Dimuat dalam Harian Inilah Koran, 31 Maret 2013.
“Mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu
ngarah moal ngarih”. Demikian peribahasa sunda yang penulis baca di salah
satu sudut pusat perbelanjaan di kota Bandung. Bila diartikan paribasa tersebut,
yakni “jika tidak berusaha maka tidak ada hasil yang didapat".
Peribahasa sebagai salah satu khazanah budaya
nusantara, memang dikenal penuh akan nasihat bijak. Lazimnya suatu peribahasa
dimuat di dalam sebuah buku. Namun kali ini berbeda, penulis membacanya pada sebuah
kaus yang dipakai oleh salah seorang pengunjung pusat perbelanjaan tersebut.
Orang itu berjalan
dengan pede di tengah hilir mudik
pengunjung perbelanjaan yang tampak mengenakan pakaian bermerk asing. Tidak
sedikit pengunjung yang membaca kaus yang dikenakan orang tersebut. Hal ini cukup
menggugah pemikiran penulis untuk berbagi gagasan. Terlebih wacana kekinian
yang tengah mengeruak adalah terkikisnya geliat generasi muda indonesia untuk
meminati budaya nusantara. Apalagi bila ditambah dengan ekspansi budaya asing
ke negeri ini semisal K-Pop (Korea) dan J-Stye (Jepang).
Rupanya proses
mengaktualisasikan budaya nusantara dalam media kaus bukan hanya sebatas
peribahasa. Marak pula pengenalan gambar baju tradisional, makanan daerah, dan
rumah tradisional yang tertera dalam media kaus. Konsumennya pun cenderung
anak-anak muda yang khas akan ekspresivitas.
Kaus peribahasa sunda
tersebut setidaknya merupakan contoh kecil proses mengaktualisasikan khazanah
budaya nusantara pada generasi muda. Tanpa menghilangkan esensi budaya
tersebut, para pegiat usaha kreatif mengemas budaya nusantara ke dalam berbagai
materi yang sangat erat dengan kehidupan generasi muda.
Dalam hal ini, dapat
kita tarik simpulan bahwa industri kreatif sebagai gerbang pegiat usaha muda, sangat
berpotensi mengaktualisasikan budaya nusantara. Sebab, sejatinya terdapat dua
hal yang mengakibatkan suatu budaya akan punah. Pertama, ketika budaya tersebut
tidak dikenal dan dipraktikkan oleh masyarakatnya. Kedua, ketika budaya
tersebut tidak diwariskan dan diajarkan bagi generasi selanjutnya.
Kementerian
Perdagangan Indonesia (Kemendagri) menyatakan bahwa Industri kreatif adalah
industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat
individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan
menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut.
Secara klasifikasi, pemerintah telah mengidentifikasi lingkup industri kreatif
mencakup 14 subsektor, antara lain industri kerajinan, perangkat lunak
(software), pasar barang seni, busana, periklanan, desain, animasi, film, video
dan fotografi, permainan interaktif, serta musik.
Khusus bagi Jawa
Barat misalnya, industri kreatif cukup bergeliat. Berdasarkan catatan tahun
2012, sektor industri kreatif ini mampu menyumbang 7,8 persen dari Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) yang nilainya sesuai data Badan Pusat Statistik
(BPS) Jabar sebesar 946,9 triliun rupiah.
Geliat industri
kreatif tersebut, setidaknya dapat menjadi potensi mengenalkan budaya nusantara
pada kancah nasional maupun global. Taruhlah bila seorang pengiat industri
kreatif membuat animasi jaipongan untuk selanjutnya ditayangkan negar dia lain.
Atau seorang pegiat industri kreatif lainnya membuat permainan interaktif bagi
anak yang di dalamnya memuat tentang pengetahuan berbagai makanan dan alat
musik khas Jawa Barat.
Kreativitas dan upaya pemerintah
Kekinian, pemerintah
marak membuka ruang bagi masyarakat untuk berkecimpung dalam dunia usaha
kreatif. Di tataran pendidikan tinggi misalnya, terdapat program semisal
Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Kewirausahaan yang menampung wadah
kreativitas mahasiswa untuk membuka usaha. Meskipun begitu, strategi yang perlu
dibangun oleh pemerintah adalah mengarahkan pada peminat usaha agar ketika
membuka usaha, bukan semata untuk mencari sukses. Dalam hal ini dibutuhkan
pemahaman seputar upaya-upaya mengaktualisasikan budaya nusantara melalui
sektor industri.
Apalagi bila menilik
realitas bahwa pegiat usaha industri kreatif cenderung berusia muda yang khas
akan gelora dan kreativitas. Tentunya sangat strategis untuk mengembangkan
kreativitas dalam pengaktualisasian budaya. Hanya saja, semangat dan
kreatifitas yang terdapat dalam industri kreatif tersebut harus didorong oleh
regulasi dari pemerintah.
Saat ini saja
misalnya, kita sangat mudah melihat barang dagangan yang berasal dari Cina di
setiap pusat perbelanjaan. Mulai dari makanan, minuman, hingga produk busana
sekalipun. Atau pula musik dari boyband
dan girlband Korea yang tidak asing
dalam telinga masyarakat Indonesia. Sementara video Gangnam Style dan Harlem
Shake mampu membius anak-anak untuk berdendang. Ketika pemerintah hanya
membiarkan kepada pasar, maka tentu akan terjadi persaingan yang tidak
berimbang antara pegiat industri kreatif yang baru berkembang dengan industri
asing.
Maka wajar bila hal
demikian terjadi, para pegiat industri kreatif bisa saja justru terjebak pada
komoditas pasar. Ketimbang melestarikan budaya nusantara melalui produk
kreatifnya, para pegiat usaha justru menjadi wadah bagi komoditas budaya asing
dalam proses pengaktualisasian. Akibatnya, masyarakat akan semakin magis
seputar pengetahuannya terhadap budaya nusantara.
Bukan tidak mungkin
bila budaya nusantara kelak diasosiasikan sebagai budaya yang heubeul. Segala bentuk khazanah budaya
nusantara semisal alat musik tradisional, pakaian, tarian hingga makanan khas
daerah akan menjadi “butiran debu” semata.
Setidaknya ketakutan
tersebut masih sebatas imaji selama masih ada masyarakat yang terus berinovasi
dan kreatif dalam mengaktualisasikan budaya nusantara. Sejatinya industri
kreatif bukan semata mencari untung atau membuka lapangan pekerjaan. Melainkan pula dapat mengaktualisasikan
budaya nusantara agar tetap lestari melalui gelora usaha nan progresif.
*Restu Nur Wahyudin, Ketua Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK).
0 komentar:
Posting Komentar