Sumber gambar: readingrockets.org
Era Globalisasi, menuntut individu untuk peka terhadap berbagai
informasi yang ada dalam kehidupan masyarakat. Semakin seseorang
individu tertinggal terhadap sumber informasi, semakin pula ia akan
hilang dan terlupakan. Paradigma tersebut sangat beririsan dengan konsep
pendidikan kekinian. Siswa tentulah harus peka terhadap kondisi
objektif dalam kehidupan masyarakat.
Dalam konteks
pembelajaran, sejatinya mata pelajaran bahasa Indonesia memiliki peluang
untuk menciptakan kepekaan siswa tersebut. Empat kompetensi yang
terdapat dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, yakni membaca, menyimak,
menulis, dan berbicara tentu bukan hanya sekadar selesai dalam tataran
teori. Melainkan pula dapat menjadi “jembatan” bagi para siswa agar
paham dan memiliki penyikapan terhadap berbagai fenomena-fenomena yang
ada di sekitarnya.
Menyimak dan membaca misalnya,
merupakan kompetensi yang berguna untuk memperoleh berbagai informasi
dalam bentuk lisan maupun tulisan (input). Adapun menulis dan berbicara
merupakan kompetensi berbahasa yang dapat mengaktualisasikan sikap
berupa argumentasi terhadap berbagai informasi yang didapat (output).
Hal
tersebut, tentulah menjadi tantangan tersendiri bagi guru bahasa
Indonesia. Inovasi dan kreatifitas menjadi kunci keberhasilan dalam
praktik mengajar. Sebab di samping diarahkan agar paham berbagai materi
pembelajaran bahasa Indonesia secara teoritis, para siswa pun dituntut
untuk memanfaatkan teori-teori tersebut dalam tataran praktis di
kehidupan masyarakat.
Media pembelajaran menarik
Pada
praktiknya, terdapat rintangan bagi guru agar dapat mencetak kepekaan
seorang siswa. Selain diwajibkan paham terhadap materi pembelajaran,
guru pun tentu dituntut agar paham berbagai isu yang tengah hangat di
masyarakat. Logika sederhananya bagaimana seorang siswa akan peka
terhadap permasalahan masyarakat bila gurunya sendiri hanya paham
sebatas teori pembelajaran.
Sejatinya hal tersebut bisa
teratasi yakni dengan mengomparasikan fenomena-fenomena sosial dengan
media pembelajaran. Adapun salah satu media pembelajaran yang bisa
dimanfaatkan yakni melalui karikatur di media massa. Berdasarkan
pengalaman penulis, memanfaatkan karikatur sebagai media pembelajaran
terbilang sangat ampuh terutama jika dikaitkan dengan kompetensi menulis
dan berbicara.
Terkadang saat proses belajar mengajar,
siswa mengalami kesulitan dalam tataran ide apa yang harus ditulis dan
dibicarakan. Maka karikatur inilah yang menjadi perangsang siswa untuk
mengaktualisasikan keterampilan berbahasanya. Setidaknya karikatur
tersebut memiliki tiga ciri. Pertama, sebagai penyampai pesan melalui
media gambar. Kedua, berisikan kritik terhadap permasalahan yang dikemas
secara menarik. Ketiga provokatif, mengundang orang untuk bersikap.
Karikatur Inilah Koran
Berdasar
pada pengalaman, penulis memanfaatkan karikatur sebagai media
pembelajaran dalam proses kreatif materi menulis karya ilmiah. Langkah
pertama penulis memahamkan siswa agar paham secara teoritis materi yang
diajarkan, semisal manfaat karya ilmiah, bagian-bagian karya ilmiah, dan
mekanisme penulisan setiap bagian tersebut.
Langkah
selanjutnya yakni penugasan, penulis menampilkan terlebih dahulu
sejumlah karikatur yang nantinya dikembangkan dalam bentuk karya tulis
ilmiah. Saat itu penulis memilih karikatur yang terdapat pada harian
Inilah Koran. Sebab secara grafis, karikatur harian Inilah koran dapat
dikatakan menarik dan kritis.
Ada tiga karikatur yang
penulis tampilkan kepada siswa. Pertama, karikatur seorang tokoh
bertuliskan SBY yang tengah menunjukkan akun situs jejaring sosial
miliknya (Inilah Koran, 11/4). Kedua, karikatur seorang buruh yang
tengah mengangkat beratnya barbel dengan beban UMK dan beban hidup
(Inilah Koran, 1/5). Ketiga, karikatur Ahmad Fatonah dengan sosok
pedangdut (Inilah Koran, 15/5).
Penulis kemudian
mengajukan sejumlah pertanyaan kepada siswa terkait karikatur tersebut.
“Apakah situs jejaring sosial bermanfaat positif?”, “Layakkah seorang
presiden memiliki akun jejaring sosial?”, “Apakah nasib buruh di
Indonesia sudah sejahtera?”, “Haruskah buruh demonstrasi?”, “Bagaimana
cara menuntaskah korupsi?”.
Pertanyaan-pertanyaan yang penulis
ajukan tersebut mendapat tanggapan bermacam-macam dari siswa. Ada yang
positif. Ada pula yang negatif. Pembelajaran pun tampak menyenangkan dan
dinamis. Ketika argumentasi siswa telah terbentuk, penulis kemudian
menugasi para siswa untuk mengembangkan argumentasi tersebut dalam
bentuk karya tulis. Siswa tampak antusias untuk merasionalisasikan
gagasannya melalui karya tulis ilmiah.
Sejatinya
pendidikan dan kondisi sosial masyarakat merupakan bagian yang sinergis.
Guru sangat berperan penting untuk menghubungkan dua bagian tersebut
dalam pembelajaran. Dan tentu, siswa yang akan mendapat manfaat dengan
memiliki kepekaan terhadap kondisi masyarakat. Percayalah!
Restu Nur Wahyudin, Guru Bahasa Indonesia di Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar