Penulis :
Penerbit :
ISBN :
Tebal :
Terbit :
Berbagi Tanpa Batas
Galamedia, 10 November 2011
Judul Buku:
Jurnalistik Teori dan Praktik
Penulis:
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat
Penerbit:
PT REMAJA ROSDAKARYA
Halaman:
343
BERKOMUNIKASI merupakan sebuah keharusan bagi manusia agar dapat mempertahankan hidup. Informasi harus selalu didapatkan manusia untuk disampaikan kembali kepada orang lain. Ia perlu mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya, di kotanya, di negaranya, dan semakin lama semakin ingin tahu apa yang terjadi di dunia.
Dan pers-lah yang berfungsi mewujudkan keinginan tersebut. Dapat dibayangkan jika manusia hidup tanpa pers. Bagai siang tanpa mentari, malam tanpa rembulan. Seseorang tidak akan tahu apa yang dilakukan oleh orang lain. Perkembangan dunia akan terkesan lamban, sebab informasi hanya dapat diketahui melalui percakapan langsung.
Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat yang memahami betul peran pers dalam kehidupan manusia menulis buku kejurnalistikan berjudul "Jurnalistik Teori dan Praktik". Menurut dua bersaudara ini, fungsi pers yang bertanggung jawab tidaklah hanya sekadar menginformasikan, melainkan mengamankan hak-hak warga negara dalam kehidupan bernegaranya. Hal ini hanya akan menjadi utopia belaka jika pers tidak bebas dalam memberitakan apa yang benar atau apa yang salah.
Pers di Indonesia
Menurut Muhammad Budayatna, Guru besar Ilmu Komunikasi FISIP UI yang memberikan pengantar pada buku ini, sejak zaman penjajahan sampai pemerintahan orde baru, negara kita menganut otoritarian. Selama kepemimpinan Soeharto, selalu digembar-gemborkan Indonesia menganut sistem pers Pancasila yang bertanggung jawab. Tetapi sayangnya bertanggung jawab kepada penguasa. Ketika perilaku pers tidak berkenan di mata penguasa, pembredelan atau pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) menjadi acamannya. Ini merupakan salah satu ciri pers yang otoritarian.
Sementara, di zaman penjajahan, pers di Indonesia mengenal adanya pembreidelan, tetapi tidak memerlukan izin terbit. Setelah merdeka, pada pertengahan 1950-an diharuskan oleh pihak militer perlu adanya Surat Izin Tjetak (SIT). Jadi, selain pembreidelan, diperlukan pula izin terbit.
Bagi Hikmat dan Purnama, yang sudah melanglangbuana di berbagai kursi redaksi surat kabar di Indonesia, selama pemerintahan orde lama, kebebasan pers hanya merupakan angan-angan. Surat kabar setiap harinya hanya memuat pidato-pidato para pejabat. Jika suatu berita politik dianggap tidak menguntungkan pemerintah, bisa saja berita tersebut dikategorikan anti revolusi dan subversif.
Baru ketika awal reformasi yang ditandai dengan lengsernya Soeharto sebagai presiden RI, tidak diperlukan lagi surat izin terbit dan tidak ada lagi pembreidelan. Hal ini diperkuat oleh adanya UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers. Sejak itu bangsa Indonesia memasuki era sistem pers liberal barat.
Kusumaningrat bersaudara sudah mencium akar-akar sistem pers liberal barat sejak awal kemerdekaan. Hal ini dapat terlihat dari segi perusahaannya, pers Indonesia sejak dulu sudah saling bersaing satu sama lain. Yang kuat akan bertahan, yang lemah gulung tikar.
Dari segi jurnalistiknya, cara pemilih, dan menyajikan berita mengacu pada pertimbangan-pertimbangan komersial. Dan dari segi politiknya, pers Indonesia selama ini mirip pers barat, organisasi politik memiliki, dan sekurang-kurangnya dapat memengaruhi surat kabar.
Bekerja untuk rakyat
Pasca reformasi, mulai dikenal istilah kebebasan pers. Kebebasan di sini bukan dimaksud pers bebas memberitakan suatu kejadian dengan seenaknya. Tapi dalam proses pencarian berita, pers tidak mendapat intervensi maupun ancaman dari siapa pun agar leluasa memberikan informasi kebenaran untuk rakyat. Sebab, segala alur gerak pers termaktub dalam UU No. 40 Tahun 1999. Sementara itu, untuk mengatur norma-norma dan etika para pencari berita, maka Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menetapkan kode etik jurnalistik.
Buku ini membahas hingga tataran praktik jurnalistik, seperti cara menghimpun berita, kiat-kiat menulis, sampai kendala-kendala dalam proses jurnalistik. Sebelum ditutup dengan lampiran UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers dan kode etik jurnalistik.
Kiranya Kusumaningrat bersaudara berusaha mengamanatkan agar seluruh rakyat dapat memaknai keberadaan pers di Indonesia. Sejatinya, jika rakyat dan jurnalis saling bahu-membahu, bergerak bersama mengusung kebenaran, maka bukan tidak mungkin akan tercipta sistem pemerintah yang adil di bumi pertiwi. (Restu Nur Wahyudin, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UPI Bandung)**
Untuk Hikmat, Purnama, dan seluruh bagian dari masyarakat yang mengabdi, mencari kebenaran di dunia kejurnalistikan. Kemarin, hari ini, dan selanjutnya.
BAB I
Identitas Pembaca
Restu Nur Wahyudin, Lahir di Bandung, 19 Mei 1991. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Bergiat di Hima Satrasia subbidang Partisipasi Sosial Politik Mahasiswa (PARSOSPOLMAWA) dan Bergiat di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Departemen jaringan.
Latar Belakang Membaca
Masalah-masalah yang acapkali terjadi pada Negara Indonesia, baik di bidang ketatanegaraan, pembangunan, perekonomian, dan di bidang kedaulatan Negara Indonesia. Menghasilkan suatu hati nurani untuk berusaha mencari kebenaran. Kasus seperti century, Mafia kasus, dan koruptor sudah lumrah menghiasi berbagai surat kabar di Indonesia. Masalah ini sulit sekali untuk dihilangkan, namun bukan berarti tidak ada obat yang dapat menyembuhkan masalah tersebut.
Harapan Membaca
Harapan penulis setelah membaca novel berjudul Sehatlah Jiwanya Sehatlah Badannya ini adalah dapat mencari jawaban akan masalah-masalah yang saat ini mengeruak dalam belatika politik Indonesia. Memalui buku yang di baca ini, penulis berharap dapat memiliki motivasi tersendiri untuk berbuat lebih baik lagi. Pun untuk mencari solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah di Indonesia.
BAB II
Identitas Buku
Judul buku : Sehatlah Jiwanya Sehatlah Badannya
Penulis : dr. Ario Djatmiko
Penerbit : Pusat Pergerakan Pemuda Indonesia
Cetakan : Pertama
Tahun Terbit : 2004
Jumlah Halaman : XIV+156 halaman 20,5 x 13,5 cm
Ilustrasi Sampul
Sampul depan novel ini berlatarkan warna hitam bercorak merah. Dalam sampul novel ini, tampak punggung dari seseorang berambut panjang. Di punggungnya tercantum judul dari novel ini Sehatlah Jiwanya Sehatlah Badannya tampak terpampang jelas berwarna putih. Diatas tulisan judul, tercantum jenis novel yang bertuliskan novel politik. Di sisi kanan bawah sampul, terdapat tulisan untuk Indonesia raya berwarna putih. Di bagian bawah, tertulis pengantar W.S Rendra. Kemudian di bawah tulisan tersebut, tercantumlah nama penulis dari novel ini yaitu Ario Djatmiko berwarna merah.
Adapun di bagian sampul belakang, tak jauh beda latar warna sampulnya dengan bagian depan. Hanya warna hitam tampak lebih kental di sampul belakang. Tertulis beberapa pendapat dari berbagai macam golongan masyarakat setelah membaca novel ini.di bagian sisi kanan tertulis ajakan jangan mengaku aktifis, sebelum baca buku ini. Di bagian bawah sampul belakang, tercantum riwayat hidup singkat penulis Ario Djatmiko.
BAB III
Cara Baca
Karena termasuk novel yang kata-katanya mudah untuk dimengerti sekalipun bagi para pembaca pemula, maka tidak perlu dibutuhkan waktu yang lama untuk membacanya. Normalnya apabila kita membaca novel ini tanpa ada rehat, dibutuhkan waktu 3-4 jam sampai kita membacanya hingga tamat.
Sekalipun novel ini berjenis novel politik, tetapi proses pemahamannya cukup mudah karena penulis mendeskripsikan melalui beberapa cerita. Dengan membaca tiap alur dalam cerita tanpa ada proses pengulangan pembacaan, memudahkan pembaca untuk memahami jalan cerita dalam novel Sehatlah Jiwanya Sehatlah Badannya.
BAB IV
Sinopsis
Menceritakan seorang dokter puskesmas yang bekerja di sekitar Jakarta, bernama Wawan dengan usia 29 tahun. Sosok wawan diceritakan dalam novel ini sebagai sosok dokter yang peduli akan keadaan Indonesia, ia mengontrak rumah sambil membuka praktek dekat puskesmas. Istri wawan diceritakan dalam novel tersebut tengah hamil 6 bulan. Mereka adalah keluarga yang harmonis di tengah kesederhanaan.
Pada suatu hari, wawan dikejutkan oleh telepon dari kak Ela yang isinya mengabarkan bahwa keadaan Bang Amran layaknya seperti orang depresi. Tidak mau makan, jarang berbicara, berdiam diri sendiri, Tatapannya seringkali kosong. Bang amran dan kak Ela tidak memiliki hubuyngan darah apapun dengan wawan ataupun ria. Tetapi mereka hanyalah mantan tetangga di rumah yang lama, sebelum Wawan dan ria pindah rumah. Bang Amran dan Kak Ela sudah dianggap sebagai saudara sendiri. Bahkan ketika wawan dan ria menikah, bang Amran lah yang menjadi saksinya karena Orang tua wawan sudah meninggal dunia. Wawan dan Ria jelas sangat tak percaya, pasalnya bang amran yang mereka kenal adalah sosok yang ceria, banyak ngomong,dan bersahaja.
Maka ketika Wawan merencanakan untuk berkunjung ke Rumah Bang amran, Ria girang bukan kepalang. Pasalnya Ria yang sedang mengandung janin perempuan ini sangat dekat sekali dengan Ajeng, anak dari Kak Ela dan Bang Amran. Seekali dalam awal cerita, dr. Moko, sapaan akrab dr. Ario Djatmiko, sesekali mengkaitkan jalan ceritanya dengan beberapa masalah politik dan sosial.
Ketika Wawan dan Ria sampai di Rumah bang Amran, rupanya benar adanya apa yang di kabarkan oleh Kak ela di telepon. Bang amran yang mereka kenal kini berubah seperti orang yang sedang depresi. Beruntung Wawan dan Bang Amran sangat dekat sekali, hamper di setiap masalah, mereka saling berbagi pendapat dan solusi. Tak terkecuali dengan apa yang saat itu terjadi dalam nurani Bang amran, Ia menanti kedatangan wawan untuk dapat berkeluh kesah akan masalahnya.
Rupanya masalah yang ada dalam benak bang Amra n cukup menghentakkan nurani Wawan. Beng amran bercerita akan baik buruknya pemilu di Indonesia, kemudian apa jadinya jika ketika melakukan kewajiban memilih wakil rakyat tidak didasari dengan hati nurani,.Terlepas dari itu juga, bang amran bercerita akan baik buruknya kinerja para wakil yang terhormat. Seringkali dalam tiap masalah, penulis menganalogikan kedalam dunia kedokteran. Bang amran sangat ketakutan ketika sekolah, universitas dan rumah sakit harus mencari uang sendiri karena subsidi setiap tahun dikurang secara bertahap, akibatnya biaya pendidikan tidak lagi menjadi sesuatu yang dianggap murah.
Selain dalam aspek pendidikan, bang amran pun bercerita akan hasil alam yang dikelola oleh investor asing. Namun menurut bang amran, solusi akan masalah ini ditentukan oleh semangat bangsa Indonesia. Kaum-kaum intelek pun harus andil besar untuk membangkitkan Negara Indonesia kearah positif. Mereka yang menurut bang amran layak dianggap sebagai kaum intelek adalah mahasiswa, seniman, dan jurnalis. Apabila kinerja mereka maksimal, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan maju.
Masalah-masalah itu pulalah yang membuat bang amran depresi, apalagi ketika melihat ajeng sedang tertidur. Ia membayangkan apa jadinya masa depan pendidikan ajeng kedepannya. Sejenak Wawan, ria , dan Kak Ela terdiam mendengar cerita dari Bang Amran. Sesuatu yang membuat hilangnya sosok ceria dan banyak bicara dalam diri bang amran hilang. Untuk dapat sedikit menghilangkan masalah tersebut, wawan menulis sekelumit kehidupannya kedalam novel ini.
BAB V
Tanggapan
Buku Sehatlah Jiwanya Sehatlah Badannya sanggup mendeskripsikan bagaimana masalah sosial politik kedalam suatu cerita yang menarik. Alur demi alur cerita dalam novel ini layaknya seperti sebuah esai berseri. Dikemas dalam gaya penyampaian yang ringan melalui bentuk dialog dengan beberapa analogi kedokteran membuat kita serasa berada dalam dunia penulis yang sebenarnya.
dr. Djatmiko (moko) tidak hanya memberikan informasi mengenai masalah-masalah yang terjadi di Indonesia saja, tetapi juga berusaha membangkitkan rasa cinta tanah air pembaca melalui renungan-renungan yang ditulis dengan netral tanpa ada keberpihakan. Satu hal yang dapat di rasakan ketika membaca novel ini adalah meningkatnya nurani kita untuk berbuat lebih baik dan tetap meningkatkan sendi-sendi keadilan.
Rekomendasi
Novel yang berjudul “Sehatlah Jiwanya Sehatlah Badannya” ini, sarat akan nilai-nilai sosial dan politik yang saat ini menjadi sebuah fenomena kehidupan. Sehingga cocok dibaca oleh semua golongan—sekalipun novel ini berjenis novel politik. Dalam novel ini, dokter Moko mengajak orang-orang yang sadar jangan sampai kehilangan kebijaksanaan dan intelektualitas mereka. mereka tidak boleh lengah menjaga standard akal sehat kolektif bangsa. Dalam kaitannya dengan semangat bangsa, buku ini sungguh layak untuk dibaca
© Copyright 2015 Designed by VeeThemes - Blogger Templates - Powered by Blogger