“Tapi..”
“Ikuti perintah kami, diam atau mati”
Mati? Bagiku selama ini bukanlah hidup. Aku telah biasa merasakan sekarat. Mendekap maut. Menjauh dari juru selamat. Apalah arti hidup jika dikelilingi beratus erangan ketakutan. Gerilya kuasa. Pembantai yang dititah tuhan? Penguasa adalah tuhan, bukan? Mereka bukan sekadar manusia, bukan juga malaikat, tetapi tuhan. Tuhan dalam dunia perang. Tuhan dalam lumbung uang. Tuhan!
“Apa yang kau mau?”
“Diam dan ikuti perintah kami!”
Aku hanya mengangguk. Diam. Sungkan berkutik saat moncong senjata direkatkan ke leherku. Mereka bernaluri pemangsa. Menggeledah kamar Sam. Mengacak-acak almari pemberian paman Thomas, rekan dari sesama koloni kami. Gipsi.
Sementara Sam, ia haya menangis dalam dekapanku. Melihat pintu kematian yang mulai ternganga.
“Siapa dia?”
“Dia anakku, Sam..”
Tangisan sam semakin keras. Seketika aku membekamnya lantas memeluk erat-erat. Aku memandanginya. Mengerung dan berbisik: Diam, Sam..Diam!
“Diam jangan Menangis!”
“Dia hanya bocah, sudahlah.”
“Kau! Lancang bicaramu picisan! Bangkai adalah akhirmu!”
“Biadab!” Lirihku.
Satu di antara mereka merebut Sam dari pelukanku. Menyeret, membawanya menuju beranda. Suasana hening seketika. Detik jam tak berputar. Detak jantung..
***
Hari ini adalah seratus meter di bawah tanah. Hari di mana seratus bayangmu berkelebat di antara patung-patung garam. Meliuk liar bagai kuda dicambuk pecut, datang dan pergi begitu saja seperti hujan.Sementara itu, mataku tak berkenan membuntuti bayang demi bayangmu. Mengapa tidak hilang saja? Sebab tentu saja suasana hari yang asin sudah akrab kurasakan.
Wieliczka, Krakov. Detik ini dan esok detik adalah gelap. Ini tepat kilometer keseratus kuarungi ruang demi ruang tambang. Ada pahatan kasar, pahat manusia kasar. Pahat di sepanjang dinding seperti karya Michelangelo. Sayang, istimewanya di sini kasar.
Helaan nafasku sesekali menggema. Suaranya menyelusup di antara dinding-dinding pahat. Aku terengah, kali ini giliran senatorium kecil yang kusinggahi. Kupandangi seorang tabib dan pendeta saling bisik, di sisinya seorang pekerja tampak terbujur tidur. Sepertinya sekarat.
Tabib dan pendeta itu terkesan tertutup. Dari gerak mulutnya, tabib mengungkapkan ketidakberdayaan. Pendeta hanya tertegun. Sementara, napas pekerja makin detik makin cepat tak karuan. Terpaksa kupalingkan.
Aku terus berjalan. Ini kilometer keseratuslimapuluh. Kali ini langkahku tertahan di depan pintu sebuah kapel. Kubuka perlahan pintu kayu itu, sekiranya seratus sentimeter. Kuintip sekelilingnya: hangat dan damai.
Aku masuk dan berjalan menuju sebuah altar. Melewati deret kursi yang berbaris rapi. Napasku tertahan, ada secercah kata yang harus kuucapkan, untuk-mu, untuk sanak kita, dan untuk cucu-cucu kita di atas sana.
Aku berdoa untuk kalian, ini yang membuatku akrab di tanah. Tidak seperti di tempat kita. Tempat ratusan orang berdoa—untuk uang, bukan pencipta. Ini adalah Wieliczka, sayang. Tempat ratusan damai garam. Tidak seperti tempat kita: tempat ratusan bara geram, bukan?
Gelap
Di sini hujan gelap, cahaya kemarau. Aku seperti satu di atara tentara mongol saat menaklukan ranah siberia. Instingku menuntun ke setiap lorong. Sederhana saja, ini jalan lurus yang membentuk labirin. Seperti di tempat kita, langkah yang mudah dianggap sulit. Bedanya di sini gelap tapi pandanganku terang.
Adakah kau di sana berjalan sepertiku? Melewati lorong, bongkahan-bongkahan tanah, sampai berada di antara beratus kosog dan senyap? Apakah langit di atas tampak terang tetapi hitam?
Atau kau sengaja bergeming hanya untuk berkata: Pergilah. Jauhi kami dan kami akan menyayangimu..
Bagaimana dengan sanak cucu kita? Apakah mereka tahu sosok kakek pada sebingkai riwayat kelam? Aku sudah punya dirimu tetapi dirimu tidak. Aku punya seuntai kenangan tetapi sudah rapuh.
Cukup. Terakhir aku melihat kau dan Sam, anak tunggal kita, ketika ia berusia lima tahun lebih dua puluh hari. Ya, kurang lebih seperti itu. Ia tersenyum dengan hangat ketika kubujuk untuk memakan sepotong roti. Mendekatiku lantas memeluk dan mati, sayang. Mati!
Tak sampai satu gigitan. Dobrakan keras dari arah pintu depan menjadi awal petaka kita. Suasana hangat seketika buyar, berubah mencekam. Orang pertama berseragam kelabu masuk menenteng senjata. Diikuti orang-orang lainnya, menyeringai melihat ke seluruh penjuru rumah. Serdadu!
Seseorang membentak:
“Anda Gipsi! Jangan Mengelak!”
***
Sejurus burung-burung pembawa kabar hinggap di atap, terbang, dan pergi berhamburan. Senja pun ingin lekas berpaling. Sebuah suara kematian menakutinya.Kuberanikan untuk keluar. Sam tewas! Sebuah bolong tampak di dada kanannya. Darah merah mengalir deras keluar. Membasahi baju polos bocah lugu tanpa dosa. Aku hanya bisa merangkulnya. Seketika dunia seperti neraka; seperti kobaran api yang terus menyala.
Aku diseret keji oleh mereka. Dibawa menuju truk yang isinya penuh sesak dengan tumpukan tak bernyawa. Sementara itu, sayup-sayup aku masih bisa mendengarkan suara rintihan. Suara yang akrab kudengar di kala malam, di ranjang, di balik selimut hangat, atau sofa kamar. Suara seorang pesakitan yang tengah dikelilingi serdadu lapar.
Itulah terakhir kali aku melihat kalian. Jenazah Sam? Entah dikubur di mana. Dan kau? Entah kini tempatmu surga, kamp Auschwitz, atau tidur hangat bersama bara di krematorium. Aku selalu berharap yang terbaik. Selebihnya ini akan menjadi sebuah memoar akan prosesi perkabungan. Korban kegembiraan.
Ya, gembira ketika perang didengungkan. Para pemimpin dengan bangga mengirim serdadu mereka ke medan peperangan.
Sementara kami, tidak lebih dari sebuah noktah yang kelak binasa. Koloni yang ingin mencari kebebasan. Bersuaka dari satu surga ke surga lainnya; dan kesakitan menjadi hari-hari yang panjang selama ini.
Di sini surga garam. Tempat seribu imaji tentang dirimu, sam, dan kenangan lainnya. Tempat yang gelap tetapi terang, sayang. Bukan ribuan kengerian yang biasa kita rasakan.
***
Tambang garam Wieliczka, terletak di Krakov, Polandia, memiliki jalur-jalur bawah tanah hingga sepanjang 200 km, yang menghubungkan lebih dari 2000 ruangan. Istimewanya, seluruhnya terbuat dari garam. Di dalamnya terdapat kepel dan senatoriumAuschwitz, kamp konsentrasi nazi yang terletak di Polandia; banyak nyawa mati di sini.
0 komentar:
Posting Komentar