
Hujan Desember ketika itu, rasanya enggan berhenti dalam waktu sebentar. Airnya yang luruh lebih menyerupai butiran kristal. Membekukan suasana yang samar-samar menjadi seperti malam, remang dan sepi. Siang itu, Hasim menerima sebuah ironi pahit yang tidak terduga. Seperti hujan yang tak dapat diterka, kapan ia akan mereda.
Wajahnya kisut bercampur linglung laksana hilang akal. Kebingungan berputar. Pikirannya patah arang tergolak kepedihan. Sempat ingin menangis pilu, namun apa maksud dikata, bersamaan itu air hujan turun menetesi bola matanya yang sudah tak kuat menahan golakan air mata. Hasim hanya meratapi motor bebek kreditan yang belum lunas sepenuhnya. Namun ratapan hatinya bukan mengarah ke motor hitam legam itu. Melainkan pada sesuatu yang seperti biasa ia cantelkan di bagian jok motornya. Mata hasim terbelalak mencari benda tersebut. Kekanan kekiri dicari namun hanya ironi yang hakiki.
Hijau warnanya. Masih mengkilat bau pabrik, bahkan capnya pun masih terjaga lengket menempel. Acapkali jika pengendara motor tak memakainya, sosok berseragam coklat memekat siap menghadang di sisi jalan raya. Pemberian dari almarhum ayahnya ketika masih perkasa menjadi pengajar di sekolah pinggiran.
“kubelikan helm ini untukmu anakku, tak pantas dikenakan oleh pria ronta seperti aku ini, kelak bersama helm ini kau dapat meraih keberuntungan, jaga ini baik-baik nak” ujar almarhum ketika masih hidup.
Namun sekarang di tengah kepungan motor parkiran, benda yang dianggap oleh hasim sebagai keberuntungan itu hilang entah kemana. Mungkin orang lain dapat menertawakan hasim, hanya karena kehilangan sebuah helm saja sudah menangis pilu berlumang kepedihan, lantas apa jadinya jika kehilangan rumah ataupun pekerjaan?. Eit, bukan masalah kehilangan materi dari helm tersebut Bung, tapi ini menyangkut konsepsi perasaan yang tak dapat terbantahkan: kenangan
Cukup lama hasim diam terbelalak di depan motornya setelah kemudian kini ia tersadar bahwa satu hal yang semestinya dilakukan oleh orang yang kehilangan : melapor kepada yang berwenang.
“Pak, maaf apakah anda penjaga disini” Tanya hasim dengan sedikit emosi kepada sosok berseragam putih hitam
“ya betul, ada apa ya” penjaga disana sedikit terkejut ketika hasim bertanya. Tak banyak lama, hasim kemudian menceritakan kronologis kejadiaannya.
“ketika saya masuk ke ruang ini sekitar pukul 11.30an lah pak, ketika itu saya mencantelkan helm di bagian jok motor. Ya seperti biasa saja, toh karena tidak disediakan penitipan helm. Namun ketika saya keluar dari ruangan ini kira-kira pukul 14.30an dan berniat pulang, helm saya sudah raib entah kemana, ini gimana pak penjagaannya”
“mas jangan parkir disini. Kan sudah ada plang pengumumannya (0, ternyata benar ada plang pengumuman di penjuru parkiran, tertutup oleh semak belukar). Di sini yang bertugas hanya berdua, dan kami memonitir keluar hanya sejam sekali”
Pernyataan dari penjaga tersebut terbilang aneh, mengapa di larang parkir tapi kok sejauh mata kita memandang, di sisi motor hasim terbentang deretan motor terparkir rapi. Pun ruangan sebesar ini masa hanya dijaga oleh dua orang penjaga. Geramnya perasaan hasim kembali memuncak, yang ada di benaknya hanyalah helm hijau kenangan.
“lantas saya mesti bagaimana? ok lah pak, benar saya salah teledor akan aturan. Namun, jelas kan tugas bapak di sini menjaga sesuatu agar tidak hilang” Hasim naik pitam
“begini saja mas, silahkan anda melapor ke pos pusat penjagaan. Dari sini lurus kemudian belok kanan” jawab penjaga berperawakan kurus berisi berusaha sabar.
Dengan bekal emosi yang kian akut, hasim menyalakan motor kreditannya. “Greng..greng”, suara motor melawan teriakan gemuruh petir beserta hujannya. Basah kuyup tidak ia pikirkan, dalam angannya : tak penting surat laporan kehilangan, yang jelas dimana helm kenangan dan menanyakan bagaimana penjagaan hingga menyebabkan helm kenangan raib.
Sampailah hasim di depan pos penjaga.. Dari luar terlihat bangunan tersebut adalah bangunan lama, meski baru dicat kelabu abu, namun tetap saja rontaan kayu penyangga tidak dapat ditutup-tutupi: Bau kayu yang sudah lapuk. Tak banyak lama, hasim parkirkan motornya tepat di sisi depan pos penjagaan, kemudian masuk ke dalam pos penjagaan tersebut dengan modal mencari jawaban kepedihan akan kehilangan helm kenangan.
“selamat siang pak, saya ingin melapor bahwa saya kehilangan helm” hasim menyapa sembari langsung ke topik pikirannya.
“baik ikut dengan saya” jawab seorang bertubuh besar sedikit tambun dengan kumis yang cukup tebal.
Dibawalah hasim ke suatu ruangan. Ruangan itu terkesan tidak terawat. Tiap sisi dindingnya terdapat ukiran alami yang menjadi hiasan ruangan: rambat laba-laba dan tapak bocor yang menguning. Di tengahnya terdapat dua kursi dan satu meja. Kemudian duduklah hasim dan orang tersebut.
“ada apa mas” Tanya orang tersebut,
tampaknya orang itu adalah ketua dari penjaga-penjaga disini. Dilihat dari seragam yang dikenakannya berbeda sekali karena memakai kemeja abu khas pegawai kantoran. Mungkin yang tidak bisa dibantahkan bahwa beliau bekerja dibagian keamanan adalah perawakan khas penjaga: tinggi besar.
Kemudian hasim menceritakan kejadian yang menimpa dirinya. sejelas-jelasnya. Di akhir cerita kehilangannya, hasim lantas bertanya.
“Pak, lalu bagaimana keamanan di sini kok bisa hilang begini” ceplas-ceplos diiringi emosi kehilangan.
“anda jangan begitu! Tugas kami di sini memang untuk menjaga, namun jika anda membaca buku pedoman masuk di tempat ini, di sana terpampang bahwa tugas kami adalah menjaga aset Negara. Bukan menjaga helm anda saja” bapak tersebut menjawab dengan emosi sembari menunjuk-nunjuk muka hasim.
“pak, saya sekolah d isini bayar, masa saya tidak mendapatkan hak perlindungan,. Apalagi ini menyangkut sesuatu yang saya anggap kenangan. Jelas tidak adil dong pak“ hasim berusaha mempertahankan argumennya.
“anda jangan melulu menyalahkan penjaga. Personil kami disini terbatas, anda disini masih tidak tahu apa-apa mengenai aturan. Sekarang kan sudah berubah menjadi BHMN, subsidi tiap tahun dikurangi secara progresif. Anda mau jika personil keamanan ditambah tetapi SPP anda naik” penjaga tersebut menjelaskan sembari naik pitam dengan mata menyeringai .
Sejenak detak jantung hasim berhenti ketika mendengar salah satu kata dari jawaban bapak tersebut.
“jelas tidak lah pak, saya hidup sendiri, usaha saya hanya menjadi tukang ojeg dan menjual donat sembari menuntut ilmu, lantas helm saya bagaimana? Masih ranum pak, masih bau toko, sekitar Sembilan bulan yang lalu”
Kenangan adalah sesuatu yang tidak mungkin terhapuskan. Tak lain dan tak bukan adalah kenangan akan sosok almarhum ayahnya. Sang pengajar yang selalu membahagiakan anak semata wayangnya, apapun ia lakukan asalkan keinginan hasim terpenuhi. Dari mulai motor (yang terpaksa kredit dari dealer). Menuntut ilmu di perguruan tinggi, Hingga rengekan ingin dibelikan helm yang terpampang pada etalase toko otomotif.
Hasim awalnya keras kepala, namun selepas terdengar berita suatu hari di siang bolong, bahwa ayahnya meninggal akibat serangan jantung ketika beliau demo bersama pengajar-pengajar pinggiran lainnya menuntut kesejahteraan, dan menolak adanya Badan Hukum milik Negara. Di depan jasad Ayahnya yang berlapis kafan putih terang, hasim berjanji dengan penuh keyakinan sembari meneteskan butir duka.
“kan kujaga helm ini ayah, kugapai cita-citaku menjadi sang pengajar seperti dirimu. Juga tetap takkan lelah berusaha bertempur melawan kebodohan.”
Jadilah hasim seorang yatim piatu, setelah sebelumnya hanya berpredikat piatu sejak Ia dilahirkan.
Sejenak hasim terdiam, berusaha menenangkan emosi dan syok akibat jawaban dari bapak penjaga tersebut. Dia pun merasa bersalah atas tindakannya yang terpuji tersebut. Rupanya tanpa terduga, di luar pos penjaga terdapat kawanan pelajar juga mahasiswa yang sedang melakukan aksi. Samar-samar dari kejauhan hasim melihat spanduk besar membentang bertuliskan “hentikan komersialisasi pendidikan”
Ditulis di Kamar, November 2009.
0 komentar:
Posting Komentar