mengisi semua jawaban dalam teka-teki silang, adalah pemenangnya.

Lalu bagaimana langkah-langkah memanfaatkan QR dalam pembelajaran?
  • Bikin dulu teka-teki silang dan jawabannya (contoh TTS yang saya buat bisa diunduh di sini).
  • Buat pertanyaan teka-teki silang di web atau google drive (contoh jawaban TTS diunggah di blog saya).
  • Ubah satu per satu link menjadi kode QR di web ini, caranya cukup copy link dari blog atau google drive yang berisi pertanyaan TTS ke kolom dalam web tersebut (contoh QR dalam pembelajaran yang saya lakukan bisa diunduh di sini).
  • Print QR dan sebarkan ke sekitar lingkungan kelas.
  • Bentuk anak secara berkelompok.
  • Tiap kelompok bisa memegang satu atau dua hape (kondisional)
  • Pastikan hape terhubung pada internet dan memiliki aplikasi peminda (scanner) kode QR.
Anak-anak sangat antusias dalam melaksanakan misi ini. Gelak tawa pecah terutama saat mereka berusaha mencari kode QR yang tersembunyi di sekitar lapangan sekolah. Ada juga anak yang sudah menemukan simbol tapi bingung mengisi jawabannya. Ia nampak mematung.

Lagi debat nih menentukan jawaban yang benar 

Sampai waktu yang ditentukan berakhir, kami akhirnya membahas satu per satu jawabannya. Dari hasil refleksi, anak-anak merasa tertantang untuk menyelesaikan misi. Pembelajaran pun menjadi tidak kaku sebab dilaksanakan di luar kelas.

Jadi bagi yang ingin mencoba mempraktikkan pembelajaran menggunakan QR, bisa mengunduh soal TTS-nya di sini lalu kode QR nya di sini. Selamat mencoba!

Restu Nur Wahyudin, Guru SMP Islam Dian Didaktika Depok.
Previous PostPostingan Lama Beranda