Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Mengikis Bully di Sekolah

Leave a Comment
*Tulisan saya dimuat dalam koran Pikiran Rakyat, 14 Oktober 2014.

sumber gambar: meandmychild.com

Beberapa waktu terakhir, publik digemparkan oleh terjadinya kekerasan dalam dunia pendidikan. Salah satunya adalah berupa kekerasan fisik yang dilakukan oleh antar siswa di sekolah. Sejatinya kekerasan tersebut merupakan sebuah dampak, muara besarnya adalah hadirnya tindakan bullying dalam interaksi antar sesama siswa di lembaga pendidikan.

Bullying dapat diartikan sebagai bentuk tekanan yang dilakukan oleh individu atau kelompok superior terhadap individu yang lemah. Superioritas tersebut dinilai oleh norma yang berlaku pada lingkungan sosial. Dalam konteks interaksi antar sesama siswa di sekolah, superioritas cenderung diukur dari kecerdasan, kekayaan, dan kekuatan. Ketika siswa superior merasa memiliki kelebihan kentara, ia akan melakukan monopoli kekuasaan terhadap siswa yang lemah. Manifestasinya bisa berupa cacian, pemerasan, dan kekerasan fisik.

Bullying tentu merupakan masalah dalam dunia pedidikan. Dampaknya memiliki rentang yang sangat panjang. Taruhlah bila seseorang siswa yang melakukan bullying di sekolah karena ia merasa superior dalam hal kecerdasan, bisa jadi ia kelak menjadi pemimpin yang justru memanfaatkan kecerdasannya untuk menindas rakyat.

Mengatasi masalah tersebut, guru memiliki peran yang sangat penting. Guru merupakan garda terdepan yang bersinggungan langsung dengan siswa di lingkungan sekolah. Setidaknya terdapat tiga cara yang dapat dilakukan guru dalam pembelajaran untuk mengikis masalah bullying.

Pertama, menghindari istilah anak emas. Bullying lahir karena adanya watak superior dari individu. Menganakemaskan salah satu siswa dapat memantik terjadinya superioritas dan iklim kompetisi yang destruktif. Siswa yang dianakemaskan, cenderung merasa tinggi dibanding yang lainnya. Menganakemaskan juga akan mengakibatkan kecemburuan dari siswa yang lainnya. Langkah bijak bagi guru adalah berlaku setara kepada siswa lainnya. Semua siswa adalah anak emas di mata guru.

Kedua, memupuk nilai solidaritas sosial. Bullying dapat mengikis apabila tingginya solidaritas antar sesama siswa. Melalui solidaritas, siswa akan merasa setara dan saling bahu-membahu membantu. Taruhlah bila siswa yang merasa memiliki kekuatan fisik yang tinggi dapat melindungi kekuatan yang lemah. Atau siswa yang cerdas dapat mentransformasikan ilmunya pada siswa yang lemah.

Guru dapat memupuk nilai solidaritas siswa dengan cara melesapkan pada saat pembelajaran. Ambil contoh, di kelas penulis menyajikan berita tentang korban bullying. Penulis meminta setiap siswa menanggapi berita tersebut. Penulis memberikan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan kasus dalam berita. Penulis memosisikan agar siswa merefleksikan sendiri pentingnya solidaritas antar sesama siswa untuk meredam bullying. Selanjutnya, penulis meminta siswa menulis cerpen dengan berdasar pada kasus tersebut. Hasilnya, mayoritas cerpen karya siswa mengarah pada pentingnya solidaritas dalam kehidupan sosial.

Ketiga, membuka ruang dialogis dengan siswa. Guru sejatinya tidak sebatas hadir dalam kondisi formal saat mengajar. Guru ibarat orang tua dan sahabat bagi setiap siswa di lingkungan sekolah. Perwujudannya adalah adanya komunikasi yang baik dengan siswa. Dari komunikasi tersebut, guru dapat mengetahui masalah yang terdapat dalam kehidupan siswa. Kondisi demikian akan sangat berguna untuk mengikis bullying. Apalagi bila melihat kecenderungan korban bullying yang tertutup untuk menceritakan masalahnya pada orang lain.

Mengikis bullying dalam lingkungan sekolah, berarti mengikis terjadinya kekerasan di masa depan. Kiranya bukan hanya guru yang bertugas menyelesaikannya. Ini tugas kita bersama!

*Restu Nur Wahyudin, Guru bahasa Indonesia di sekolah berbasis budi pekerti, SMP Islam Dian Didaktika Depok.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar