Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Reading Group dan Mencandukan Baca Buku

Leave a Comment
*Dimuat dalam harian Radar Banten, 17 Desember 2013.

Pamflet reading group saat membahas buku Tan Malaka berjudul "SI School and Onderwijs".

Membaca sejatinya merupakan ciri utama bagi mahasiswa sebagai “penghuni kampus”. Melalui membaca, mahasiswa akan meningkatkan kapasitas keilmuannya. Melalui membaca pula mahasiswa akan dipertemukan dengan gagasan para tokoh sesuai latar belakang pendidikannya. 

Mahasiswa bisa melakukan kegiatan membaca di manapun dan kapanpun. Di perpustakaan, di kostan, di taman, atau di halte bus sekalipun. Apalagi bila ditambah dengan media kekinian yang dapat mendukung kegiatan membaca semisal buku elektronik.

Namun begitu, kegiatan membaca terkadang terabaikan bagi mahasiswa. Zaman yang serba praktis seiring dengan kecanggihan teknologi, ibarat dua ujung pisau yang berlawanan. Alih-alih membaca buku, tak sedikit mahasiswa yang menghabiskan waktunya untuk berselancar di media sosial.

Kebanyakan paradigma yang dibangun mahasiswa menganggap bahwa transformasi ilmu pendidikan selesai di ruang kelas perkuliahan. Termasuk dalam kegiatan membaca, tak sedikit mahasiswa menganggap bahwa bahan bacaan utama perkuliahan hanya sekadar paper pengantar atau printout slide yang dibagikan oleh dosen. Akibatnya informasi yang didapat mahasiswa hanya berasal dari sumber sekunder.

Reading group sebagai ruang alternatif
Minimnya budaya membaca di kalangan mahasiswa pendidikan, tentulah bukan persoalan yang kecil. Apalagi bila menilik masa depan para mahasiswa yang kelak terjun dalam dunia masyarakat. Lebih mengerucut lagi bila misalnya mahasiswa tersebut kelak menjadi guru di sekolah. Dapat dibayangkan, ketika guru di sekolah menugasi siswa untuk membaca, sementara guru tersebut jarang membaca. Bukan tidak mungkin sang murid akan mengikuti apa yang dilakukan gurunya. Ketika hal demikian terjadi, maka akan menciptakan semacam mata rantai yang sulit diputuskan.

Berdasar dari persoalan tersebut, penulis tergerak untuk memecahkan solusi tersebut khususnya bagi mahasiswa Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang tentu harus memiliki berbagai pengetahuan seputar buku pendidikan. Penulis memandang perlunya sebuah ruang alternatif yang dapat mendekonstruksi paradigma mahasiswa terkait kegiatan membaca. Ruang yang dapat menciptakan paradigma bahwa membaca sejatinya tidak sekadar selesai di ruang kelas.

Penulis kemudian berkoordinasi dengan sejumlah kawan yang sepemahaman dengan rencana penulis. Referensi terkait metode dan langkah teknisnya pun dicari secara bersama pada berbagai sosok yang telah berpengalaman membentuk ruang alternatif membaca.

Salah satu sosok yang sangat berjasa memberikan gagasannya yakni Ubaidillah Muchtar, penggagas Taman Baca Multatuli (TBM) di Kampung Ciseel, Kabupaten Lebak, Banten. Melalui Taman Baca Multatuli-nya, Ubaidillah tak hanya sukses menggelorakan budaya membaca bagi masyarakat. lebih dari itu, ia berhasil membangkitkan kehidupan sosial masyarakat dan mengingatkan sejarah pada masa kolonialisme Belanda melalui reading group novel “Max Havelaar” karya Eduard Douwes Daker (Multatuli).

Menurutnya, dalam taman Bacaanya terdapat program yang sangat populer untuk menggelorakan kegiatan membaca. Ia menamainya sebagai reading group. Dalam konsep reading group, membaca dilakukan secara kolaboratif. Teknisnya, kegiatan membaca dipimpin seorang pemandu dan diikuti oleh sejumlah peserta yang tidak terlalu banyak. Satu per satu peserta membacakan kata demi kata, kalimat demi kalimat, hingga paragraf secara nyaring dan perlahan. Kemudian seorang pemandu memaparkan maksud dari setiap paragraf tersebut. Peserta dapat bertanya kemudian mengkaji secara bersama isi dari bacaannya.

Ubaidillah memaparkan bahwa kegiatan membaca dalam konsep reading group, dilakukan secara perlahan namun fokus. Intinya agar sang pembaca paham maksud yang disampaikan sang penulis buku. Reading group dilakukan seminggu sekali dalam waktu dua jam pada setiap pertemuan.

Sejak berbagi pemikiran dengan Ubaidillah Muchtar, penulis mulai terinspirasi mempraktikkan reading group di kampus. Penulis menyadari bila kecenderungan membaca mahasiswa dilakukan secara personal, bukan berkelompok. Terkadang ketika terdapat tulisan yang tidak dimengerti maksudnya dalam sebuah buku, kita akan enggan untuk membaca hingga halaman terakhir. Namun bila dilakukan secara berkelompok, mungkin ada individu yang bisa berbagi dan sama-sama mengkaji buku tersebut.

Koordinasi kemudian dilakukan dengan sejumlah kawan organisasi terkait teknis program reading group di kampus. Setelah berunding, akhirnya kami sepakat untuk memfokuskan buku bacaan pendidikan, sebagai identitas mahasiswa pendidikan. Maka sebagai awalan, buku “SI School and Onderwijs” karya Tan Malaka dijadikan sebagai bahan bacaan awal bagi reading group.

Untuk dapat mengundang peserta, kami menyebarkan pamflet dan brosur reading group di sekitar kampus. Waktunya dilakukan setiap hari Jumat pukul 19.30 WIB di sekretariat organisasi. Pada pertemuan pertama, penulis dipilih untuk menjadi pemandu reading group. Pesertanya memang sedikit, sekitar delapan orang dari sejumlah jurusan.

Konsep reading group yang kami praktikkan rupanya dapat dikatakan berhasil. Setelah satu per satu peserta kebagian membaca setiap halaman, dilanjutkan dengan kajian buku tersebut. Di sinilah keberhasilannya. Terjadi pertukaran gagasan antar mahasiswa terkait buku yang telah ia baca. Mulai dari historis buku tersebut, latar belakang sekolah rakyat Tan Malaka, hingga dikomparasikan dengan pendidikan kekinian.

Hingga tulisan ini rampung, tercatat kami telah melaksanakan delapan kali pertemuan reading group. Pesertanya setiap pertemuan mulai bertambah. Sampai pertemuan terakhir tercatat berjumlah sekitar 15 orang dari berbagai jurusan. Bahkan terdapat peserta yang juga tercatat sebagai tenaga pengajar di salah satu Sekolah Dasar di Bandung. Buku “SI School and Onderwijs” karya Tan Malaka pun berhasil kami tamatkan dibaca. Kini,  reading group mulai berajak membaca dan mengkaji buku “Pendidikan Kaum Tertindas” karya Paulo Freire.

Reading Group yang penulis beserta sejumlah kawan gagas sejatinya merupakan upaya membentuk ruang alternatif untuk menggelorakan budaya membaca buku bagi mahasiswa. Hasilnya mungkin tidak terlihat secara instan, namun besar harapan bila setiap peserta reading group nantinya mampu mempraktikkan apa yang ia baca. Lebih besarnya, ia mampu membentuk ruang-ruang alternatif yang mampu menyelesaikan berbagai persoalan pendidikan saat kelak terjun ke masyarakat.

*Restu Nur Wahyudin. Kepala Biro Penelitian dan Pengembangan Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Universitas Pendidikan Indonesia, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar