Radar Banjarmasin, 20 Januari 2012
Mahasiswa bagaikan sebuah cahaya lilin. Cahaya lilin itu menerangi rakyat yang tengah kegelapan, ditinggal terang.
Gelora perjuangan mahasiswa terus mewarnai sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa sumpah pemuda tahun 1928, kemerdekaan Indonesia, tumbangnya Orde Lama tahun 1966, peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan runtuhnya Orde Baru tahun 1998 menjadi bukti kekuatan mahasiswa.
Lika-liku sejarah tersebut, kiranya tidak dilakukan oleh seorang mahasiswa saja. Sama seperti manusia lainnya, sehebat apapun seorang mahasiswa, tentu tidak akan mampu menciptakan perubahan jika dilakukan oleh sendiri. Mahasiswa beserta golongan rakyat lainnya merupakan sebuah dasar kesatuan mencapai kesejahteraan.
Jumlah mahasiswa Indonesia saat ini mencapai 4,2 juta orang. (BPS, 2011). Meski bukan jumlah ideal jika dibanding 230 juta rakyat Indonesia, mahasiswa patut menjadi harapan rakyat untuk meraih kesejahteraan. Setidaknya terdapat tiga bekal yang mendorong mahasiswa untuk melakukan perubahan.
Pertama, Pengalaman sebagai peserta didik di setiap jenjang pendidikan formal menjadi bekal dalam keilmuan mahasiswa. Sebagai kelompok masyarakat yang memeroleh pendidikan tertinggi, mahasiswa sejatinya memiliki pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat.
Kedua, dinamika kampus membentuk gaya hidup ideal. Kampus kerap dianalogikan sebagai sebuah miniatur kehidupan bermasyarakat, individu-individu di dalamnya terdiri dari berbagai golongan, ras, dan watak yang berbeda-beda.
Ketiga, mahasiswa berpeluang memasuki lapisan atas susunan masyarakat. Mahasiswa kerap disebut sebagai calon pemimpin masyarakat, penempaan ilmu serta pengalaman berdinamika di kampus menjadi kelebihan tersendiri bagi mahasiswa dari golongan pemuda lainnya.
Akan tetapi bekal ini hanya akan menjadi pepesan kosong, jika ruang gerak mahasiswa sendiri terbatas—atau bahkan dibatasi. Sama seperti lilin, apinya padam jika tertiup angin atau batangnya akan menipis jika apinya terlalu besar.
Persoalan Nasib
Penulis berpendapat, banyak sekali persoalan yang dapat menjegal masa depan mahasiswa, namun secara umum hal tersebut menyangkut persoalan biaya pendidikan dan lapangan pekerjaan. Data menyebutkan, angka kenaikan biaya pendidikan pada bulan Juli 2009 jika dibandingkan dengan tahun 2000 mencapai 227 persen.
Mahalnya biaya pendidikan, tidak diiringi dengan aksesibilitas mahasiswa untuk menggunakan fasilitas kampus. Memang tak dapat disangkal, beberapa kampus banyak membangun fasilitas yang menunjang. Hanya saja, fasilitas tersebut tidaklah gratis. Bahkan, cenderung terbuka disewakan untuk umum. Salah satu contoh fasilitas yang kerap dijadikan ladang pemasukan kampus adalah fasilitas parkir dan internet.
Ruang gerak mahasiswa pun semakin dipersempit. Langkah jamak yang diterapkan adalah membatasi waktu berorganisasi di kampus melalui pemberlakuan “jam malam”, menjatuhkan sanksi akademik, dari mulai skorsing hingga pemberhentian.
Kondisi ini mentransformasikan kecendrungan mahasiswa apatis. Parameternya adalah perbandingan antara banyak mahasiswa yang peduli terhadap rakyat dengan banyak mahasiswa yang berfoya-foya di mall. Alih-alih takut di Drop Out (DO) karena mengkritik kebijakan atau tidak dapat membayar biaya kuliah, lebih baik menutup mata, cepat lulus, dan mencari kerja.
Padahal kenyataan membuktikan, gelar akademik tidak menjamin lulusan perguruan tinggi untuk dapat bekerja. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pengangguran terdidik meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2004, penganggur lulusan D3 mencapai 237.251 orang, kemudian meningkat menjadi 434.457orang pada tahun 2011. Pada tahun 2004, angka penganggur lulusan S1 mencapai 348.107, dan melonjak menjadi 612.717 orang pada 2011.
Mahasiswa harus menyadari bahwa pemerintah sebagai pemangku kebijakan, berkewajiban memenuhi hak rakyat. Terlepas dari berbagai cobaan, mau tak mau kepedulian adalah harga mati yang harus dimiliki mahasiswa. Peduli terhadap kondisi rakyat, seperti api lilin yang tak gentar menerangi meski tertiup angin. Sudah waktunya membuka mata, menyadarkan nurani, dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.
Restu Nur Wahyudin, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia. Volunter di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan.
Untuk rekan-rekan yang merasa sadar bahwa belajar bukan hanya sekadar di ruang-ruang perkuliahan.
0 komentar:
Posting Komentar