Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Sekilas Hari Mahasiswa

Leave a Comment


Tak dapat dimungkiri jika negara di setiap penjuru dunia tidak pernah lepas dari masalah. Dari mulai masalah politik, sosial hingga pendidikan tercampur di dalamnya. Cenderung dari masalah tersebut adalah bentuk penindasan pemerintah atau birokrat terhadap rakyat.

Sudah menjadi tradisi sedari dulu, individu yang merasa tertindas hak-hak hidupnya akan melakukan perlawanan. Baik secara berkoloni maupun perkapita, yang jelas melakukan perlawanan. Mahasiswa dalam hal ini menjadi gardu terdepan untuk melawan penindasan.

Tanggal 17 November merupakan hari yang kerap diusung oleh mahasiswa di setiap penjuru dunia sebagai hari perlawanan. Tercatat, pada tanggal tersebut kerap diisi dengan demonstrasi yang pada dasarnya untuk melawan penindasan. Hari tersebut biasa dikenal dengan hari mahasiswa internasional.

Muasal

Hari Mahasiswa Internasional (International Students’ Day) berawal pada tahun 1939 di Ceko. Tahun itu merupakan saat-saat yang sangat menyakitkan bagi rakyat Ceko yang tengah menghadapi pendudukan tentara Nazi Jerman. Dengan semangat perayaan HUT kemerdekaan Republik Ceko, pada 28 Oktober, sejumlah mahasiswa Fakultas Kesehatan Universitas Charles Praha menggelar aksi demonstrasi menentang pendudukan Nazi. Aksi ini terus berlanjut, hingga akhirnya, pada tanggal 11 November, Jan Opletal, salah satu pentolan demonstran tewas tertembak di bagian perut.

Pada tanggal 15 November, tak disangka, prosesi pemakaman Jan Opletal dibanjiri ribuan mahasiswa, yang kemudian sontak memanfatkan rombongan mereka untuk menggelar demonstrasi anti-Nazi. Gerakan inilah yang membuat Nazi berang dan mengambil tindakan menutup semua perguruan tinggi di Ceko. Selain itu, tercatat 1200 mahasiswa ditangkap dan dijebloskan ke kamp konsentrasi, serta sembilan orang mahasiswa beserta profesor dieksekusi mati tanpa proses peradilan pada tanggal 17 November. Inilah salah satu alasan tanggal tersebut diabadikan sebagai Hari Mahasiswa Internasional, yang untuk pertama kali diperingati oleh Dewan Mahasiswa Internasional di London pada tahun 1941. Tradisi ini kemudian terus dilanjutkan oleh penggantinya, Serikat Mahasiswa Internasional, yang dengan dukungan Serikat Nasional Mahasiswa di Eropa dan sejumah organisasi lainnya mendesak PBB untuk mencatatkan secara resmi Hari Mahasiswa Internasional dalam kalender mereka1.

Catatan lain menyebutkan, 17 November (1973) juga merupakan puncak perlawanan mahasiswa Yunani terhadap junta militer yang berkuasa saat itu. Sebelumnya (14 November), setelah menggelar demonstrasi, mahasiswa Politeknik Atena membangun barikade pertahanan di kampusnya, dan dengan memanfaatkan perlengkapan seadanya yang mereka temukan di laboratorium, mereka membangun stasiun radio dan memancarkan siaran pro-demokrasi. Buah dari propaganda radio itu adalah bergabungnya ribuan mahasiswa dalam barisan mereka. Saat itulah, tanggal 17 November, 30 tank AMX pemerintah menyerbu kampus, merobohkan gerbang, dan mengobrak-abrik mahasiswa. Sayangnya, masih terjadi simpang-siur terkait dengan jumlah korban jiwa. Namun yang pasti, banyak dari mahasiswa yang mengalami luka dan meninggalkan bekas secara permanen (disarikan dari wikipedia.com).

Dewasa ini

Pendidikan kekinian, dirasakan semakin menjauh bagi masyarakat dari kalangan tidak mampu. Biaya kuliah yang semakin tinggi jadi hambatan utama bagi orang miskin untuk bisa duduk di bangku kuliah dan meraih gelar sarjana2.

Ketidakadilan dan penindasan yang dilakukan oleh rakusnya imperialisme mulai tampak sedikit demi sedikit di Indonesia. Praktik liberalisasi di sektor pendidikan merupakan salah satu contoh penindasan yang dirasakan oleh mahasiswa untuk mengakses pendidikan.

Pasca-penetapan kampus-kampus menjadi badan hukum milik negara (BHMN), motif ekonomi dalam praktik pendidikan mulai terlihat begitu dominan. Salah satu parameter adalah dibukanya jalur-jalur penerimaan non-reguler (ujian mandiri). Biaya masuk kuliah begitu besar, tetapi fasilitas yang diterima tidak berbeda dengan mahasiswa yang masuk melalui jalur reguler. Biaya SPP mahasiswa pun setiap tahun cenderung bertambah naik.

Hal ini berbanding terbalik dengan aksesibilitas mahasiswa untuk menggunakan fasilitas kampus. Memang tak dapat disangkal, beberapa kampus banyak membangun fasilitas yang menunjang. Hanya saja, fasilitas tersebut tidaklah gratis. Bahkan cenderung terbuka disewakan untuk umum3.

Sebagai akibat dari melambungnya harga pendidikan, berdampak pada pupusnya harapan rakyat miskin, seperti buruh, buruh tani, dan kaum miskin kota, untuk mengirim anak-anak mereka ke bangku kuliah. Data menyebutkan, pada tahun akademik 2007/2008, hanya 17,25 % angka partisipasi kasar (APK) jenjang PT dari total masyarakat usia kuliah. Mahalnya biaya ini jugalah yang mengakibatkan meningkatnya angka putus kuliah (DO). Pada tahun akademik 2008/2009, angka DO mencapai 7,81 persen, pada 2004/2005 bertambah menjadi 7,94 persen, pada 2005 melonjak hingga 12,86 persen, pada 2006/2007 turun sedikit menjadi 12,54 persen, dan pada 2007/2008 meningkat drastis menjadi 18,57 persen (Kompas, 3/5).

Dari pelbagai permasalahan yang terjadi tersebut, kiranya masif sudah carut-marut dalam percaturan pendidikan. Jika problematika ini kian larut, bukan tidak mungkin nasib rakyat Indonesia akan terus berada dalam tekanan kebodohan dan pengangguran. Apa yang harus dilakukan mahasiswa? Bangkit dan melawan!

1 Songsong Kebangkitan Gerakan Mahasiswa Dunia Merebut Hak atas Pendidikan, Pekerjaan, dan Kebebasan Berserikat!: Hentikan Perampasan Upah, Tanah, dan Kerja! (Brosur Propaganda FMN dalam rangka menyambut hari sumpah pemuda dan hari mahasiswa internasional).

2 Kenyataan itu terlihat dari kajian disparitas angka partisipasi kasar (APK) berdasarkan latar belakang ekonomi siswa. Dengan melihat data sensus penduduk nasional tahun 2003-2008, disparitas APK perguruan tinggi antara siswa yang berasal dari keluarga kaya dan miskin sangat tinggi. Akses orang termiskin duduk di jenjang perguruan tinggi di tahun 2008 baru mencapai 4,19 persen. Adapun akses orang terkaya sudah mencapai 32,4 persen (kompas, 12/9).

3 Logika Pasar, Kompas Kampus (12/10).

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar