Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Kilometer Terakhir

1 comment


::kepada Fahrul Satria Nugraha

MATAHARI menggantung. Panas itu likat di punggung batu dan leherku. Aku tengah kembali ke rumah yang pernah kulupakan. Kepalaku jadi siang, merambat kenangan yang semakin mengeruh. Jalan berbukit. Sungai panjang. Semak dan perdu. Hutan-hutan dan jajar sengon menarikku kembali ke rumah itu. Namun sesuatu menghalanginya: rimbun pohon dan ingatan.

Aku sampai. Sesuatu menghentikanku. Murbei itu masih ada. Buahnya berjatuhan, sementara ingatanku masih mengambang: seorang anak bermata musim semi tengah memanjat pohon. Sandalnya terjatuh, tapi matanya terus meninggi pada buah-buah ungu itu. Seorang ibu memanggil-manggilnya di muka pintu sementara seorang yang lebih tua dari ibunya tertawa kecil-kecil di bangku teras rumah itu.

Aku beranjak mengamati rumah tua itu, duduk di kursi rotan berdebu. Sejenak: pandanganku menyapu setiap sudut ruangan, “menyeramkan sekali”. Perlahan, persepsi burukku berangsur hilang, ada motif relung yang indah. “Eksotis”, bagiku rumah tua ini begitu memesona, dengan seni ukir terpampang di setiap sudutnya.

Seketika, lamunanku buyar. Dari kejauhan, kulihat seorang tua hendak menghampiriku. Aku terheran: dengan baju compang-camping, lelaki itu menyodorkan tangannya padaku.

“Apakah kau masih ingat padaku?”.

“Sepertinya aku mengenalmu, tapi aku tidak yakin”.

“Kau memang mengenalku, aku ini temanmu!”.

“Bagaimana aku tahu kau ini temanku?”.

“Kau pernah memetik rambutan Pak Surip bersamaku”.

“Seingatku, saat itu aku memetiknya bersama Udin”

“Akulah Udin, yang sering kau panggil dengan sebutan Buncis itu”

“Kau Udin? Ya..kau memang Udin si Anak Buncis itu”. Kami berjabat tangan. Setengah tidak percaya.

“Kau jauh berbeda dengan penampilanmu dulu”

“Aku pergi dulu..”

PERGI? Dingin nadanya. Udin pergi begitu saja. Tampak raut wajah ketakutan dalam dirinya. Aku terheran, ia adalah teman kecil yang baru bertemu lagi denganku, bukan? Aku menoleh ke belakang, hendak bertanya padanya. Ia sudah tak tampak batang hidungnya. Lenyap.

Kuhiraukan kejadian aneh itu. Tak lama, kilat petir melintas. Derunya bergemuruh, samar-samar berwujud mengerikan. Beterbaran: rintikan hujan membasahi bajuku.

Dengan segera, aku berlindung di rumah tua itu. Kembali, aku duduk termenung di kursi rotan. Alam tak memihak: kelopak daun berayun-ayun kecil menahan rintikan hujan yang datang bertubi-tubi. Cahaya mentari redup, terhalang awan hitam. Cuaca bak musuh menyeringai, tajam.

Di tengah hujan deras, teringat masa lalu bersama seorang. Saat pertamakali mengunjungi rumah ini. Rumah warisan turun temurun dari kakek buyutku. Rumah yang berdiri kokoh, kendati berusia ratusan tahun.

Ayah, sosok bersahaja itu mengajakku ke rumah ini. Mengajariku cara memanjat pohon jambu. Dengan kasih sayang, di teras rumah ibu menyemangatiku. Sedikit kerja keras, sampailah aku di atas pohon. Kupu-kupu terbang di sampingku, memberikan ucapan selamat. Hari berjalan begitu indah, kasih sayang mengelilingiku.

Bagiku, waktu sangat cepat berlalu, datang dan pergi secepat kencana menuju istana. Impian, akan berakhir di saat kita menutup mata.

“Aku ingin melihatmu menikah, menggendong seorang cucu dipangkuanku. Aku ingin semua itu terwujud sebelum ajal menjemput”.

Ayah tidak akan bisa mewujudkannya. Impiannya telah sirna. Peristiwa duapuluh tahun lalu, menyeruak dihadapanku. Kala itu, aku bersama mereka hendak berlibur ke Bogor. Dengan persiapan matang, kami berangkat malam hari. Perasaan tak karuan, menjerumuskan pada firasat buruk.

Saat melewati Tol Cipularang, tepatnya di kilometer terakhir, kejadian naas itu terjadi. Saat itu, mobil meluncur dengan kecepatan 120 km/jam di jalur bebas hambatan, tiba-tiba salah satu ban depan meledak, kemudi sukar dikendalikan, kecelakaan tak dapat dihindarkan.

Sungguh mengerikan. Pandangan di saat aku melihat mereka terbujur kaku, Keping-keping logam berserakan. Nafas kesunyian, terdengar di lautan darah yang mewangi. Setengah sadar, aku beranjak bangun. Pandanganku, timbul tenggelam di antara temeramnya lampu-lampu.

Samar-samar kulihat, ibu bersimbah darah. saat menoleh ke belakang, terlihat sepintas pecahan kaca menghujam wajah Ayah. Aku kehilangan kesadaran. Malam sunyi hanyut dalam kegelapan, membawa jiwa-jiwa tenang ke hadapan-Nya. Bulan pucat memandangi dari balik bayang langit, Hitam.

***

TIGA jam berlalu, aku termenung. Rintik hujan masih setia menemani. Kembali teringat, kala terakhir melihat ayah dan ibu, kala di mana memandang tubuh dingin terbungkus kafan, isak tangis mengiringi pemakaman. Semerbak, aroma kamboja menyaksi pelepasan: tanah merah perlahan menutupi mereka.

Aku hanya menangis, pilu. Doa-doa berhamburan di peristirahatan terakhirnya. Jiwa sunyi, merangkulku sendiri. Semua telah berakhir, kutempuh jalan hidup baru. Hari demi hari, tiada kasih sayang seperti dulu.

Masa lalu suram, membayangi di tengah kegelapan. Tak ingin hanyut dalam kesedihan, aku bangkit dalam keterpurukan, melawan kerasnya dunia. Jalan panjang, melintang di penantian. Walau sebatangkara, jiwaku utuh dalam kebebasan.

Hujan yang semula deras, kini mulai mereda. Mentari mulai tampak menyinari bumi. Aku bergegas pulang ke rumah. Berjalan, menyusuri jalan setapak yang sukar dilalui. Pelangi tampak indah, mengiringiku.

Tiba di desa, aku beristirahat sejenak. Di timur, jingga langit mulai muncul. Perlahan, sayup adzan terdengar. Senja mulai membayangi, beberapa burung berkelebat menuju pepohonan. Mereka akan pergi, menuju peraduan.

Seketika, sebuah mobil putih menghampiriku. Aku terkesiap. Dua orang berbaju putih keluar dari dalamnya. Pikirku diterjang was-was. Tiba-tiba, tanganku dipegang erat. Kedua orang itu, mengikatku tanpa ampun. Aku berusaha berontak, mereka kian keji dan liar, menyeretku ke dalam mobil.

Mobil melaju sangat cepat. Di tengah perjalanan, aku bertanya pada salah seorang dari mereka.

“Mau dibawa kemana aku?”

“kami akan membawa anda pulang ke rumah”

“Rumah yang mana?”

“Tenang, rumah anda di seberang sana”

Dengan segera, mataku tertuju keluar jendela. Tampak sebuah bangunan megah bercat putih, dengan halaman yang luas, dipagari teralis besi. rumput-rumput hijau tumbuh di sekelilingnya. Di bagian atas bangunan itu tertulis “Rumah Sakit Jiwa Riau 11”.


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

1 komentar: