*Tulisan saya dimuat dalam harian Pelita, 6 April 2015.
Sumber gambar: creativeedu.com
Di tengah berbagai hiruk-pikuk persoalan, negeri ini kerap dituntut
untuk mengikuti persaingan global. Pendidikan diagungkan sebagai solusi
jitu untuk merealisasikannya. Berbagai gagasan mengenai pendidikan
mengeruak setiap pergantian pemimpin negara. Pemangku kebijakan silih
berganti menawarkan konsep pendidikan, lengkap dengan argumentasinya.
Ditujulah negara-negara rujukan pendidikan. Menganggap bahwa kita bisa
serupa perkembangannya. Mencetak insan yang mampu bersaing dan mengikuti
perkembangan zaman.
Akhirnya, diadopsilah sejumlah konsep
pendidikan. Seakan tergesa, kurikulum pendidikan diperbaharui. Dalam
waktu yang singkat, guru dituntut untuk menerapkan kurikulum yang baru.
Dampak utamanya, tertuju pada siswa yang harus mampu menyesuaikan
perubahan tersebut. Beruntung pada akhirnya pemerintah memutuskan
penerapan kurikulum ditunda sampai pada kondisi yang matang.
Menelisik
jauh ke belakang, kabut gelap tampak menutupi pendidikan kita.
Pemerintah menerapkan standarisasi kelulusan siswa melalui ujian
nasional. Agar lulus jenjang pendidikan formal, siswa dituntut untuk
mampu menyelesaikan soal ujian nasional dengan nilai yang telah
ditetapkan. Tentu hal tersebut mengubur harapan siswa yang berpotensi di
bidang nonakademik. Lebihnya, aroma pragmatisme pendidikan kian
mengeruak. Hasil akhir seakan menjadi kuasa segalanya, tak pandang
sejauh nikmatnya menjalani proses pendidikan. Beruntung juga kini ujian
nasional tidak menjadi syarat utama kelulusan.
Bahagia Berproses
Melakukan
persaingan agar seiring dengan zaman tentu penting, namun kita juga
harus memaknai sejauh mana siswa merasa nyaman pada kondisi tersebut.
Apakah mereka belajar dengan hati bahagia? Pagi-pagi siswa pergi
bersekolah dengan bersemangat dan pulang dengan membawa sejumput makna
kehidupan. Kemudian mereka berkata seraya tersenyum pada orang tua
mereka, “esok aku akan terus belajar dan menikmati proses mengejar
cita-citaku!”
Bilamana melihat sejumlah kasus yang
terjadi, rasanya kebahagiaan menikmati pendidikan di negeri ini masih
belum terasa oleh semua. Kita kiranya bersedih, ketika mendengar berita
siswi gantung diri, diduga karena takut tak lulus ujian nasional(Tribunnews.com, 8/5/2014). Atau berita mahasiswa bunuh diri ditenggarai karena susah menyelesaikan skripsi(Tribunnews.com, 3/12/2014).
Ketika
nalar pragmatisme telah mengeruak pada pendidikan kita, maka cenderung
menimbulkan perpecahan. Akan ada yang kalah dan menang. Nilai ibarat
menjadi pagar pembatas diri. Tanpa sadar, betapa di luar pagar tersebut
terdapat ilmu-ilmu yang berserakan. Proses berpendidikan seakan terlupa,
belajar ibarat ketakutan sebab ujung dari segalanya adalah nilai.
Bahagia
dalam proses berpendidikan, kiranya patut menjadi sorotan dalam
pendidikan di Indonesia. Kebahagiaan, setidaknya merupakan cikal bakal
mengeliminasi kehancuran. Begitu ujar A.S. Neill (2007) dalam bukunya
yang berjudul Summerhill School. Lebih jelasnya, ia memaparkan
bahwa anak yang tidak bahagia akan “...berperang dengan dirinya sendiri;
dan konsekuensinya, dia berperang dengan seluruh dunia.”
Kalaulah
siswa terus berada pada posisi tertekan, maka ia akan terus memendam
kebelengguannya. Hal tersebut dipaparkan oleh Murdiati Sulastomo (2015)
bahwa kebahagiaan yang terbelenggu terhadap pendidikan, akan
dilampiaskan pada masa tua secara negatif. Simaklah, kini banyak orang
cerdas yang melakukan tindak kejahatan seperti korupsi.
Secercah Asa
Menciptakan
kebahagiaan dalam pendidikan berarti mengajak siswa mengecap makna pada
setiap proses yang dilaluinya. Kebahagiaan tentu harus kita ciptakan
agar siswa merasa ‘hadir’ dalam dunianya. Siswa tidak menganggap sekolah
sebagai ruang formal kaku, melainkan wahana menyenangkan yang kaya
ilmu. Setidaknya terdapat tiga hal yang bisa jadi asa mencipta
kebahagiaan dalam pendidikan kita.
Pertama, menghargai potensi siswa yang bineka.
Setiap manusia sejatinya terlahir dengan potensi yang beragam.
Pendidikanlah yang menjadi kendaraan untuk mengantarkan potensi tersebut
hingga berbuah prestasi. Apalagi bila menilik kondisi bangsa Indonesia
yang bermacam budaya daerah, tentunya semakin membuka keran kebinekaan
potensi siswa.
Paradigma pendidikan kita kiranya harus menghargai
kebinekaan, bukan lantas menyatupadukan potensi siswa. Kebijakan
standarisasi kelulusan melalui ujian nasional jangan sampai terulang.
Sebab dapat mengikis kebinekaan potensi siswa tersebut.
Bila
ada siswa yang handal bermain gitar, maka biarkanlah ia menikmati
potensinya. Melalui wahana pendidikan sejatinya siswa tersebut didorong
menjadi musisi yang mengharumkan namanya. Bila ada siswa yang gemar
menulis cerita, maka wahana pendidikan kita yang mendorong ia menjadi
penulis handal. Biarkan siswa menikmati potensinya, tanpa ada tekanan
harus lulus ujian nasional dengan sejumlah mata pelajaran. Bilamana itu
terjadi, Indonesia akan kaya insan kreatif yang memajukan bangsa.
Kedua, guru kreatif.
Kebahagiaan siswa akan lahir dari situasi pembelajaran yang nyaman. Di
sinilah peran penting guru sebagai sosok yang berhadapan langsung dengan
siswa. Guru ibarat lentera yang menuntun siswa menuju belantara ilmu
nan luas. Selama apa lentera itu berpijar? Selama kreativitas bersemayam
pada sanubari guru. Bilamana kreativitas itu luntur, maka reduplah
lentera pendidikan tersebut.
Guru yang kreatif, selalu
membaca kondisi objektif siswa. Dalam pikirnya, selalu timbul tanya. Apa
potensi terpendam dalam diri siswa? Sejauh mana hubungan siswa dengan
dunia sosial? Apakah ia merasa nyaman ketika belajar? Atau, apakah ilmu
yang disampaikannya mampu mendekatkan siswa dengan interaksi di sekitar?
Berangkat
dari sejumlah pertanyaan tersebut, guru mengajak siswa memecahkan
bersama. Hingga akhirnya tercipta tindakan menuju kondisi yang dirasa
saling menyenangkan. Sama-sama, suka cita mengasah nalar melalui ilmu
pengetahuan.
Guru yang kreatif, bukan serupa tembok yang
kaku dan tak bisa diruntuhkan. Ia ‘hidup,’ mengutamakan dialog ketika
proses pembelajaran. Mengenalkan siswa betapa ilmu pengetahuan mahaluas,
bukan sebatas deretan angka-angka dalam rapot. Mengajak siswa untuk
terus berinovasi terhadap potensi yang dimilikinya. Bersama,
mengupayakan agar potensi yang dimiliki dapat berguna pada sesama.
Ketiga, adanya ruang kreatif yang majemuk.
Ibarat taman bermain yang memiliki beragam sarana permainan, kita harus
memperkokoh ruang kreatif di sekolah. Manifestasinya bisa dalam bentuk
ekstrakurikuler. Keberadaan ruang kreatif tersebut, untuk mewadahi
potensi siswa yang majemuk. Selain itu, ruang kreatif, bisa mengatasi
kejenuhan siswa yang merasa bahwa belajar hanya sekadar rutinitas di
kelas.
Taruhlah contoh, bila terdapat siswa yang gemar
fotografi, tentu butuh imaji-imaji berupa peristiwa yang tidak sekadar
belajar di kelas. Membentuk ruang formal fotografi, akan mewadahi siswa
yang memiliki kegemaran yang sama. Bertukar gagasan dan mengembangkan
inovasi.
Bilamana pendidikan kita menghendaki ruang
kreatif tersebut diperbanyak, maka akan membuat siswa menikmati proses
memperoleh ilmu di sekolah. Lebih jauhnya, bisa saja siswa yang memiliki
kenyamanan bersama tersebut, akan membuka ruang kreatif di lingkup
masyarakat kelak.
Mengejar ketertinggalan dari negara lain
tentu merupakan suatu keniscayaan, namun jangan sampai kita terperdaya
pada pesatnya persaingan. Terus mengejar arus, hingga lupa mengecap
makna hidup di dunia. Melalui pendidikan, marilah kita berikhtiar
mencetak insan yang merdeka. Insan yang mampu mengecap makna bahagia
melalui potensinya di setiap tempat berpijak.
*Restu Nur Wahyudin, Guru bahasa Indonesia di SMP Islam Dian Didaktika Depok.
0 komentar:
Posting Komentar