Tiap lima menit pada
awal pembelajaran, saya memberikan tantangan untuk anak-anak berupa proyek
menulis diary. Proyek ini jadi ruang untuk mengekspresikan pengalaman,
unek-unek, dan harapan anak-anak.
Agar dapat memantik
anak menulis, saya berikan batas minimal tiga kalimat. Isinya berupa cerita
akivitas anak pada hari sebelumnya dan harapan untuk hari ini. Untuk menjaga
komitmen, si saya juga ikut nulis diary bersama-sama.
Eh iya, bagi anak-anak
yang suka gambar, saya arahkan untuk buat ilustrasi atau komik di bawah tulisan
hariannya.
Kita kadang lebih mudah
untuk bercerita secara lisan, tapi bingung kalau diminta untuk menuliskannya.
Nah, dengan proyek diary ini saya berharap bisa mengubah pola pikir itu.
Menulis bisa mengalir seperti kita berbicara. Caranya hanya perlu dibiasakan.
Bila kita rajin
mencatat momen keseharian, tentu akan berguna kelak. Setidaknya, jika melakukan
keputusan yang salah dalam hidup, tulisan bisa jadi pengingat bagi kita untuk
tidak mengulangi kesalahan tersebut.
Lebih jauhnya, catatan
harian kelak bisa membuka nurani pembacanya. Anne Frank ketika menulis catatan
hariannya mungkin tidak berpikir jika tulisannya bisa mengingatkan kita hingga
kini tentang pembantaian ras yang dilakukan Nazi.
Kita barangkali takkan
tahu kisah heroik-melankolik Soe Hok Gie jika ia tidak menuliskan kisah
hidupnya. Kita juga bisa tahu murid-murid Bu Guru Ellen Gruwell yang awalnya
rasial menjadi toleran dan inspiratif dengan menulis catatan harian.
Jadi, kita lihat sejauh
mana proyek ini akan terus berjalan. Selamat menulis dan bergembira.
Catatan: Di foto
anak-anak berpose bersama buku diary-nya.
Kreatif, kang. Izin nyoba di sekolah ya :)
BalasHapusMangga. Terima kasih ya.
Hapus