Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Bayang Emak Tampak Siluet

Leave a Comment



BARANGKALI
langit di kala senja kurang berbahagia. Kepulan asap metro mini kian mengikis pesona modernisasi. Yang tercium hanyalah wangi oli atau keringat di tubuh kian masam. Atau hanya menatap beberapa pohon rindang berakarkan beton menguat. di bawah langit senja kota, aku berpijak pada ranah naif yang tak pantas: ada saja banyangnya tampak siluet.

Sebelum dan sesudah raja siang melemah. Nyaris tak seekor burung pun mampu terbang melewati ku. Entah mungkin karena bau keringat tubuh yang masam, atau nadinya tak kuat digerayami oleh kepulan asap memekat? Entahlah, itu hanya hipotesa ku.

Aku ingat, ketika matahari memerah—emak menyuapiku untuk yang terakhir kalinya. Terasa nikmat meski itu hanya nasi aking pulungan. Berbeda dengan di senja ini, mencoba peruntungan nasib di metropolitan. Meninggalkan Mak di ranah kampung halaman. Dalam ingatan akan beliau: hanyalah lambaian tangan, hilang perlahan di stasiun kereta.

Hingga kali pertama aku terdampar di sini, Bingung, kesal, penat, lelah pun bosan dengan kehidupan. Dalam angan mengeruak: apa gunanya aku, mau jadi apa aku, bagaimana nafkahku. Ingin sekali kuakhiri hidup bersama daging-daging nan dekil ini. Pikiran kian akut, hingga meluber keluar tubuh. Melumangi segenap raga tak berdaya.

Kepulan asap dari batang rokok yang kujepit diantara jariku, semakin membuat sesak oase senja. Asapnya menjelma bagai kemilau Kristal. Membentuk cahaya jadi pecahan warna. putih nan pekat. Tanpa terasa waktu kian berjalan. Rokok pun sampai pada hisapan terakhir. Hingga malam pun datang, aku hanya duduk termenung menatap sekitar. Sungguh berbeda dengan kampung halaman.

Rupanya tempat ini adalah sebuah taman. Ditandai dengan munculnya air mancur di tengah kolam. Sisi-sisinya dikepung oleh bunga-bunga menguning. Jarang sekali kunikmati pemandangan seperti ini. Sekalipun acapkali televisi menayangkannya beberapa kali. Andai aku diciptakan sebagai sepoi angin. Hidup hanya sekian detik, sudah dapat memberkahi tiap insan dengan kesegaran. Namun di sini, sekali lagi aku hanya duduk di antara orang-orang yang menikmati kebebasan. Mereka menatapku dengan penuh senyuman. Selang kemudian sibuk masing-masing. Kiranya menandakan aku orang yang sama seperti mereka: bebas dan merdeka.

Aku tidak tahu sampai kapan hidup di dunia terasing ini. Demikian banyak kesukaran yang telah aku alami dengan berbagai macam bentuk dan macamnya. Masalah yang selalu kuhiraukan, makin hari malah membentuk segmen-segmen keputusasaan.

Mengapa tidak kusadari sebelumnya, hidup ditengah kebahagiaan bersama goyang ilalang. Ataupun menikmati sembilir bau kotoran kerbau?

Di tengah nostalgia akan kampung halaman, mataku terbelalak ketika menatap seorang gadis kecil berlarian dengan riang menyusuri kolam. ia tampak kumal, berambut gimbal, bahagianya seakan kekal jauh dari sosok yang bebal. Senyumnya menghapus pandangan orang akan baju yang di pakainya: terlihat kotor penuh sobekan. Entah mungkin berapa bulan tidak dicuci sehingga tampak bagai lumangan oli kotor di kain putih, atau entah sengaja dikotori oleh dirinya sendiri.

Aneh, gadis kecil bebas bermain layaknya marpati mengelilingi ranah candradimuka, sekalipun di bawahnya terdapat rentetan senjata yang siap di tembakan kearahnya, ataupun di depannya terdapat gerombolan elang hitam nan kejam. Gadis tetap tersenyum sekalipun di sekelilingnya adalah orang yang asing dalam kehidupannya. sesekali tercipta sinar terang dari arah gigi kuningnya. Aku tersenyum.

“gusti..siapa yang menelantarkan gadis kecil itu” aku berbicara dalam anganku.
“atau mungkin dia anak haram”
“atau mungkin juga orang tuanya tega menelantarkannya”
“entahlah, mungkin pula gadis itu lari dari rumahnya, mengotori bajunya.untuk meminta belas lasih dari kaum-kaum yang iba”
Rentetan pertanyaan menggerilnya mengepung otak ku.
“ahh..tidak tidak, sudah cukup” aku berbicara sendiri.
ketika sedang puas memandangi sang gadis kecil, aku dikagetkan oleh teriakan seorang ibu yang sedang menggendong bayi. Tubuh ibu itu sangat gempal berdaster kumal—sama kumalnya dengan baju yang dikenakan oleh gadis kecil.
“welaaaas. Kemana saja kamu! Ibu mencarimu” matanya menyeringai mengarah ke wajah gadis kecil. Sontak mengagetkan orang-orang yang berada di taman.

Pandanganku kini tertuju ke arah gadis kecil.

Aku kembali terkejut.

Keadaan berubah drastis, gadis yang riang seketika penuh ketakutan. Tampak was-was. Bola mata jernihnya seakan tidak kuasa mengeluarkan air mata. Langkah demi langkah gadis kecil mendekat ke arah sang ibu.

Aku yang dalam angan penuh tanya, berusaha mendekat mencari jawab. Namun sontak terlintas keganjilan. Mengapa orang-orang seisi taman seakan menganggap angin lalu yang sudah biasa terjadi.
“ma..ma..afkan welas bu” suaranya terpatah-patah. O, welas namanya.
“maaf maaf..kau tak tahu terima kasih, dari tadi ibu mencarimu” sang ibu naik pitam.
“aku ingin seperti teman-temanku ibu. Ketika siang bermain bebas ayun-ayunan, bebas kuda-kudaan, atau bahkan bebas menaiki komedi putar”
“kita berbeda dengan mereka welas, tempatmu disini”.
“aku lelah ibu, setiap hari harus kejar- kejaran dengan aparat. Takut kena razia”
Dari dekat aku terus memerhatikan perbincangan antara si ibu dan welas. Yang lain seakan tak peduli.
“ibu tidak mengajarkan sifat penakut padamu. Cepat jangan cengeng, segeralah bekerja” sang ibu memberikan rantang berkarat pada welas.
“tapi bu..” tak sempat welas membela diri, sang ibu menampar pipi welas. Suaranya cukup keras sehingga terdengar hingga keujung taman. Namun tetap, orang-orang terkesan acuh.
“cepat goblok, susu adikmu sudah habis, ibu tidak bisa leluasa bekerja karena jahitan bekas melahirkan adikmu ini belum kering”

Akhirnya welas sang gadis kecil itu pergi. Berlalu meninggalkan taman yang Ditandai dengan munculnya air mancur di tengah kolam. Sisi-sisinya dikepung oleh bunga-bunga menguning. Sementara sang ibu masih terus ngoceh tiada henti. Hingga bayi yang digendongnya pun bangun dari tidur. Tangis bayi tidak pula membuat luluh hati sang ibu.

“Diam goblok, atau kusumpal mulutmu, atau kujual, atau kubuang, atau..” sang ibu terus ngoceh, matanya melotot kearah bayi dengan mengacungkan telunjuk jari kanannya tinggi-tinggi.

Ada apa ini, aku tidak mengerti. Aku ingin sekali menempeleng semua orang di sekelilingku, mereka seakan tidak peduli. Mengapa semua berbeda dengan kampung halamanku. Ketika satu warga ada masalah, sontak seluruh warga di desa saling bahu-membahu untuk menyelesaikannya. Ada apa gusti? Sudah terlanjur aku terkurung dalam labirin yang kacau ini.

Dalam pikiranku berterbangan wajah emak yang melahirkan, menyusui, dan bersusah payah mempertahankan hidupku. emak yang dengan air mata menimang-nimang di larut malam saat tangisannya datang tanpa kenal waktu. Siang, petang, dan malam perempuan itu menderita karenanya.

Dan apakah setiap detik hidupku dapat membayar pengorbanan emak? Aku malu sebenarnya untuk berkata jujur. Ingin sekali hidup layaknya orang-orang di taman ini—Masa bodo akan segala keadaan sekitar. namun sekali lagi kukatakan bahwa aku tidak bisa menghapus sosok emak di hidupku. Dan aku adalah kain wol yang kusut karena itu.

-Aku ingin pulang mak.

Trotoar Menteng, Desember 2009
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar