
Ketika itu aku bersembunyi di semak belukar, berusaha mencari angin inspirasi penghilang sepi. Di tinggal kawin oleh orang yang sudah kukultus sebagai calon pasangan hidup membuat hati ini terberangus dilumangi kepedihan. Rupanya ada saja insan hidup pengacak nadi-nadi kehidupan. Kini yang ada dalam angan hanyalah kata lupakan, barangkali bersama semak belukar lah kuceritakan sekelumit kisah pedih yang masih ranum. Ilalang acapkali berlomba silih bergoyang, mengajak aku menyalurkan elergi kisah rumitku. Sembari: menghisap bakau kering terakhir.
Aroma kabut lembab sukar tuk dihilangkan, meskipun itu di siang bolong. Juga karena aroma tersebut, kembali terngiang ingatan akan roman meremang. Rupanya hanya semak di sisi rawa lah tempat tujuanku. Melupakan segala aktifitas yang kian akut, dan aku butuh keheningan. Saat ini tepat seminggu sudah aku bersemedi dengan alam. Kurasa berbeda sekali hari ini, burung-burung tepi rawa tampak berkomunal menggeliat penuh heran. Pori tanah yang biasa kuinjak hatinya tampak berdebar. Pun ilalang yang biasanya bergoyang kini tampak basah di hujat air mata seseorang. “Ada apa gerangan, duhai raja alam , katakanlah isi hatimu. Mengapa kau tampak heran” aku berdiri sembari melirik kesekeliling rawa.
Angin lah yang pertama menjawab pertanyaanku, porosnya mengarah ke sebongkah batu. Letaknya sebelah utara dari arahku. Kemudian disusul oleh burung-burung dan ilalang , pun komplotan serangga memberikan jawaban atas segala heran. Dan kembali: mengarah ke sebongkah batu.
Angan busukku bergumam:
“ mungkin itu hanya dua insan busuk yang sedang bercumbu di balik batu”
“tapi...ahhh tampaknya bukan. Jikalau benarpun itu, lalu mengapa burung-burung terbelalak heran, pun dilihat dari bola matanya mereka tampak sedih. Juga jangan lupakan Kristal air mata yang menempel di tubuh ilalang”
Rasa panasaran yang kian akut. Memberanikan raga ini tuk mendekat pada sebongkah batu. Dari kejauhan, aroma kabut seketika sirna tertutup wangi khas dewi dunia, dewi yang kumaksud itu adalah wanita. Pikiranku kian akut dan berdebar, bersamaan dengan itu pulalah langkah kakiku berhenti di depan sebongkah batu.
oh , malang nian, rupanya benar..Ia adalah dewi dunia yang tampak duduk ditemani kepedihan. Wajahnya tampak kisut, sama halnya dengan rambut panjangnya, kusut. Tak terkecuali dengan apa yang dewi kenakan, compang-camping nan kumal. Tampak: Kristal-kristal air mata mengalir deras dari bola mata dewi yang sayu.
Tanpa berpikit panjang, kugapai tangan kanannya mendekati tepi rawa. Air rawa yang masih suci, kubasuhkan pada muka sayu sang dewi. Tangisnya, sedikit demi sedikit sirna terhapus oleh pesona rawa. Segar nan sejuk, Elok nan sepoi. Cahaya kecantikan khas insan wanita mulai tampak di rona wajah sang dewi. Tersipu tak berdaya aku menatapnya, oh wanita..
“aku ratna tresnawati, terima kasih telah sedikit menghapus kepedihanku” sang dewi berterima kasih kepadaku.
“lalu siapa namamu, kau belum memperkenalkan dirimu”
“ahh..tak penting akan arti sebuah nama, sebut saja aku ilalang, yang acapkali bergoyang ketika di senggol sang angin pualam” aku berusaha menggerutu.
Rupanya dewi sedikit tersenyum. Senyum sang dewi, merupakan suatu kerinduan bagi hati yang rindu akan kharisma sosok wanita. Harap maklum, seminggu terakhir ini, aku mengasingkan diri bersama alam di tepi rawa. Pantas burung-burung, ilalang dan komplotan serangga terbelalak. Rawa di tengah hutan ini, sangat sukar dijamahi para insan. Kalaupun ada, hanyalah mereka yang sekedar ikut bercumbu di pelataran rawa, tak sanggup membayar sewa hotel berbintang dua.
“mengapa dirimu berada disini? Pun ada apa gerangan sehingga kau teteskan air mata itu” aku bertanya pada sang dewi.
“akar kesucianku ditebang habis nyaris tak bersisa. Kini yang ada hanyalah ruh semu menetap pada diri jiwa yang tak berguna. Kehidupanku laksana diserbu serdadu tamak yang kelaparan.”
“Dan tahu kah kau wahai ilalang siapa yang melakukan itu? tak lain dan tak bukan adalah tunanganku sendiri. Seseorang yang sudah kuanggap mempelai hidupku. Salahnya ibuku, dia terbuai oleh kekayaan tunanganku itu. maklum, keluargaku terbilang miskin. Hanya pada diriku lah mereka menggantungkan sisa hidupnya."
“Peristiwa di ahad kemarin sungguh semakin membuat miskin kehidupanku, bukan hanya miskin harta, tetapi juga miskin hati. siang itu keadaan rumahku sangat sepi, ayah sedang berkuli di ladang. Namun dari luar pintu rumah, terdengar samar-samar suara hasrat dua insan manusia. Mataku terbelalak, rupanya kursi ronta di ruang tamu rumahku, di jadikan pijakan hasrat busuk kenikmatan duniawi. Tunanganku sedang bercumbu penuh nikmat dengan ibukku!”
“aku yang ketika itu nyaris tak percaya, berusaha menyadarkan bahwa ini adalah kenyataan. Tak sempat aku menegur mereka, rupanya bersamaan itu pulalah ayah pulang dari ladang”
“ayah yang hatinya teriris perih. Kemudian mengangkat hulu parang di kantung perkakas ladang, entah sadar ataupun tidak., ayah tancapkan parang tersebut ke tubuh ibu yang masih tak berbaju. Seketika ibu sekarat menanti ajal. Tunanganku yang marah dan ketakutan, kemudian berusaha merebut parang bersimbah darah di tangan ayah.”
“ ayah yang terbilang ronta, tak kuat menahan perlawanan dari tunanganku, parang pun direbut kemudian ditancapkan lah tepat di ubun kepala ayahku”.
“jadilah ruang tamu itu bak lautan darah pertempuran, kian meluber keluar pintu. Aku yang diancam akan dibunuh, kemudian dipaksa masuk kedalam jeep chevron milik tunanganku, Dengan mimik ketakutan, mobil pun dibawa sekencang-kencangnya. tanganku diikat lakban, mulut pun dibekam kain. Di perjalanan yang entah akan dibawa kemana ini, ia merusak kegadisanku nyaris tak bersisa, bahkan tak terhitung banyaknya. Aku yang lemas tak berdaya. Kian sesak akibat di kepung oleh busuknya air kental khas lelaki, kemudian dibuang di tengah hutan. hingga sampailah aku di tempat antah berantah seperti ini.”
Cerita sang dewi seketika menghentikan nadiku. Meskipun ceritanya terkesan rumit namun makna dari cerita tersebut teramat dalam jika dihubungkan dengan roman lalu hidupku. rupanya air mata ratna tresnawati tidak akan cukup dilampiaskan pada deret alphabet yang berlembar menampung gulung bimbang penuh kepedihan, tak cukup tuk disiratkan dalam buku catatan takdir hidup.
Tiga malam sang dewi menetap di tepi rawa, sama seperti diriku: bersemedi dengan alam. Tiada hentinya di setiap waktu aku berusaha menenangkan isi hatinya. Berusaha memenuhi elergi hidupnya dengan nyanyian pun goyangan sang ilalang. Berusaha menari di pintu gemintang hatinya, kemudian masuk dan berburu roh-roh kepedihan, untuk menggantinya dengan roh-roh kebahagiaan. Berusaha mengejarkan laksana guru tanpa jasaakan arti hidup hanyalah ujian tak berujung. Pernah suatu ketika gagak hitam berusaha mengelilingi dewi ratna, namun seketika itu pulalah Ia dilindungi oleh gerombolan burung penjaga rawa pualam.
Hingga akhirnya datang pada suatu waktu, akhirnya aku dapat menyadarkan gadis manis itu, kembali seperti dulu. Kembali sebagai gadis riang nan bersahaja. Kembali bergelora menapaki singgasana hidup. Kembali...
“Pulanglah wahai dewi, ini bukanlah tempat hidupmu, apakah dirimu berkenan jika aku mengingatmu dengan nama dewi?” rayuku padanya.
Awalnya dewi menolak. Namun setelah kuyakinkan bahwa hidup adalah tantangan, dewi ratna langsung mengangguk tanda setuju. Kuantarkan sang dewi ke ujung hutan perbatasan kota.
“kau tak ikut lang?
“tidak dewi, tempatku tampaknya akan kekal abadi disini” retna tresnawati tersenyum.
“terima kasih lang, aku tidak akan melupakan kebaikan dirimu, sebagaimana rembulan bicara dengan matahari sekalipun mereka terlekang oleh waktu”.
Pulanglah wahai dewiku..jiwa ini akan kekal di rawa pualam, andai yang kau tahu mengapa aku dikatakan kekal bersemedi bersama alam? Adalah ketika seminggu yang lalu, ku gantung ragaku tepat di atas pohon di balik batu. tak kuat aku menahan perihnya di tinggal cinta. Hingga seikat tambang menemani ajal yang hina..
Pulanglah dewi...
0 komentar:
Posting Komentar