
“Sampai saat tanah moyangku..Tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota..Terlihat murung wajah pribumi…” nyanyi pengamen dengan suara yang lembut. Saya seakan masuk ke dalam lagu tersebut, sembari memandang alam di depan mata yang sudah mulai terusik keperawanannya.
***
Pagi ini seperti biasa. Di beranda rumah, Saya membaca Koran ditemani secangkir kopi dengan sedikit gula. Dalam halaman pembuka Koran tersebut terdapat salah satu wacana berita dengan judul “Pohon”. Awalnya saya tidak tertarik dengan wacana berita tersebut, karena judulnya terkesan kurang provokatif. Maklum, pada waktu itu orang sibuk memperbincangkan kasus testimoni salah satu pejabat tinggi Negara, sehingga saya pun lebih tertarik dengan berita politik.
Namun setelah saya baca perlahan, ternyata isi berita tersebut menyangkut rencana pembangunan wisata berkuda yang letaknya tidak jauh dari tempat dimana saya tinggal bersama keluarga. Jelas saja berita ini membuat hati saya geram, hingga menumpahkan gelas yang dipenuhi oleh air kopi hangat.
“Pak, lihat. Lagi-lagi koran memberitakan mengenai pembangunan di kawasan tempat tinggal kita” Saya memberi tahu bapak yang saat itu sedang sibuk menyirami bunga-bunga yang tumbuh di halaman.
“Ada apa sih sim, Itu kan sudah biasa” jawab Bapak dengan nada dingin sambil menghisap rokok.
“Ah bapak, saya serius. Kali ini beritanya berbeda, Pak” Saya memberikan lembaran Koran tersebut kepada Bapak.
“Hah. Ini kan letaknya tidak jauh dari rumah kita” Saya mengangguk dan berusaha meyakinkan
“Saya aneh Pak, ko lagi-lagi bisa diizinkan pembangunan di daerah pegunungan” Bapak menghela nafas lantas tertawa sinis.
“Negara kita ini ditempatkan di posisi ke 102 dari 149 negara yang masuk kedalam peringkat Negara terhijau dunia yang dilakukan pusat kebijakan hukum dan lingkungan Universitas Yale dan Pusat Jaringan Informasi Ilmu Bumi Universitas Columbia Amrik” Bapak mengusap muka, menegaskan, “Pemeringkatan itu dilakukan berdasarkan 25 kategori data mulai dari emisi karbon, kondisi hutan, hingga kualitas air. 70% wilayah Indonesia kini keadaan alamnya butuh reboisasi”
“Tapi Pak, kenapa tidak ada upaya dari pemerintah untuk menjaga kelestarian alam di Indonesia, apalagi ini menyangkut tempat tinggal kita?”
“Sebenarnya pemerintah sudah membuat undang-undang mengenai tata letak bangunan, tapi masih aja banyak yang bandel” Bapak menjawab dengan santai. “Makanya baca berita jangan tentang gosip saja, coba kamu fokuskan baca berita tentang lingkungan sosial” canda Bapak walau terkesan hambar.
“Ahh..Bapak bisa saja” Saya tersenyum berusaha menghargai,“kesalahan ini harus dirubah, Pak” ujar Saya kepada Bapak.
“Ya sudah. Baca lebih lanjut isi beritanya, Bapak mau mandi dulu” Saya mengangguk. Bapak masuk ke dalam rumah.
Saya melanjutkan membaca wacana berita Koran tersebut hingga akhir. Sejenak Saya berfikir, benar adanya kata bapak. Kawasan tempat tinggal Saya digadang-gadang oleh pemerintah sebagai salahsatu kawasan hijau. Namun jika melihat kenyataannya, saat ini justru mulai terusik dengan adanya pembangunan. Ditambah dengan rencana pembangunan wisata berkuda yang luas lahannya mencapai 19,5 hektare. Tanaman yang terdapat di lahan tersebut umumnya ditanam sejak tahun 1972, 1994, dan 1986.
Apabila rencana pembangunan wisata berkuda tersebut jadi dibangun, bukanlah peristiwa yang pertama kali terjadi di kawasan tempat tinggal saya. Pencrut misalnya, kawasan yang dulunya dipenuhi oleh pepohonan, kini berubah menjadi kavlingan villa di atas gunung. Ataupula lahan di sekitar observatorium boscha yang sudah mulai beralih fungsi menjadi lahan untuk menetap. Lalu jangan lupakan nasib beberapa mata air di sekitar tempat tinggal Saya yang konon mulai mengering.
***
“Sim, daritadi Ibu lihat kamu melamun saja” suara Ibu mengagetkan lamunan saya.
“Aduh, Ibu mengagetkan Saya saja” Rupanya Ibu daritadi memerhatikan Saya di ujung pintu.
“Cukup lama kamu melamun, emang ada masalah apa sih sim. putus cinta lagi ya?” tanya Ibu sambil bercanda.
“Bukan Ibu. Saya daritadi membayangkan apa jadinya jika kawasan tempat tinggal kita ini jadi kota ya Bu” Ibu tersenyum.
“Itu tugas kamu kedepannya kelak. Ibu sengaja menyekolahkanmu agar bisa berfikir yang jernih” Ibu berujar dengan wajah serius. “syukur kamu sekarang sudah sadar” tegasnya
Di sana Ibu menjelaskan, Hal ini disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang masih awam tentang aturan, Pun tidak terlepas akan masalah kemiskinan dan pengangguran. Pembangun umumnya mengiming-imingi sumber pekerjaan dan lahan untuk digarap secara umum, sehingga menjadi doktrin tersendiri bagi masyarakat. Akibatnya, satu demi satu pohon ditebang untuk dijadikan villa, resort ataupun hotel.
“Memang kesejahteraan masyarakatnya bisa dikatakan meningkat, namun bersemaan dengan itu pulalah rusaknya ekosistem alam di sekitar tempat tersebut”
“Jadi begini saja, jika pembangunan di Indonesia dihentikan, lantas apa jadinya dengan nasib para pengangguran nantinya?” Saya tertegun sejenak.
“Kan bisa mencari lapangan kerja baru, Bu. Yang intinya tidak merusak ekosistem alam” saya menjawab pertanyaan Ibu.
“Itu jawaban yang baik. Namun tetap saja tidak semudah membalikan telapak tangan sim”
“Lantas harus bagaimana, Bu?”
”Sudah menjadi kelayakan bagi kita sebagai bangsa Indonesia untuk bersikap kritis dan selektif jika terjadi proses pembangunan, jangan sampai pembangunan itu hanya menguntungkan segelintir individu saja, tetapi juga harus menyeimbangkan dengan lingkungan alam di sekitarnya”.
“Apakah itu artinya sikap cinta terhadap tanah air dalam diri Bangsa Indonesia sudah mulai pudar Bu? Atau kinerja pemerintah yang buruk dalam menangani masalah lingkungan alam?”.
Tak sempat Ibu menjawab. Tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan seorang pengamen. Raut wajahnya kisut. Baju yang dipakainya tampak kumal. Tanpa diminta, jemarinya dengan sigap langsung memetik gitar, selang kemudian ia menyanyikan sebuah lagu yang Saya tahu judulnya ujung aspal pondok gede.
“Sampai saat tanah moyangku..Tersentuh sebuah rencana dari serakahnya kota..Terlihat murung wajah pribumi…” nyanyi pengamen dengan suara yang lembut. Saya seakan masuk ke dalam lagu tersebut, sembari memandang alam di depan mata yang sudah mulai terusik keperawanannya.
Restu Nur Wahyudin. Lahir di Bandung, 19 Mei 1991. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia. Aktif mengkaji berbagai masalah sosial di Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar