raktik nepotisme mengepung kita. Dengan membayar sejumlah uang ataupun semangat ”kekeluargaan atau pertemanan”, mereka bisa masuk atau mendapatkan pekerjaan di instansi atau menduduki jabatan tertentu. Bagaimana mahasiswa Indonesia memandang nepotisme?
Boyle Peranginangin, mahasiswa semester akhir jurusan Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, menyatakan, nepotisme sudah membudaya sehingga banyak pihak menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar.
Praktik nepotisme yang dilakukan pada level negara ataupun perusahaan milik negara sama sekali tidak bisa dibenarkan. Selain merugikan pihak yang lebih berhak, praktik nepotisme dapat mencederai rasa keadilan rakyat dan bertentangan dengan dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila, khususnya sila kelima.
Negara yang dikelola pegawai yang tak profesional dapat menimbulkan kerugian besar bagi negara dan rakyat, buruknya layanan birokrasi, dan tradisi nepotisme yang tumbuh subur.
Sebenarnya, jika pihak-pihak yang berwenang mempunyai niat tulus dalam mengelola negara, dengan optimistis kita masih bisa berharap praktik nepotisme bisa dihilangkan. Sanksi yang tegas dan mempunyai efek jera perlu diberikan kepada pihak yang melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Kita perlu belajar dari China yang berkembang menjadi salah satu kekuatan dunia, diawali dengan pemberantasan KKN tanpa tebang pilih. Negara kita juga bisa kalau punya kemauan politik kuat, tak sekadar janji pada saat kampanye. Di sini diperlukan tindakan nyata.
Fikri Arief Husaen, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, juga prihatin terhadap maraknya praktik nepotisme.
Dalam kesempatan perekrutan dalam sebuah organisasi, lembaga, ataupun pemerintahan, baik pada pengaderan, lowongan pekerjaan, beasiswa, dan jabatan, hampir dalam setiap kesempatan ”emas” itu terjadi praktik nepotisme. Nepotisme ibarat penyakit sosial yang menular dengan mengatasnamakan kekerabatan atau teman akrab.
Hal ini merupakan permasalahan serius yang harus dihilangkan karena merugikan banyak pihak. Mereka yang memiliki kompetensi dan kemampuan lebih atau mumpuni tersisihkan oleh mereka yang relatif tak tepat penempatannya, hanya gara-gara praktik nepotisme.
Adang Nur Muhammad I Al-Sadaaf, mahasiswa jurusan Broadcasting Bina Sarana Informatika, Jakarta, berpandangan bahwa nepotisme dalam sistem birokrasi itu sarat akan motivasi menolong sahabat atau saudara (subyektif).
Nepotisme merupakan jalan pintas dan instan. Pada berbagai lini, nepotisme terus mengalami pertumbuhan dan bermanuver lebih rapi. Di sini mahasiswa bisa menjadi bagian dari usaha mengikis nepotisme, setidaknya di dalam kampus.
Bagaimanapun, kampus adalah bagian dari proses yang mendidik kita untuk menjadi seseorang dalam masyarakat. Setidaknya sejak dari kampus, seharusnya kita sudah memiliki pola pikir bahwa pekerjaan atau posisi yang kita inginkan bukan diperoleh dari kemudahan karena koneksi.
Sementara Ineke Yulianti, mahasiswa Jurusan Perhotelan Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Jakarta, menyayangkan bila ada sebagian mahasiswa yang bisa masuk ke perguruan tinggi favorit karena nepotisme.
”Misalnya karena jabatan ayahnya, pengaruh ibunya, atau alasan lain, tetapi bukan karena kompetensi yang dimilikinya. Hal serupa juga bisa terjadi pada pemberian beasiswa,” katanya.
Allin Esa Widara, mahasiswa Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan Politeknik Negeri, Jakarta, menyatakan, praktik nepotisme bisa dikatakan ”sudah umum” terjadi dalam masyarakat. Ini seakan sudah menjadi rahasia umum.
Meski sebenarnya kita tahu, pada akhirnya hal tersebut merugikan pihak yang benar-benar berkompeten di bidangnya dan menguntungkan pihak lain yang belum tentu ahli dan mampu mengemban tanggung jawab atas tugas atau jabatan yang disandang.
Cipto Wardoyo, mahasiswa Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta menyatakan, praktik nepotisme di Indonesia sudah ada sejak masa Orde Baru. Ketika itu, sebagian jabatan strategis didominasi oleh orang-orang dekat atau kerabat penguasa.
Hingga kini praktik-praktik nepotisme seperti itu masih tumbuh subur, bahkan semakin menggurita dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Bahkan, praktik-praktik nepotisme tersebut tidak hanya dilakukan kalangan pejabat, tetapi juga oleh hampir sebagian ”besar” masyarakat kita.
Praktik nepotisme memang tidak ”tampak jelas” seperti tindakan korupsi ataupun kolusi. Namun, jika terus dibiarkan, ini akan menjadi semacam bom waktu bagi bangsa Indonesia. Boleh dibilang bahwa nepotisme merupakan musuh dalam selimut di tubuh NKRI.
Maka, perang melawan segala praktik nepotisme di Tanah Air adalah sebuah keharusan yang amat mendesak. Ini harus kita lakukan bersama. Perang melawan nepotisme memang tidak semudah yang dibayangkan. Namun, paling tidak, harus ada komitmen bersama dalam wujud tindakan nyata untuk melawan segala bentuk praktik nepotisme.
Nurul Anisa Putri, mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, menyatakan, pada era globalisasi yang membuat kompetisi semakin ketat, banyak orang mengambil jalan pintas. Ingin bekerja di perusahaan terkenal mesti ada relasi dengan orang dalam, ingin dapat beasiswa ke luar negeri atau masuk kerja ke sebuah instansi harus membayar sejumlah biaya. Apa jadinya negeri ini bila orang sudah menghalalkan segala cara.
Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/16/05404053/nepotisme.mengepung.kita
Bagaimana mahasiswa Indonesia memandang nepotisme?
BalasHapusSiapa "mahasiswa Indonesia" itu? Mari kita lihat:
1. Boyle Peranginangin, mahasiswa semester akhir jurusan Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
2. Fikri Arief Husaen, mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
3. Adang Nur Muhammad I Al-Sadaaf, mahasiswa jurusan Broadcasting Bina Sarana Informatika, Jakarta
4. Ineke Yulianti, mahasiswa Jurusan Perhotelan Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Jakarta
5. Allin Esa Widara, mahasiswa Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan Politeknik Negeri, Jakarta
6. Cipto Wardoyo, mahasiswa Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
7. Nurul Anisa Putri, mahasiswa Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
Bogor, Jogja, Jakarta, Jakarta, Jakarta, Jogja, UI.
Baru tau saya Indonesia sudah sekecil itu.