Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Mencetak Pembela HAM

Leave a Comment
Dimuat dalam harian Inilah Koran, 8 Juli 2013



Sebagai negara demokrasi, Indonesia tentunya harus menjunjung tinggi penegakkan HAM. Upaya penegakkan HAM yang dilakukan oleh pemerintah sebagai pemangku kebijakan terhadap masyarakat akan berpotensi pada tingkat stabilitas perdamaian dan kesejahteraan negara.

HAM merupakan seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 ayat (1) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM).

Aspek HAM sendiri sangat luas, meliputi hak sipil dan politik; hak ekonomi, sosial, dan budaya; hak atas pembangunan; serta hak lain yang bersifat khusus untuk kalangan tertentu seperti perempuan, anak, dan kelompok minoritas. Berkaca pada penegakkan HAM di Indonesia, terdapat sejumlah kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan.

Kasus-kasus tersebut, antara lain peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, Pembunuhan Misterius (PETRUS), pelanggaran HAM berat di Aceh, Abepura, dan Timor-Timur, kasus Talangsari 7 Februari 1989; kasus Penghilangan Orang secara Paksa; Kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Kasus Kerusuhan Mei 1998, dan kasus kematian penegak HAM Munir. Ketiadaan penegakkan HAM dalam sederet kasus tersebut dikhawatirkan akan berujung pada impunity.

Pada konteks kekinian, kebebasan hak sipil politik individu terancam dengan lahirnya produk hukum, semisal UU Intelijen, UU Penanganan Konflik Sosial, dan RUU Keamanan Nasional. Produk hukum tersebut cenderung dapat berimplikasi dijadikan dalih bagi institusi keamanan negara untuk mengutamakan pendekatan keamanan tanpa ada jaminan hukum dan HAM yang jelas kepada individu.

Setidaknya terdapat dua upaya krusial yang dapat dilakukan untuk menegakkan HAM di Indonesia. Pertama, adanya penyelesaian dan tindak lanjut dari berbagai pelanggaran HAM masa lalu agar tidak terjadi impunity. Kedua, adanya upaya pencerdasan tentang HAM dari berbagai aspek yang berhubungan dengan masyarakat.

Upaya kedua, diharapkan dapat melahirkan para pembela HAM (Human Right Defend) di kalangan masyarakat. Terlebih setiap orang mempunyai hak, baik personal maupun berkelompok, untuk memajukan dan memperjuangkan perlindungan HAM.

Mencetak dari kampus
Dalam UU No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kian menyiratkan bahwa pendidikan sebagai wadah untuk mengimplementasikan HAM di Indonesia. Hal tersebut tertera pada Bab III, Prinsip Penyelenggaraan pendidikan Pasal 4 Ayat (1) mengamanatkan bahwa “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM”.

Sejatinya koherensi HAM dan pendidikan tinggi dapat diimplementasikan dalam bentuk kebijakan yang demokratis dan tidak diskriminatif terhadap civitas akademik termasuk mahasiswa. Kebijakan yang dikeluarkan rektorat, harus berdasar pada kebutuhan yang benar-benar dirasakan mahasiswa. Menelisik lebih jauh sejumlah persoalan HAM dan implementasinya dalam dunia pendidikan tinggi, jelas sangat diperlukan. Terlebih pendidikan tinggi sendiri menjadi kawah candradimuka potensial pencetak para penegak HAM yang berguna bagi masyarakat.

Sekadar gambaran, mahasiswa dapat pula berpotensi sebagai pembela HAM. Taruhlah bila terdapat mahasiswa yang terjun ke desa. Mahasiswa tersebut mengadvokasi petani untuk memperjuangkan haknya atas lahan garapan yang sebelumnya dipolitisasi konglomerat. Artinya ia termasuk sebagai Penegak HAM.

Meskipun begitu, ruang gerak mahasiswa sebagai salah satu bagian penegak HAM tidak terlepas dari berbagai ancaman. Berdasarkan data Imparsial, sepanjang tahun 2005-2009 setidaknya terdapat 129 mahasiswa yang menjadi korban pelanggaran HAM ketika berusaha menegakkan HAM itu sendiri.
Langkah kongkret yang harus dilakukan pemerintah agar memuluskan jalan mahasiswa sebagai pembela HAM yakni harus mengarahkan perkuliahan kepada realitas sosial. Kenyataan yang terjadi, pengetahuan mahasiswa kerap tersandera pada tataran teori semata. Teori yang tanpa diikuti oleh praktik untuk mengaplikasikanya kepada masyarakat.

Praktik perkuliahan mahasiswa dalam kehidupan masyarakat akan semakin mendekatkan mahasiswa pada problem yang dialami masyarakat. Akan terasa sia-sia bila pemikiran mahasiswa justru hanya berakhir pada sebuah deretan angka nilai perkuliahan semata. Nilai yang seakan menjadi kuasa untuk mengurungkan niat terjun langsung dalam kehidupan masyarakat. Tanpa adanya pencerdasan terkait HAM di kampus, jangan harap akan terjadi regenerasi penegak HAM di Indonesia.

*Restu Nur Wahyudin, penulis lepas.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar