Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Harapan Kualitas Pendidikan Tinggi 2012

Leave a Comment

HU Inilah Koran Jabar, 17 Desember 2012

Pendidikan Tinggi dari tahun ke tahun kerap mengalami berbagai macam perubahan baik kebijakan maupun produk yang dihasilkan. Sejumlah catatan penting pendidikan tinggi di tahun 2011 patut menjadi analisis kritis. Menjadi barometer perbaikan di tahun 2012.

Otonomisasi perguruan tinggi masih menjadi isu hangat dalam dunia pendidikan. Alih-alih tidak memberikan subsidi secara penuh terhadap pendidikan, pemerintah justru membebankan pada perguruan tinggi untuk mencari subsidi sendiri. Hal ini patut menjadi bahan analisis jika berdasar pada kenyataan seberapa banyak generasi muda yang dapat mengenyam perguruan tinggi.

Sebagai gambaran, jumlah mahasiswa Indonesia saat ini mencapai 4,2 juta orang. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-14 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru mencapai 18,4 persen. Adapun bila dihitung terhadap populasi usia 19-30 tahun, angka partisipasi kasarnya baru 23 persen. Jumlah ini masih tertinggal dibanding dengan negara-negara maju. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan, sejatinya memberikan subsidi secara penuh terhadap perguruan tinggi.

Peran Pemerintah
Peran serta pemerintah terlihat dari produk hukum yang memayungi Perguruan Tinggi. Setelah sebelumnya kebijakan UU Badan Hukum Pemerintah (BHP) yang menghalalkan otonomisasi perguruan tinggi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, tahun ini pemerintah tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Perguruan Tinggi (RUU PT) yang tak kalah mendapat tanggapan kritis dari beberapa pihak terkait.

Baik UU BHP maupun RUU PT, secara garis besar tetap menghalalkan adanya otonomisasi pengelolaan dana oleh perguruan tinggi. Kenyataan yang terjadi, otonomisasi justru berimplikasi terjadinya komersialiasi sektor sarana dan fasilitas kampus. Pendidikan tinggi seakan menjadi ladang bisnis bagi para pihak terkait.

Perkembangan terakhir dari RUU PT, terdapat pasal yang mengatur tentang peluang masuknya PT asing ke Indonesia. Hal ini membuka peluang persaingan antara PT asing dengan PT nasional yang masih belum merata kualitasnya. Sementara itu, harapan rakyat yang tidak dapat berkuliah karena mahalnya biaya kuliah, belum dapat diakomodir secara penuh oleh RUU PT.

Sekadar perbandingan, biaya kuliah tahun ini sudah mencapai puluhan juta rupiah. Hal ini sangat memberatkan bagi 3,1 juta rakyat yang terjerembab dalam jurang kemiskinan. Pendidikan tinggi yang sejatinya meningkatkan kecerdasan seluruh lapisan rakyat, justru hanya dapat diakses oleh segelintir kaum menengah ke atas.

Mungkin kursi-kursi kelas perkuliahan hanya dapat diduduki golongan masyarakat berada. Sementara, pemuda desa hanya bekerja dengan pacul di pesawahan, anak buruh lelap bermimpi menjadi mahasiswa, rakyat miskin kota berlinang air mata tak sanggup menampik melambungnya biaya masuk kuliah. Padahal merekalah calon penerus bangsa. Perguruan Tinggi lah yang sejatinya menuntun seluruh penerus bangsa mengisi gedung-gedung pemerintahan, menjadi pendidik, dan ilmuwan.

Maka tidak berlebihan jika muncul berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa menuntut tanggung jawab pemerintah akan akses pendidikan tinggi. Berdasarkan data Intelkan Polda Jabar, dari sekitar 700 aksi unjuk rasa yang terjadi sepanjang 2011, 184 di antaranya dilakukan oleh mahasiswa. Salah satu tuntutan isu yang sering diangkat adalah sektor pendidian tinggi.

Secercah Harapan
Jika ditarik kesimpulan dari kenyataan yang terjadi pada 2011, aksesibilitas rakyat untuk mengenyam perguruan tinggi, terganjal oleh mahalnya biaya masuk. Padahal dapat kita pahami jika pendidikan merupakan sebuah jalan keluar menuju kesejahteraan. Meminjam istilah Anis Baswedan, pendidikan tinggi merupakan “eskalator sosial”, merubah golongan ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah menjadi kelas menengah ke atas.

Pemerintah sejatinya harus bertanggung jawab membuka akses pendidikan tinggi selebar-lebarnya bagi pemuda Indonesia. Kiranya itulah harapan konkret yang patut menjadi indikator baik buruk kinerja pemerintah tahun 2012.

Semakin banyak orang yang berpendidikan di Indonesia, semakin menutup potensi pembodohan. Semakin sedikit orang yang berpendidikan, maka bukan tidak mungkin jika bangsa Indonesia akan congkak dan terjajah, sebagaimana sejarah negara kita menyiratkan. Siapa yang tak ingin melihat Indonesia sejahtera? Semoga saja terjadi pada tahun 2012.

Restu Nur Wahyudin, Kepala Departemen Jaringan Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI Bandung.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar