Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Menyuburkan Kreativitas Guru

Leave a Comment
*Tulisan ini dimuat dalam koran Harian Pelita, 8 Mei 2017.

Image result for imagination
sumber gambar: gettingsmart.com

Guru merupakan sosok sentral yang berperan dalam laju peradaban. Ia hadir untuk mempersiapkan generasi masa depan. Hari ini di antara kita ada yang menjadi diplomat, astronot, pilot, bahkan presiden. Profesi-profesi yang diemban tersebut, tak lepas dari bimbingan tulus guru kala memetik ilmu.

Bisa saja kita memiliki kurikulum yang canggih, menteri yang cerdas, atau buku pelajaran yang lengkap. Namun, selama konsep pendidikan kita tidak bisa disampaikan guru dengan baik kepada anak, kualitas manusia di negeri ini akan tetap jalan di tempat. Sebab, gurulah sosok terdepan yang langsung berhadapan dengan anak dalam ruang pendidikan.

Bila melihat kondisi zaman kekinian, ada tantangan tersendiri bagi guru untuk terus mengembangkan kualitasnya. Kita menghadapi dunia tak bersekat yang arus informasi dan teknologinya melesat begitu tinggi. Kita bisa tahu kondisi setiap negara dalam hitungan detik lewat dunia maya. Persaingan individu bukan lagi berada dalam sektor desa dan provinsi, melainkan terbuka peluang lintas negara. Hal ini mengubah cara pandang orang dalam berpikir, bekerja, dan berjejaring.

Sayangnya, kualitas anak didik kita yang notabene produk pendidikan masih belum memuaskan jika dibandingkan negara lain. Sebagai gambaran, berdasarkan hasil tes dan survei Programme for International Students Assessment (PISA) tahun 2015, rerata skor pencapaian anak didik Indonesia untuk aspek sains, membaca, dan matematika berada di peringkat 62, 61, dan 63 dari 69 negara yang dievaluasi. Vietnam dan Thailand berada di atas kita sedangkan Singapura menempati urutan pertama dari setiap aspek.

Terbesit kecemasan menyangkut masa depan negara kita bila kualitas produk pendidikannya saja masih kalah dibanding negara tetangga. Jangan sampai negara yang kaya akan sumber daya alam dan masyarakatnya bahagia ini kelak jadi fatamorgana untuk anak cucu kita.

Langkah bijak kiranya bila fokus meningkatkan kualitas guru-guru di Indonesia. Meskipun begitu, kita juga harus siap menghadapi problem guru yang dilematik. Faktor kesenjangan pendidikan dan kesejahteraan masih jadi momok dalam lingkup kerja guru. Di satu sisi harus berkembang, tapi di sisi lainnya guru harus menyelesaikan kebutuhan domestik.

Menyangkut gaji misalnya, berdasarkan laporan Education Efficiency Index (dalam Tirto.id, 5/10/2016) Indonesia masih menempati urutan buncit dari 30 negara yang disurvei. Gaji rerata guru di Indonesia yakni senilai $2.830 atau Rp39 juta per tahun. Berbanding terbalik dengan gaji guru di Swiss yang menempati urutan tertinggi dengan nilai rerata $68.000 atau sekitar Rp950 juta per tahun. Angka ini lebih tinggi daripada gaji rata-rata kelas menengah di Swiss.

Sementara itu, kesenjangan pendidikan antara desa dan kota juga berpengaruh pada kualitas guru di Indonesia. Guru-guru di perkotaan yang memperoleh kemudahan akses penunjang pembelajaran tentu kualitasnya berbeda dengan guru-guru di perdesaan yang memiliki sejumlah keterbatasan sarana pendidikan.

Kreativitas
Sepintas rasanya berat bila mengharapkan guru berkembang di tengah keterbatasan. Namun, optimisme selalu menyala sebab guru memiliki bekal ketulusan dalam langgam kerjanya. Bekal tersebut akan kian padu jika ditambah dengan satu keahlian yang tengah hangat pada era milenial ini: kreativitas.

Bila melihat dari sudut pandang yang lain, keterbatasan bisa menjadi panggilan untuk berkembang. Wahyu Aditya dalam bukunya “Sila ke-6: Kreatif Sampai Mati” menyatakan bahwa keterbatasan adalah lahan subur tumbuhnya benih-benih kreativitas. Keterbatasan melahirkan tantangan, melatih reaksi untuk otot-otot kreatif. Membuat kita terpantik menciptakan hal-hal yang baru.

Kreativitas bisa kita artikan sebagai kemampuan mengolah gagasan menjadi sesuatu yang bernilai. Produk dari kreativitas bisa berupa materi atau program. Modal utama kreativitas bukanlah materi, melainkan gagasan.

Kreativitas saat ini tengah gandrung diperbincangkan. Apalagi bila melihat kondisi zaman kekinian yang arus informasinya terbuka selebar-lebarnya. Sebuah habitat tempat bersemayam gagasan yang menanti untuk kita olah.

Kita bisa melihat ledakan kreativitas dalam sektor ekonomi saat ini kala pelaku industri kreatif silih bermunculan menawarkan olah kreasinya pada masyarakat. Bila spirit tersebut tertular dalam sosok guru, maka pendidikan kita akan segar. Bertabur gagasan yang bisa diterapkan bagi peserta didik.

Guru kreatif akan memanfaatkan informasi yang beterbaran sebagai modal untuk menyelesaikan masalah dalam pembelajaran. Ia mengolah dan memadukannya dengan kebutuhan objektif anak didik. Manifestasi dari proses ini bisa berupa produk media atau metode pembelajaran yang mampu meningkatkan kualitas anak didik di sekolah.

Guru kreatif juga selalu berupaya untuk menciptakan terobosan di sekolah. Baginya, praktik pendidikan bukanlah suatu hal yang kaku, tapi bisa hidup bila terus dikembangkan. Ia mendengar keluh kesah anak didik, mencari cara agar ilmu bisa sampai sesuai bakat anak yang majemuk. Ada semacam kelegaan emosional bila buah kreativitas dapat bermanfaat untuk pembaharuan.

Menyuburkan Kreativitas
Paradigma kreatif akan selalu tumbuh dalam jiwa guru yang senantiasa ingin belajar. Kreativitas akan luntur jika guru berada pada zona nyaman. Setidaknya terdapat empat upaya yang dapat menyuburkan kreativitas guru.

Pertama, berkumpul dalam komunitas. Ide kreatif dapat lahir dari proses silang gagasan antar individu. Ruang yang bisa mewadahi hal tersebut yakni komunitas. Guru bisa membentuk komunitas sesuai kesamaan tujuan dan kegemaran. Ruang kolektif ini dapat membuat semangat belajar guru terjaga sebab antarindividu dapat saling menguatkan.

Kedua, menonton film edukatif. Selain melepas kejenuhan, menonton film dapat memperkaya imajinasi. Guru bisa memperoleh inspirasi dari tokoh maupun jalan cerita dalam film. Film School of Rock dan Freedom Writers dapat menjadi rekomendasi tontonan menarik bagi guru.

Dari film School of Rock, kita bisa memperoleh inspirasi dari Dewey Finn, seorang musisi amatir yang beralih profesi jadi guru. Ia mampu mengubah suasana kelas yang asalnya kaku menjadi dinamis melalui proyek band siswa. Sementara itu, pada film Freedom Writers kita dapat belajar pada tokoh guru bernama Ellen Gruwell yang mampu mengubah siswa-siswa rasial menjadi toleran melalui metode menulis catatan harian.

Ketiga, membaca buku inspiratif. Membaca membuat kita mengerti betapa alam pikiran itu mahakaya. Dengan membaca, guru dapat merefleksikan setiap cuplikan peristiwa yang ada dalam buku. Semakin banyak guru menyerap pengetahuan dalam buku, semakin menambah modal untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam pembelajaran.

Dalam konteks pendidikan, novel Totto Chan: Gadis Cilik di Jendela bisa jadi rujukan bacaan menarik. Kita dapat memahami cara memandang dunia yang penuh dengan kebahagiaan dari sudut pandang anak. Guru juga bisa belajar tentang pendidikan karakter dan aneka metode belajar kreatif di sekolah tempat Totto Chan belajar, yakni Tomoe Gakuen.

Keempat, berkolaborasi. Kadangkala ide kreatif gagal terlaksana karena kita beranggapan kurang sanggup untuk merealisasikannya. Dengan berkolaborasi, guru dapat bekerja sama untuk melahirkan karya kreatif. Kolaborasi juga dapat memperkuat kualitas ide yang dihasilkan.

Misalnya, guru matematika berkolaborasi dengan guru musik untuk menciptakan lagu yang syairnya berisi rumus-rumus matematika. Guru seni rupa dan guru ekonomi menggagas lelang amal karya-karya seni siswa. Atau guru bahasa dan guru sejarah berkolaborasi mengonsep wisata literasi bangunan-bangunan bersejarah yang dijadikan latar pada sebuah novel.

Selama kreativitas bersemayam dalam diri guru, selama itu kita bisa menaruh harapan untuk pendidikan anak-anak zaman. Mari kita siram dan pupuki, agar benih kreativitas ini tumbuh subur dan lestari.

Restu Nur Wahyudin, Mengajar di Sekolah Islam Dian Didaktika. Juru program Komunitas Guru Membaca Depok.


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar