Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-
Leave a Comment

PUISI “SEPERTI PUISI” DALAM TINJAUAN SEMIOTIK SASTRA

Oleh Restu Nur Wahyudin*

Abstrak. Tulisan ini mengkaji puisi “Seperti Puisi” secara semiotik. Tujuan kajian semiotik dalam naskah ini adalah untuk memberikan makna kepada tanda-tanda. Metode semiotik dalam analisis ini dilakukan dengan cara menganalisis, mendeskripsikan, dan mencari hubungan antara tanda-tanda dalam struktur drama dengan makna-makna yang terkandung didalamnya.

Kata Kunci: analisis, teks sastra, deskripsi, pemaknaan

Pendahuluan

Kemunculan suatu karya sastra tidak terlepas dari kehidupan masyarakat di sekitarnya. Melalui kepekaan seorang sastrawan, karya sastra dapat menggambarkan pelbagai fenomena yang terjadi di lingkungan masyarakat secara dinamis. Dalam hal ini sastra dapat dikatakan sebagai dokumentasi sejarah kehidupan.

Karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan pada zaman-zamannya (Abrams, 1981:178). Salah satu pengejawantahan dari ekspresi akan cerminan masyarakat tersebut, dituangkan ke dalam bentuk puisi.

Setiap tanda-tanda dalam suatu karya sastra sejatinya mengandung perumpamaan yang hendak disampaikan oleh pencipta kepada apresiator. Tidak terkecuali dengan puisi, apa yang disiratkan dalam setiap kata-katanya, mengandung pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca.

Puisi “Seperti Puisi” merupakan salah satu bentuk tawar dari Nazaruddin Azhar kepada apresiator terkait pemaknaan yang tersirat dalam puisi tersebut. Kiranya akan menjadi hal yang menarik jika “Seperti Puisi” dikaji dengan menggunakan semiotik.

Pada dasarnya penelitian ini dilakukan dengan mengacu pada tataran semiotik sastra, yang mencoba melakukan penelitian terhadap hubungan antara tanda-tanda dalam struktur drama dengan makna-makna yang terkandung didalamnya. berkaitan dengan hal itu, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori semiotik sastra.

Semiotik Sastra

Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam bidang yang berbeda secara terpisah. Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce dikenal sebagai ahli filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi.

Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama.

Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan sebagainya. Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan. Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna.

Peirce, semiotic is the doctrine of the essential nature and fundamental varieties of possible semiosis the term semiosis is derived from a treatise of the Epicurean philoshoper Philodemus. Pierce explained that “semiosis mean the action of almost any kind of sign and my definition confers on anything that so act the title of sign (Winfrid North,1990:42)

Menurut Peirce, semiotik adalah pembelajaran mengenai sifat-sifat dasar dan variasi asas-asas yang memungkinkan dalam semiosis. Istilah semiosis berasal dari risalah Epicurean filosofis Philodemus. Pierce menjelaskan bahwa semiosis mengandung makna perbuatan yang hampir terdapat dalam berbagai macam tanda dan pengertian saya ini merujuk pada sesuatu perbuatan yang berlabel tanda (Winfrid North, 1990:42).

Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan. Tanda baru dapat berfungsi bila diinterprestasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat.

Peirce: signs the axiom that cognition, thought, and even man are semiotic in their essence.. like a sign, a thought refers to other thoughts and objects of the word so that ‘all which is reflected upon has [a] past”. Peirce even went so far as to conclude that “the fact that every thought is a sign, taken in conjunction with the fact that life is a train of thought, proves that man is a sign” (Winfrid North, 1990: 41)

Dalam kajian semotik tidak dapat terpisahkan dengan kajian struktural karena sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Dalam perkembangan ilmu sastra, beberapa teoritisi sastra menganggap bahwa semiotik dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk memperkuat sebuah analisis karya sastra setelah sebelumnya dilakukan terlebih dahulu analisis secara struktural. Seperti dikemukakan oleh Zaimar (1990 : 24) bahwa analisis struktural akan berhasil menampilkan bentuk karya, serta pelanggaran-pelanggaran terhadap konvensi karya sastra yang terdapat di dalamnya, namun analisis struktural tidak dapat memecahkan masalah pemahaman karya. Itulah sebabnya dilakukan analisis semiotik.

Tujuan Sosiologi Sastra

  1. Semiotik digunakan untuk memberikan makna kepada tanda-tanda sesudah suatu penelitian struktural.
  2. Semiotik hanya dapat dilaksanakan melalui penelitian strukturalisme yang memungkinkan kita menemui tanda-tanda yang dapat memberi makna (Junus, 1988: 98).

Metode Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode penelitian sastra yang disebut metode semiotik sastra. Langkah-langkah dalam penelitian ini mengikuti metode kerja pendekatan semiotik sastra di mana pada pengkajiannya akan dibagi menjadi analisis sintaksis, analisis semantik, dan analisis pragmatik.

Seperti Puisi

seperti pagi di hari yang selalu ingin kau kenang

ia datang dan mengulurkan pelukannya yang lembut

waktu menyahut dari lubuk matanya

saat kau ingin sekali bertanya entah apa

detik yang memilikimu menyertainya

dari tempat terjauh, di mana kesempurnaan

bangkit dari kertap daun luruh

demikianlah ia hadir seperti puisi

meluluhkan batas keindahan dan derita

membiarkan getar setiap kehendak

lindap dalam penyerahan

usai

pada permulaan lain

2009

Aspek Sintaksis

Dalam puisi ”Seperti Puisi” nyaris tanpa disertai tanda titik didalamnya. Hal ini berdampak pada huruf kapital dalam puisi tersebut. Pada larik pertama diawali dengan kata perumpamaan ”seperti”, jika ditelaah berdasarkan kaidah Bahasa Indonesia, larik tersebut merupakan larik yang tidak baku. Sampai-sampai judul puisinyapun diawali dengan konjungsi perumpamaan ”Seperti Puisi”.

seperti pagi di hari yang selalu ingin kau kenang

ia datang dan mengulurkan pelukannya yang lembut

Bait pertama tersebut seakan menjadi penggambaran bait-bait selanjutnya. Jika dianalisis dari segi sintaksis, ini termasuk larik yang tidak baku. Akan tetapi di sini penyair berusaha menyalurkan pesan dari bait tersebut, mengecualikan penggunaan kalimat baku dan tidak baku.

Terlepas demikian, dalam puisi ini mengandung diksi yang sederhana, kata-kata yang terkesan biasa di mata pembaca. Di sini sisi positif Nazaruddin Azhar, ia mampu meramu kata-kata sederhana menjadi paduan kata yang sarat makna.

Jika ditilik lebih dalam, dalam ”Seperti Puisi” cenderung menohok kepada seseorang. Hal ini terlihat dengan penggunaan kata ”Ia” dan partikel ”-nya”. Kecenderungan itu dikaitkan dengan makna dari puisi karya penyair asal Tasikmalaya tersebut, di mana menohok kepada seorang objek yang selalu hadir di saat pagi. Bahkan dianalogikan dengan keindahan puisi.

Aspek Semantik

Seperti yang telah diteaah sebelumnya, dari setiap kata dalam puisi ”Seperti Puisi” cenderung menggunakan kata-kata yang sederhana dan cenderung tidak asing untuk didengar. Hanya saja, terdapat kata-kata yang dapat dikatakan asing terdengar ”bangkit dari kertap daun luruh”, secara harfiah diartikan sebagai sesuatu yang bangkit dari lembar daun yang telah layu.

seperti pagi di hari yang selalu ingin kau kenang/ ia datang dan mengulurkan pelukannya yang lembut. Demikian isi dari bait pertama, jika ditilik dari pemaknaa secara konotasi, diartikan sebagai sesuatu yang datang, yang mengingatkan kepada sesuatu masa lalunya. Secara denotasi, cenderung mengartikan pagi hari yang selalu dikenangkan oleh seseorang, kenangan itu datang bak mengulurkan pelukannya yang lembut.

waktu menyahut dari lubuk matanya/saat kau ingin sekali bertanya entah apa/detik yang memilikimu menyertainya/dari tempat terjauh, di mana kesempurnaan/bangkit dari kertap daun luruh. Secara konotasi, kerinduan seseorang terhadap suatu objek lebih ketara. Ini terlihat dari larik terakhir bait kedua. Di mana kerinduannya dianalogikan bangkit dari kerdap daun luruh. Nazaruddin Azhar berusaha menganalogikan setiap suasana yang dirasakannya dengan kerinduan akan suatu objek. Sedangkan jika ditilik secara makna yang sebenarnya, dalam bait kedua menceritakan tentangnsuatu waktu yang menyahut dari lubuk waktu masa lalunya. Saat kau—dalam hal ini sosok kenangan masa lalunya—sekali bertanya yang entah apa artinya. Detik seakan memilikimu sehingga terasa menyertainya, dari tempat terjauh, di mana tempat kesempurnaan.

demikianlah ia hadir seperti puisi/ meluluhkan batas keindahan dan derita/ membiarkan getar setiap kehendak/ lindap dalam penyerahan. Secara estetika kiranya bait ini merupakan bait terbaik dari puisi “Seperti Puisi”. Hal ini dapat dilihat dari analogi kata yang apik. Ia menganalogikan perasaannya seperti puisi yang meluluhkan batas keindahan dan derita, yang menggetarkan setiap kehendak lindap dalam pencerahan. Sosok yang dirindukan dalam puisi “Seperti Puisi” tampaknya merupakan sosok yang tidak pernah dilupakan oleh “si objek” dalam puisi tersebut.

Makna dari keseluruhan puisi dimasifkan dengan isi dari bait terakhir. usai/ pada permulaan lain. Ini dimaknakan sebagai perakhiran kerinduannya meski hanya di sebuah waktu tertentu. Maka pada waktu yang lain, tetap saja akan muncul kerinduannya akan sosok di masa lalu.

Melalui analisis semantik tersebut akan ditemukan tema dari puisi “Seperti Puisi” yang memiliki tema kerinduan. Majas-majas yang terkandung didalamnya pun cenderung mengandung metafora yang sangat mendalam.

Aspek Pragmatik

Dalam puisi ini yang terdapak dua tokoh, di mana “si objek” yang merindukan “si subjek” masa lalunya. Sebegitu rindunya dianalogikan dengan keindahan sebuah puisi yang meluluhkan batas keindahan manusia. Otomatis berdampak pada penggunaan kata “mu” dan “nya”. Nazaruddin Azhar dalam hal ini lebih menonjolkan kerinduang seseorang kepada masa lalunya.

Kesimpulan

  • Tema dari puisi “Seperti Puisi” adalah kerinduan.
  • Pesan yang berusaha disampaikan Nazaruddin Azhar adalah kesetiaan di masa lalu.
  • Secara sintaksis, penggunaan lariknya tidak menitiberatkan kepada kaidah bahasa.
  • Secara semantik, pemaknaan dari setiap baitnya memiliki kecenderungan tentang analogi antara sosok masa saat ini dengan sosok kenangannya di masa lalu.
  • Secara pragmatik, terdapat dua tokoh dalam puisi “Seperti Pelangi”, yaitu antara “si objek” dan “si subjek”.

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumiyadi. 2005. Pengkajian Puisi Analisis Romantik, Fenomenologis, Stilistik, dan Semiotik. Bandung: Pusat Studi Literasi jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS Universitas Pendidikan Indonesia.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar