Dimuat di Harian Inilah Koran, 17 Maret 2012
Mahasiswa berpeluang tinggi melakukan perubahan dalam kondisi sosial
masyarakat. Keilmuan yang didapat selama mengenyam pendidikan tinggi,
sejatinya merupakan nilai lebih dibanding golongan pemuda lainnya.
Akan
tetapi, tidak sedikit publik yang menganggap miring keberadaan
mahasiswa. Predikat sebagai pembuat onar, penyebab kemacetan, huru-hara
akibat demonstrasi kerap melekat seiring cibiran sebagai pengkritik
nonsolutif. Untuk menjawab pandangan negatif tersebut, kiranya perlu ada
pembuktian bagi mahasiswa sebagai insan intelektual.
Salah
satu jalan pembuktian tersebut adalah menyampaikan keilmuan melalui
tulisan. Dengan menulis, mahasiswa dapat menuangkan gagasan solutif
terkait berbagai masalah yang terjadi dalam konteks sosial di
sekitarnya. Baik dalam bentuk tulisan fiksi maupun nonfiksi. Sejarah pun
mencatat, Soe Hoek Gie, M. Hatta, dan Taufik Ismail adalah beberapa
tokoh besar di Indonesia yang memiliki keterampilan menulis kala menjadi
mahasiswa.
Orang yang menulis, cenderung mudah mencari
pelampiasan ketika menyampaikan keresahan, ambisi, cita-cita, dan
harapan hidupnya. Melalui tulisan pula seseorang bisa mengetahui pikiran
dan perasaan orang lain. Hal ini dirasa pas bagi insan intelektual
mahasiswa. Bahkan Richard A. Green (1992) dalam bukunya Leader of
Authority, berujar bahwa salah satu indikator intelektualitas seorang
mahasiswa adalah memiliki keterampilan menulis di media massa.
Melek media
Era
globalisasi ini, media massa menjadi alat penting dalam menyampaikan
informasi. Interaksi antar sesama individu seolah tidak mengenal sekat
waktu. Media hadir di tengah-tengah umat manusia untuk memenuhi berbagai
kebutuhan akan informasi.
Sudah menjadi kewajiban jika
mahasiswa harus melek media massa. Sebab, dunia kepenulisan sangat erat
kaitannya dengan media massa. Melalui media massa, tulisan
disebarluaskan kepada rakyat. Hampir seluruh media massa baik cetak
maupun elektronik menerima tulisan-tulisan dari mahasiswa. Baik berupa
opini, reportase, maupun karya sastra.
Kondisi demikian,
menjadi peluang bagi mahasiswa untuk menuangkan pemikirannya. Semakin
banyak tulisan mahasiswa dipublikasikan di media cetak, maka semakin
menambah khazanah ilmu pengetahuan rakyat Indonesia.
Dapat
dibayangkan jika mahasiswa Indonesia yang berjumlah 4,3 juta orang
memiliki keterampilan menulis. Mungkin mahasiswa arsitektur dapat
berbagi gagasan tertulis tentang inovasi tata letak rumah kepada kuli
bangunan di desa. Mahasiswa hukum dapat mengkritisi pasal-pasal yang
merugikan kaum buruh. Sementara, mahasiswa sastra dapat memublikasikan
sejumlah puisi untuk menggambarkan kondisi rakyat Indonesia.
Peran Perguruan Tinggi
Patut
menjadi catatan jika menulis merupakan keterampilan yang lahir dari
usaha dan motivasi tersendiri dari individu. Akan sangat mustahil jika
seorang mahasiswa memiliki keterampilan menulis sejak lahir di dunia.
Artinya tidak ada kata terlambat untuk menulis.
Bagaimanapun,
Perguruan Tinggi (PT) memiliki peran sentral dalam memberdayakan
mahasiswanya untuk menulis. Proses perkuliahan perlu diarahkan agar
mahasiswa tidak sekadar konsumen ilmu semata, melainkan pula dapat
memproduksi hasil-hasil dari ilmu tersebut.
Pelatihan
berkala dan reward bagi “penulis mahasiswa” merupakan solusi konkret
yang perlu dicoba. Jangan sampai, pemerintah terlalu bernafsu memetik
buah tanpa giat memupuki pohonnya terlebih dahulu. Termasuk dalam hal
ini kebijakan publikasi makalah sebagai syarat kelulusan bagi mahasiswa.
Dan jika hal itu terjadi, jangan salahkan publik jika beranggapan bahwa
pendidikan tinggi Indonesia gagal mencetak mahasiswa yang pandai
menulis.
Menulis bukan sekadar merangkai kata-kata.
Menulis adalah pembebasan. Membebaskan nalar rakyat dari jurang
pembodohan dan kecongkakan. Dan itu menjadi hal yang niscaya bagi
intelektual muda sekaliber mahasiswa. Percayalah.
*Restu Nur Wahyudin. Ketua UKM Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar