Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Setelah (Libur) Ramadan

Leave a Comment
Dimuat di Pikiran Rakyat, 6 September 2012


Ramadan 1433 H baru saja usai. Sebulan lamanya kaum muslim menjalankan ibadah puasa. Bulan ini kian indah ketika ditutup dengan bersilaturahmi antar kerabat di hari Lebaran. Jarak yang jauh, bukan menjadi hambatan untuk dapat berkumpul dan bermaaf-maafan. Tak peduli berapa lama waktu perjalanan, pengorbanan pun kian terasa. Meskipun begitu, kenikmatan silaturami menjadi esensi utama dari segalanya.

Bulan ramadan pun kaya akan berkah dan rezeki. Masjid penuh sesak oleh kaum muslim yang beribadah. Sedekah kian marak kepada kaum Dhuafa. Para pedagang meraup untung dari geliat pasar yang dibanjiri konsumen. Para pengusaha jasa transportasi mendapat berkah dari banyaknya pemudik.

Meskipun begitu, selepas Bulan Ramadan berakhir, kerap menyisakan problem yang berhubungan erat dengan dunia kerja dan kependudukan Indonesia. Bila dianalisis secara kritis, terdapat dua problem yang muncul setelah bulan Ramadan berakhir.

Kerja (Kontra)produktif
Problem pertama adalah munculnya watak kontraproduktif kerja masyarakat. Hal ini ditandai dengan maraknya kasus pekerja yang cuti dan bolos pada hari pertama bekerja.

Sekadar gambaran, banyak Pegawai Negeri Sipil (PNS) DKI Jakarta yang absen bekerja di hari pertama pasca libur lebaran. Berdasarkan Data dari Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Jakarta, sebanyak 37.244 dari 77.428 PNS masuk kerja hari pertama (23/8) usai libur bersama Idul Fitri 1433 H. Pegawai yang tidak hadir terdiri dari 280 orang sakit, 165 orang izin, 938 orang cuti, 10 orang alpa, dan 38.791 orang merupakan guru, serta pegawai shift usai piket, yakni petugas pemadam kebakaran dan Satpol PP.

Kasus ini biasanya terjadi karena masih banyaknya pegawai yang mudik di kampung halaman. Silaturahmi kerap dijadikan dalih untuk memperpanjang waktu libur bekerja. Hal ini sangat kontradiksi bila dihubungkan dengan profesionalitas kerja. Apalagi ketika pekerjaan tersebut sangat berdampak pada kesejahteraan banyak orang, tentunya akan sangat abai bila tidak dilaksanakan.

Sebagai contoh, Seorang guru bolos di hari pertama bekerja pasca libur lebaran. Sedangkan terdapat puluhan siswa yang bersemangat menanti pelajaran dari guru tersebut. Semangat para siswa seketika luntur ketika tahu bila sang guru bolos bekerja. Maka ketika di kemudian hari terdapat siswa yang bolos sekolah, secara tidak langsung hal tersebut merupakan watak bawaan dari gurunya.

Watak kontraproduktif pasca libur lebaran sejatinya harus dibuang jauh-jauh dari nalar masyarakat Indonesia. Sebab, sekecil apapun watak kontraporduktif diimplementasikan, sedikit demi sedikit watak tersebut kian tertanam dalam pola pikir masyarakat.

Apalagi selepas kita menyelesaikan ibadah shaum ramadan dengan segala makna dan manfaatnya. Jika dihubungkan dengan dunia kerja, makna shaum adalah menjaga kesabaran dan mengutamakan proses berusaha untuk merealisasikan suatu tujuan.

Ledakan Urbanisasi
Problem kedua adalah ledakan urbanisasi para pencari kerja. Pasca bulan Ramadan, Kota-kota besar di Indonesia harus bersiap menghadapi ledakan urbanisasi para pencari kerja. Sebab, tidak sedikit pemudik yang bekerja di kota-kota besar, membawa sanak-saudaranya dari desa untuk dapat bekerja di kota.

Minimnya lapangan kerja di desa ditambah dengan pola pikir masyarakat yang menganggap sangat mudah mencari kerja di kota, semakin memuluskan jalan untuk berurbanisasi. Bahkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperkirakan arus urbanisasi pasca Lebaran mencapai 1 juta orang.

Padahal, dalam konteks kekinian, sejumlah kota besar di Indonesia masih belum lepas dari persoalan pengangguran dan kemiskinan. Sekadar gambaran, berdasarkan hasil survei dan pencatatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran yang ada di Jawa Barat pada Bulan Agustus tahun lalu tercatat 1.901.843 orang. 10,34 persen dari jumlah tersebut berada di Kota Bandung. Sudah jelas angka pengangguran dan kemiskinan di perkotaan akan semakin mengingkat dengan adanya para pendatang.

Berdasar dari kondisi demikian, operasi yustisi sekalipun bukan menjadi solusi mengakar dari persoalan tersebut. Apalagi ledakan urbanisasi pencari kerja sudah terjadi beberapa tahun terakhir pasca Bulan Ramadan. Langkah penting yang harus dilakukan Pemerintah sebagai pemangku kebijakan adalah fokus pada pengadaan lapangan pekerjaan di pedesaan.

Dua problem yang kerap muncul selepas bulan Ramadan tersebut, kiranya harus segera diselesaikan. Apalagi sangat dekat dengan momentum bulan kemenangan yang sejatinya penuh dengan semangat perubahan ke arah lebih baik. Semoga!

*Restu Nur Wahyudin, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Ketua Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Universitas Pendidikan Indonesia.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar