Dimuat di Harian Inilah Koran, 2 September 2012
Sudahkan Indonesia
bangkit dari keterpurukan? Jelas, bumi pertiwi ini belum lepas dari
berbagai persoalan pelik yang membuat terpuruk. Simak saja nasib 29,89
juta rakyat yang berada dalam jurang kemiskinan. Atau 7,7 juta rakyat
yang masih berpredikat pengangguran. Kesejahteraan lah yang menjadi
harapan besar dari rakyat Indonesia.
Sosok potensial yang dapat membangun Indonesia menjadi negara sejahtera kiranya terletak dalam benak pemuda. Secara umum Pemuda bisa diartikan sebagai mereka yang berusia antara 15 hingga 35 tahun. Golongan pemuda adalah tenaga potensial dalam proses produksi karena berusia lebih muda dan energik. Hingga kemudian sering disebut usia pemuda adalah usia produktif.
Dengan jumlah sekitar 10 persen dari total penduduk Indonesia, idealisme pemuda bagai obor yang siap dibakar saat rakyat tengah berada dalam kegelapan. Semangat dan pemikiran visioner bak dinamit yang dapat menghancurkan segala tembok tebal. Sejarah menjadi bukti pemuda berandil besar membangun bumi pertiwi. Hal ini ditandai dengan lahirnya organisasi pemuda Budi Utomo pada 20 Mei 1908, lalu munculnya sumpah pemuda Indonesia yang dideklarasikan tanggal 28 Oktober 1928.
Eksistensi pemuda di berbagai daerah terus berlanjut dalam dinamika Indonesia. Kemerdekaan Indonesia, runtuhnya orde lama, dan reformasi 1998 menjadi historis andil pemuda dalam tatanan masyarakat. Maka tidak berlebihan bila Soekarno pernah berujar, “Seribu orang tua hanya bisa bermimpi, tapi seorang pemuda dapat mengubah dunia”.
Dimulai dari hilir
Sejarah keterlibatan pemuda bukan sekadar romantisme semata. Harapan besar kesejahteraan rakyat Indonesia akan utopis bila golongan pemuda sendiri tengah terjebak dalam labirin persoalan. Pemuda kekinian seakan terbawa budaya hedonistik. Semangat berjuang seakan terlucuti seiring perkembangan zaman yang sangat memanjakan. Kepedulian, pelan tapi pasti terlucuti oleh kesenangan nan semu.
Meskipun begitu, masih ada harapan besar untuk mengubahnya. Penulis berpendapat bila proses kebangkitan pemuda akan terealisasi bisa dimulai dari hilir. Artinya, perubahan sangat potensial dimulai dari pemuda yang berada di lingkungan desa. Sebab, pemuda-desa sangat bersinggungan langsung dengan sejumlah persoalan hidup semisal kemiskinan dan pengangguran. Otomatis, problem tersebut menjadi bekal kritis untuk melakukan perubahan.
Benang merah yang dapat diambil dari problem pemuda adalah perlu adanya upaya peningkatan pemikiran dan kepedulian dalam diri pemuda. Maka, kendaraan yang dapat mengantarkan upaya tersebut menjadi kenyataan adalah pendidikan.
Setidaknya, terdapat tiga hal yang dapat membangkitkan pemuda melalui pendidikan. Pertama, adanya jaminan bagi pemuda untuk mendapat pendidikan formal hingga jenjang tertinggi. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang dienyam, semakin meningkatkan pemikiran seseorang.
Hanya saja, kuantitas pemuda mengenyam pendidikan hingga ke jenjang tertinggi masih terbilang sedikit. Sebagai gambaran, bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-24 tahun, maka Angka Partisipasi Kasar pemuda mengenyam pendidikan tinggi baru mencapai 18,4 persen. Adapun bila dihitung terhadap populasi usia 19-30 tahun, angka partisipasi kasarnya baru 23 persen.
Kedua, jauhkan pragmatisme pendidikan bagi pemuda. Tidak sedikit peserta didik dalam lembaga pendidikan terlalu ditekan untuk meraih hasil maksimal. Akibatnya proses pencarian ilmu pun kerap terbaikan dan bahkan menjurus pada indikasi kecurangan. Pendidikan formal di Indonesia, sejatinya bukan sekadar mampu menjawab bagaimana meningkatkan perekonomian negara semata, melainkan seberapa mampu meningkatkan lulusan-lulusannya untuk peduli pada kondisi masyarakat.
Ketiga, berikan pendidikan tentang pengorganisasian. Organisasi dapat menjaga nalar kritis dan solidaritas pemuda. Setidaknya, dalam dinamika organisasi terjadi proses silang pendapat dan berbagi peran kepengurusan. Dalam konteks desa, banyak sekali wadah organisasi bagi pemuda.
Kelompok Tani, Karang Taruna, sampai Badan Permusyawarahan Desa (BPD) sekalipun dapat menjadi wadah organisasi potensial yang dapat diberdayakan oleh pemuda. Maka dari itu, Kapasitas pengorganisasian dalam diri pemuda harus terus diasah agar dapat mengimplementasikan pemikiran-pemikiran menjadi program yang konkret bagi masyarakat.
Pada akhirnya potensi maha dahsyat dalam benak pemuda akan menjadi utopia belaka tanpa adanya pemberdayaan. Bila hal demikian terjadi, jangan harap Indonesia akan terbebas dari segala keterpurukan. Sudah waktunya pemuda Indonesia bangkit dan muncul di kancah dunia. Percayalah!
*Restu Nur Wahyudin, Ketua UKM Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Universitas Pendidikan Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar