Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Pendidikan Tak Bersekat

2 comments
 Dimuat dalam Harian Sindo Jabar, 20 Maret 2013.

 

Berita berjudul “Rumah Mimpi untuk Anak Bangsa” yang dimuat dalam Koran Sindo (11/3) cukup merangsang penulis untuk berbagi pemikiran. Sebagaimana yang diberitakan bahwa: “..rumah mimpi yang dimaksud ini bukan sebuah bangunan berpintu atau berjendela yang bisa melindungi penghuninya dari panas dan hujan. Di tempat itu puluhan anak diajarkan mengenai ilmu pengetahuan”. Guru di Rumah Mimpi adalah sekelompok mahasiswa yang berasal dari kampus di Bandung. Sementara, uridnya adalah anak jalanan di sekitaran Jalan Asia Afrika, Bandung.


Persoalan pendidikan memang telah menyebar ibarat benalu pada tiap tempat. Amanat pendidikan sebagaimana yang tersirat dalam UUD 1945 masih jauh dari kenyataan. Jangan dulu kita menatap pendidikan Indonesia di daerah perbatasan. Pendidikan perkotaan pun cenderung menyisakkan ironi putus sekolah. Memang secara infrastruktur perkotaan telah mencapai puncaknya.

Bermunculanlah sekolah-sekolah internasional. Bangunan universitas megah menjulang, silih berlomba mencapai langit. Seiring dengan itu, biaya pendidikan meroket tinggi. Maka ketika kebutuhan hidup tak sebanding dengan penghasilan, hal yang cenderung dikorbankan oleh orang tua yakni pendidikan untuk anaknya. Maka wajar pula bermunculan anak jalanan putus sekolah di setiap kota besar di Indonesia.

Apa yang dilakukan oleh mahasiswa Bandung dan Rumah Mimpi-nya patut kita apresiasi. Banyak pula komunitas peduli pendidikan anak jalanan yang digagas mahasiswa. Para mahasiswa tersebut seakan berada di jalur yang benar. Alih-alih menanti lama menagih janji pemerintah, mereka memberi pendidikan pada anak jalanan. Mereka berusaha keluar dari realitas pendidikan sehari-hari: Berada di ruang kelas universitas, mendapat pengajaran dari dosen.

Itulah yang kita harapkan, para intelektual muda yang bernasib baik dapat mengenyam pendidikan hingga tingkat tertinggi, bisa terjun menjadi pelayan rakyat. Bukan justru mencuri pekerjaan kaum miskin kota dengan ngamen di pinggir jalan untuk menambah dana kegiatan organisasi nan hedon. Bukan pula menghabiskan waktu memilah baju di pusat perbelanjaan. Bukan selalu berada di kelas untuk menanti perkuliahan dari dosen. Golongan terdidik harus berani keluar dari rutinitasnya. Harus berada di kelas tak bersekat, masyarakat.

Tak bersekat
Pendidikan tinggi kekinian seakan diterpa gejala. Terjebak dalam rutinitas yang telah keluar dari entitas pendidikan. Ketika pemerintah mengagungkan otonomisasi sebagai keniscayaan, civitas akademik seakan tersandera oleh dinamika klise di ruang kelas. Otonomi yang digaungkan belum terbukti dapat mengarahkan mahasiswa berbicara banyak pada kelas tak bersekat, masyarakat. 

Setiap tahun silih berganti mahasiswa menuju universitas. Hampir setiap hari pula rutinitasnya selalu berada di ruang kelas. Mendengar ceramah dari dosen yang belum tentu getol masuk. Selesai kuliah, biasanya mereka pulang ke kamar kost. Mengerjakan tugas berupa makalah. Nilai kuliah seakan menjadi momok mengerikan bagi mahasiswa. Rutinitas itu terus berlanjut hingga empat tahun mereka lulus. Kalau pun terjun ke masyarakat, mungkin hanya untuk menyelesaikan tugas akhir atau praktik kerja lapangan.

Bangunan-bangunan mewah. Dinding-dinding megah. Fasilitas yang lengkap. Kenyamanan universitas tersebut cenderung telah membutakan peserta didiknya. Maka ketika hal demikian terjadi, sampailah pada dinamika pendidikan yang bersekat. Penghuni universitas seakan alpa dalam setiap dinamika kemasyarakatan. Padahal bila dikembalikan pada fitrahnya, orang yang memiliki pengetahuan yang lebih tinggi harus dapat menyelesaikan persoalan orang-orang di bawahnya.

Pendidikan tinggi kekinian harus berani keluar dari sekat kelasnya. Berani keluar dari rutinitas semacam mesin pabrik yang seakan berorientasi pada hasil. Mengutip pendapat dari Erich Fromm dalam “The Heart of Man” (1966: 52-53), bahwa seorang individu harus: “..mencipta dan membangun, bertanya-tanya dan mencoba-coba. Kebebasan semacam itu menuntut agar individu aktif serta bertanggung jawab, tidak menjadi budak atau sekerup yang kenyang sebagai bagian kecil dari mesin”.

Upaya Memerdekakan
Memang, ada masalah fundamental di atas pendidikan tinggi kekinian. Globalisasi sebagai buah dari liberalisasi seakan menjadi candu dari segala sektor. Pendidikan seakan dituntut untuk berkompetisi dengan negara lain. Sementara ekspansi asing di Indonesia kian mengakar pada berbagai sektor. 
Namun, sejatinya kompetisi tersebut akan selalu menghasilkan kontradiksi. Orang cerdas akan selalu berada di atas, sementara orang yang tak sanggup menenyam jenjang pendidikan akan berada mandeg di bawah. Kontradiksi tersebut hanya akan menghasilkan kehancuran horizontal antar sesama klas. Hancur bukan karena bangsa lain yang mengekspansi Indonesia. Melainkan hancur karena sekelompok bangsanya sendiri yang berusaha mengekspansi kekayaan sesama bangsanya.

Watak demikian harus dieliminasi habis dalam diri mahasiswa, sebagai bagian utama dari pendidikan tinggi. Maka sudah jelas bahwa pendidikan tinggi harus mengarahkan pada upaya memerdekakan sesama bangsanya. Pendidikan yang tak tersekat oleh dinding kelas; yang berani mengarahkan peserta didiknya untuk dapat menyelesaikan berbagai konflik sosial.

Taruhlah bila studi perkuliahan mengarahkan mahasiswa untuk menyelesaikan konflik sosial antara petani dengan pengusaha yang memonopoli lahan, buruh dan persoalan upah yang rendah, atau anak jalanan dengan persoalan putus sekolah. Agar pendidikan tersebut dapat menghasilkan solidaritas sosial.

Rumah Mimpi dan berbagai komunitas pendidikan anak jalanan yang digagas mahasiswa adalah bukti bahwa semangat untuk memerdekakan bangsa tak pernah padam. Marilah kita berharap kepada para penghuni pendidikan tinggi agar keluar dari sekat kelasnya. Percayalah!

*Restu Nur Wahyudin, Pegiat Pendidikan Kritis.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

2 komentar:

  1. omjay salut dengan tulisan ini, semoga terus dibaca oleh pemangku kepentingan

    salam
    Omjay

    BalasHapus
  2. Terimakasih bung! Salam pendidikan..

    BalasHapus