*Dimuat dalam harian Koran Jakarta, 18 Oktober 2013.
Judul Buku :
Wiji Thukul, Teka-teki Orang Hilang
Penulis :
Penulis :
Seno Joko Suyono dkk
Penerbit :
Penerbit :
Gramedia
ISBN :
ISBN :
978-979-91-0592-9
Tebal :
Tebal :
160 halaman
Terbit :
Terbit :
Juni 2013
"Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/Suara dibungkam kritik dilarang
tanpa alasan/Dituduh subversif dan mengganggu keamanan/Maka hanya ada
satu kata: Lawan!" Ini adalah penggalan puisi berjudul "Peringatan"
karya Wiji Thukul.
Penggalan puisi tersebut seakan tak pernah
absen diteriakkan para demonstran saat orasi. Thukul merupakan seorang
penyair yang terjun langsung dalam perjuangan gerakan rakyat melawan
rezim pemerintahan Orde Baru (Orba). Karena keberaniannya, dia diburu
pemerintah saat itu hingga kini bagaikan ditelan Bumi. Dia hilang entah
di mana rimbanya.
Tak sedikit media yang mencoba mengingatkan
kembali masih banyak orang hilang pada masa keruntuhan Orba dengan
melahirkan buku Wiji Thukul Teka-teki Orang Hilang. Buku ini diangkat
dari liputan khusus sebuah media.
Buku menceritakan perjalanan
hidup Thukul sejak kecil hingga terjun dalam ranah pergerakan. Hidupnya
sederhana. Ayahnya seorang tukang becak dan ibunya kadang berjualan ayam
bumbu. Thukul merupakan anak tertua yang sudah mencari uang sendiri
untuk sekolah atau sekadar uang jajan untuk dua adiknya.
Saat
remaja, dia aktif dalam berbagai kegiatan sampai akhirnya mulai mengenal
kesenian. Thukul mulai serius menggeluti kesenian kala bertemu dan
ditempa langsung pemain teater Cempe Lawu Marta. Wiji Thukul sebenarnya
bernama asli Wiji Widodo. Lawu sendiri yang mengusulkan nama Thukul.
Wiji Thukul artinya biji yang tumbuh.
Thukul berkecimpung di dunia
pergerakan bersama Persatuan Rakyat Demokratik, cikal bakal Partai
Rakyat Demokratik (PRD). Dia kerap muncul membacakan puisi saat
demonstrasi buruh atau mahasiswa. Dia pun dikenal sebagai penulis
selebaran, poster, dan buletin propaganda.
Dari sejumlah kerja
pergerakannya tersebut terkadang membahayakan fisiknya. Mata kanan
Thukul pernah nyaris buta karena dibenturkan di kap mobil oleh aparat
saat mengorganisasi buruh PT Sritex.
PRD sangat gencar mengkritik
kebijakan Orba. Puncaknya saat menuntut pemilu ulang dan menolak
terpilih kembalinya Soeharto sebagai presiden Indonesia tahun 1997. Satu
per satu pimpinan PRD yang dianggap provokator jadi sasaran operasi
militer, beberapa di antaranya ada yang diculik dan disiksa.
Tak
terkecuali Thukul. Dia lantas bersembunyi ke berbagai tempat. Dalam
setiap persembunyiannya dia menyamar. Kadang mengaku sebagai tukang
bakso. Lain kali rohaniwan. Sekalipun bersembunyi, sesekali Thukul
menulis puisi kala senggang.
Pascaruntuhnya Orba, keluarga
mengira Thukul sengaja disembunyikan PRD. Begitupun sebaliknya, PRD
mengira Thukul telah kembali pada keluarganya. Publik mulai menyadari
bahwa Thukul telah hilang setelah Jaap Erkelens menulis surat pembaca di
media yang mempertanyakan keberadaan Thukul tahun 2000.
Penelusuran
dilakukan di sejumlah kota hingga mengidentifikasi data mayat-mayat
yang terapung di Pulau Rambut pada tahun 1998. Namun, sampai saat ini,
keberadaan Thukul tidak diketahui.
Membaca buku ini, seakan
membuat detak jantung berdegup kencang, terlebih gaya penulisan naratif
ditambah dengan foto-foto yang melengkapinya kian mendekatkan pada
keberadaan Widji Thukul. Hanya, pembaca harus sedikit cermat dikarenakan
alur penulisan tiap bab yang meloncat-loncat.
Terlepas dari
keberadaan Widji Thukul yang masih menyisakan tanya, dia merupakan
bagian dari dinamika sejarah Indonesia. Thukul tak bisa terhapus atau
dihapuskan. Bersama karya-karyanya, dia kini hidup dalam setiap semangat
perjuangan kalangan muda Indonesia untuk menciptakan keadilan untuk
rakyat.
Diresensi Restu Nur Wahyudin, Kepala Biro Penelitian dan
Pengembangan Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan, Universitas Pendidikan
Indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar