Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Optimalisasi Peran Pemuda dalam Pembangunan Nasional Melalui Konsep Trilogi Cetar

Leave a Comment

*Tulisan ini terpilih sebagai juara pertama Lomba Esai Pekan Pemuda Nasional dan Munas Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (FL2MI) 2013.


Ilustrasi

Kala sejenak kita merefleksikan keberadaan negara ini, tentulah akan merasa takjub. Letak Indonesia sangat strategis dalam segi ekonomi dan politik, yakni di antara dua samudera besar, Hindia dan Pasifik, serta dua benua, Australia dan Asia. Memiliki sekitar 13.667 pulau dengan lima pulau besar: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Jawa yang sarat akan Sumber Daya Alam (SDA) baik di darat maupun lautan.

Khazanah Indonesia semakin lengkap dengan potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang melimpah yakni mencapai 230 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, terdapat sekitar 23 persen (62 juta jiwa) penduduk yang berusia 16-30 tahun. Rentang usia yang jika mengacu pada UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan termasuk sebagai golongan pemuda.

Namun, refleksi akan khazanah Indonesia tersebut berbanding terbalik dengan kenyataan. Kekayaan SDA yang dimiliki Indonesia tersebut, kiranya tidak mampu dimanfaatkan secara mandiri. Alih-alih dikelola oleh negara, sejumlah sektor SDA yang ada justru dikuasai oleh asing. Sektor minyak dan gas (migas) misalnya, mengutip pendapat Abraham Samad yang mengatakan bahwa dari 45 blok minyak dan gas (migas) yang saat ini beroperasi di Indonesia, sekitar 70 persen di antaranya dikuasai oleh kepemilikan asing. Kondisi semakin parah karena banyak pengusaha tambang di Indonesia yang tak membayar pajak dan royalti kepada negara.

Imbasnya, pemuda bersama penduduk Indonesia lainnya seakan menjadi tamu di negara sendiri, menyaksikan satu per satu kekayaan SDA dikelola oleh pihak asing, diimpor, diproduksi, dan dipasarkan kembali di negara ini. Jumlah SDM Indonesia yang banyak, justru menjadi target pasar sekaligus lumbung tenaga kerja dari negara lain. Wajar saja jika begitu mudah kita temui produk asing di negeri ini yang kiranya dibuat dari bahan baku dan tangan terampil penduduk kita sendiri.

Dalam konteks pembangunan nasional, ketergantungan pemerintah sebagai pemangku kebijakan terhadap asing, hanya akan berujung pada kondisi destruktif. Indikasi tersebut terlihat dari belum bisa lepasnya penduduk Indonesia dalam jerat kemiskinan. Sebagai gambaran, jumlah penduduk miskin saat ini mencapai 28 juta jiwa. Kondisi ini kian ironis bila menilik total utang pemerintah Indonesia hingga akhir April 2013 yang telah mencapai Rp 2.023,72 triliun. Artinya, setiap satu orang penduduk Indonesia harus menanggung utang pemerintah masing-masing sebesar Rp 8,5 juta.

Karena ketergantungan pulalah golongan pemuda terkena imbasnya dalam hal lapangan pekerjaan. Alih-alih sulitnya menciptakan lapangan pekerjaan, banyak pemuda Indonesia yang menganggur. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan, jumlah pengangguran terbuka nasional tahun 2011 mencapai 6,56 persen (7,7 juta jiwa) penduduk.

Sementara itu, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebut, pekerja usia muda Indonesia 4,6 kali lebih sulit mendapatkan kerja dibandingkan pekerja dewasa. Angka ini jauh lebih tinggi dari rata-rata dunia, pekerja usia muda 2,8 kali lebih sulit mendapat kerja. ILO juga mencatat, pengangguran terbuka berumur 15-29 tahun di Indonesia 19,9 persen, tertinggi di antara negara-negara di Asia Pasifik.

Optimalisasi Pemuda
Terlepas dari berbagai persoalan tersebut, pemuda merupakan sektor yang sangat potensial untuk memperbaiki negeri ini. Usia muda yang sarat akan produktivitas kerja, ditambah dengan watak khas ingin terus bereksplorasi dan berinovasi, merupakan kelebihan tersendiri yang ada dalam diri pemuda.

Sejarah mencatat betapa pentingnya keberadaan pemuda dalam dinamika perkembangan Indonesia. Peristiwa sumpah pemuda tahun 1928, kemerdekaan Indonesia, tumbangnya Orde Lama tahun 1966, dan runtuhnya Orde Baru tahun 1998  menjadi bukti kedahsyatan pemuda.

Jika dihubungkan dengan kondisi kekinian, tentulah kuantitas yang ada harus diiringi dengan kualitas pemuda itu sendiri. Sebagai catatan, laporan Pembangunan Manusia 2013 yang dikeluarkan badan PBB untuk program pembangunan, UNDP, memperlihatkan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2012 mencapai 0,629. Indonesia berada di peringkat 124 dari 187 negara. Peringkat tersebut masih jauh di bawah beberapa negara anggota ASEAN, termasuk Singapura (peringkat 18), Brunei Darussalam (peringkat 20) , Malaysia (peringkat 64), Thailand (peringkat 103) dan Filipina (peringkat 114).

Hal ini menjadi sorotan tersendiri di negeri ini, apalagi jika kita ingin memanfaatkan bonus demografi yang sangat menentukan pembangunan. Bonus yang hanya terjadi sekali bagi sebuah bangsa itu akan dialami Indonesia tahun 2020-2030. Di mana 100 penduduk usia produktif diperkirakan menanggung 44 orang tak produktif. Setelah itu, angka ketergantungan penduduk akan naik kembali. Kalaulah tak ada peningkatan kualitas pemuda, tentu kuantitas yang ada hanya akan menjadi ancaman tersendiri bagi negeri ini: menjadi sekadar pengangguran yang tak terberdayakan.

Trilogi Cetar
Jelas dibutuhkan upaya untuk mengoptimalkan peran pemuda dalam pembangunan negara ini. Berkenaan dengan hal tersebut, penulis menawarkan solusi yakni sebuah trilogi Cetar. Adapun Cetar sendiri merupakan akronim dari tiga unsur yang saling bertautan, yakni “cetak, tampung, dan sebar”. Secara terperinci, trilogi tersebut dijabarkan sebagai berikut.

Pertama, cetak pemuda berkualitas. Pendidikan dalam hal ini menjadi kunci untuk mencetak pemuda yang berkualitas. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang dienyam, maka kualitas pemuda Indonesia akan semakin tinggi. Sebagai gambaran, berdasarkan data Badan Pusat Statistis (BPS) pada tahun 2012 Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang pendidikan tinggi di Indonesia baru mencapai 18,53 persen. Artinya, aksesibilitas pemuda Indonesia dalam mengenyam pendidikan tinggi masih terbilang rendah.

Pendidikan pulalah yang menjadi podasi awal pemuda untuk membentuk karakter nasionalisme. Bila seorang pemuda memiliki karakter nasinalisme yang kuat, tentu ia akan memperjuangkan segenap keahliannya untuk membangun negeri ini. Selain itu, sejatinya melalui pendidikan kita dapat mencetak pemuda yang bukan sekadar bekerja, melainkan dapat menciptakan lapangan kerja sendiri sesuai dengan spesifikasi ilmu. Jika hal ini terwujud, maka pemuda Indonesia akan berdaulat dalam hal lapangan pekerjaan.

Kedua, tampung pemuda yang berpotensi. Sekalipun IPM Indonesia rendah, tidak sedikit pemuda Indonesia yang berpotensi dari berbagai aspek. Dalam hal sains dan teknologi misalnya, terdapat sejumlah riset pemuda Indonesia yang diakui oleh dunia. Tentulah pemuda yang berpotensi tersebut harus ditampung dalam suatu wadah agar fokus mengembangkan potensinya.

Taruhlah bila seseorang pemuda yang berpotensi dalam hal pertambangan, maka berikan ia wadah untuk berinovasi dalam pemanfaatan SDA Indonesia. Atau seorang pemuda yang berpotensi dalam ilmu pendidikan harus diberikan wadah agar ia mampu menyelesaikan persoalan buta huruf di Indonesia. Jangan sampai potensi pemuda tersebut justru diabaikan atau bahkan diwadahi oleh negara lain.

Ketiga, sebar pemuda ke daerah terbelakang. Setelah para pemuda dicetak dan diwadahi, maka langkah selanjutnya adalah disebar ke berbagai daerah terbelakang untuk dapat mengaplikasikan potensi serta keilmuan yang dimilikinya pada masyarakat Indonesia. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesenjangan dalam perkembangan pembangunan nasional.

Bagaimanapun pemuda merupakan sektor potensial yang mampu mengubah kondisi negara ini. Trilogi Cetar merupakan salah satu solusi untuk mengoptimalkan pemuda dalam pembangunan nasional. Sejatinya bila seluruh pemuda Indonesia berkualitas, bukan tidak mungkin kita akan menjadi tuan rumah di negeri sendiri, praktiknya akan dikenal, cetar membahana hingga ke kancah global.

*Restu Nur Wahyudin, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar