Dimuat di Galamedia, 31 Januari 2013
KONDISI global yang kian pesat seakan
semakin mengabaikan minat masyarakat Indonesia terhadap tradisi membaca
dan menulis. Pesatnya iptek dalam globalisasi menurut Thomas Smith
(1999), dapat berdampak pada mental individu yang mengarah pada
pragmatisme. "Seperti putaran roda, segala hal kian mudah dan cepat.
Mencari sumber tak perlu ke perpustakaan, cukup mengunduh di dunia
siber. Berita dari berbagai negara pun dapat kita tonton di televisi",
begitu pendapatnya dalam buku In a healthy Society.
Aroma pragmatisme ini pun kiranya berdampak pada dunia literasi Indonesia. Seorang mahasiswa mungkin lebih mementingkan menonton acara televisi ketimbang membaca buku Aksi Massa Tan Malaka hingga tamat. Sementara siswa sekolah mungkin lebih memilih mengunduh sinopsis cerita Laskar Pelangi ketimbang membaca habis novel karangan Andrea Hirata tersebut.
Indikasi tersebut terlihat dari hasil survei Programme for International Student Assesment (PISA) yang menunjukkan skor baca Indonesia hanya 42, sedikit di atas tunisia yang memiliki skor 44.
Survei lain menyebutkan rata-rata hanya 27 halaman buku yang dibaca di Indonesia. Artinya, orang Indonesia hanya membaca satu halaman buku dalam setiap dua pekan. Sementara di Jepang, rata-rata setiap pelajar membaca 15 buku dalam satu bulan (Republika, 2/11).
Minimnya minat baca masyarakat terhadap buku, jelas menjadi sebuah problem serius. Dalam keterampilan bahasa, membaca ibarat gerbang pembuka ilmu-ilmu yang masuk dalam pikiran setiap orang (input). Ketika gerbang tersebut tertutup rapat, pemikiran manusia akan semakin mudah dipengaruhi dan tidak akan berkembang.
Keterampilan membaca seseorang pun sangat kentara dengan keterampilan menulis. Hal ini berhubungan dengan tulisan yang menjadi objek bahasa kedua keterampilan tersebut. Jadi, jangan harap akan lahir banyak penulis buku di Indonesia bila minat baca masyarakatnya pun minim.
Menurut Direktur Eksekutif Kompas Gramedia, Suwandi S. Subrata, tahun 2011 tercatat produksi buku di Indonesia sekitar 20.000 judul. Dari sisi oplah, Indonesia memang lebih tinggi dibandingkan Malaysia. Untuk penerbit besar, umumnya satu buku dicetak sebanyak 3.000 eksemplar. Adapun di Malaysia sekitar 1.500 eksemplar per buku, atau hampir sama dengan penerbit kecil di Indonesia.
Akan tetapi, jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang sekitar 240 juta, tentu angka produksi buku di Indonesia masih belum masuk akal. Kira-kira satu buku dibaca 80.000 orang.
Bangsa literer
Suatu bangsa dikatakan literer apabila keterampilan membaca dan menulis mengakar dalam diri setiap individu. Buku sejatinya bukan sekadar lembaran-lembaran kertas yang berisi tulisan. Buku bak hutan maha luas yang sangat menantang untuk dijamahi. Semakin banyak buku yang dibaca, maka akan semakin meningkatkan pemikiran yang rasional dan pemahaman akan sejarah suatu bangsa. Sebab, dengan membaca buku kita akan mudah memahami pemikiran tokoh kemerdekaan Indonesia, semisal Soekarno, M. Hatta, Tan Malaka, dan masih banyak lainnya.
Menjadi bangsa literer jelas bukan mimpi di siang bolong. Harapan itu akan tercapai bila kita semakin meningkatkan minat baca dan produktif menulis. Apalagi teknologi kian memanjakan kita untuk merealisasikannya. Buku yang biasanya terbit dengan versi cetak, kini hadir dengan versi buku elektronik (ebook). Setidaknya inovasi tersebut kian memudahkan individu mengembangkan minat baca.
Pemerintah, sebagai pemangku kebijakan sejatinya harus memberikan akses sumber baca terhadap masyarakat di berbagai pelosok. Pendidikan masyarakat pun harus ditingkatkan khususnya dalam keterampilan berbahasa. Sementara itu peran warga sipil sendiri jelas terasa penting untuk merealisasikannya. Kepedulian yang setidaknya terasa kongkret adalah membentuk komunitas baca dan tulis.
(Restu Nur Wahyudin, Ketua Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Universitas Pendidikan Indonesia)**
0 komentar:
Posting Komentar