Pernahkan pembaca melihat gambar dua buah gunung. Terbitlah matahari
di antara dua gunung tersebut—bersama kawanan burung yang wujudnya
serupa huruf ‘w’ terbalik. Di bawah gunung terbentang jalan. Sawah-sawah
berbentuk ‘v’ mengitarinya. Samping kanan jalan teronggok sebuah rumah.
Atau
beberapa di antara kita pernah membaca sebuah karangan. Judulnya,
“Berlibur ke Rumah Nenek.” Biasanya pada paragraf pertama karangan
tersebut diawali oleh klausa, “Pada suatu hari..”
Dua
bentuk hasil penciptaan tersebut kiranya tidak asing bagi kita. Biasanya
muncul saat guru memberikan tugas pada anak untuk menggambar dan
mengarang cerita. Setiap karya tentu harus diapresiasi, sebab karya
merupakan hasil olah imajinasi terhadap peristiwa atau objek yang
terekam dalam nalar.
Persoalan muncul bila setiap
kesempatan, anak mencipta karya yang itu-itu saja. Gambar dua gunung dan
karangan “Berlibur ke Rumah Nenek” adalah contoh dari persoalan
tersebut. Kondisi ini, umumnya terjadi karena adanya tekanan dari
lingkungan sekitar terhadap kebebasan berekspresi anak. Alih-alih takut
mengkreasikan dan merasionalisasikan imajinasinya, anak akhirnya
mencipta bentuk yang telah lama dikenalnya. Bentuk yang dianggap sebagai
kebenaran hakiki dari nalar lingkungannya.
Imajinasi
adalah karunia ilahi yang dimiliki oleh semua insan manusia. Ibarat
kawah candradimuka nan berharga, imajinasi sangat potensial untuk
dikembangkan. Melalui imajinasi, anak mencoba memaknai diri dan
kehidupannya. Imajinasi bisa timbul dari kesan anak terhadap objek,
peristiwa, dan nilai kehidupan yang dilaluinya. Semakin luas jelajah
imajinasi anak, maka kehidupannya akan semakin dinamis.
Setiap
anak memiliki beragam imajinasi, berdasar dari sejauh mana pemaknaannya
terhadap peristiwa dan objek. Tak bisa kita paksakan imajinasi anak
sesuai dengan apa yang kita kehendaki. Tugas kita adalah memerdekakan
imajinasi anak, dengan keimanan sebagai akar pikirnya. Sebab dengan
keimananlah anak bisa paham nilai-nilai kehidupan.
Kita
juga harus menggiring agar anak berpikir estetis. Maksudnya, anak secara
mandiri dapat memastikan bahwa makna imajinasinya benar-benar
tersampaikan pada karya yang akan dinikmati oleh pengapresiasi.
Saat
pembelajaran menulis karangan misalnya, penulis hanya menggiring agar
anak paham bentuk karangan. Penulis tidak memberikan tema spesifik
mengenai isi karangan. Penulis cukup memberikan stimulus berupa
pertanyaan-pertanyaan yang bisa merangsang imajinasi anak saat hendak
menulis. Seperti, “Menurutmu, karangan yang menarik itu seperti apa?
Bayangkan jika kamu tokoh utama dalam karangan tersebut. Dapatkah kamu
menuliskannya?”
Hasilnya isi karya anak jadi beragam.
Bahkan, karya sejumlah anak dimuat di media cetak, seperti Kompas,
Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat dan Riau Pos.
Mengembangkan
imajinasi anak merupakan upaya bersama, baik guru maupun keluarga.
Setidaknya terdapat tiga cara yang dapat menyemai benih imajinasi anak.
Pertama, perbanyak interaksi dialogis anak dengan sebayanya.
Melalui interaksi dialogis, anak akan bertukar cerita dengan sebayanya.
Hal ini akan melatih daya nalar anak saat membayangkan cerita yang
disampaikan oleh teman sebayanya. Berinteraksi dengan teman sebaya juga
dapat menciptakan pengalaman-pengalaman tak terlupa bagi anak. Bekal
yang berguna bagi imajinasi anak.
Kedua, lakukan perjalanan keluarga.
Upaya ini dilakukan agar menghindari kejenuhan dalam diri anak. Daya
imajinasi anak akan bertambah sebab menemukan objek-objek yang dirasa
baru baginya. Usahakan terjadi pertukaran dialog antara orang tua dan
anak saat mengenalkan objek atau cerita sejarah yang berhubungan dengan
tempat yang disinggahi.
Ketiga, selalu mengapresiasi hasil karya anak.
Adanya apresiasi berupa pujian dari orang tua terhadap hasil karya,
dapat meningkatkan motivasi untuk mengembangkan imajinasi anak. Upayakan
juga anak menceritakan alasan membuat karya tersebut. Hal ini bertujuan
agar anak semakin terasah merasionalisasikan imajinasinya.
Menyemai
benih inspirasi anak adalah upaya bersama. Ikhtiar agar kelak imajinasi
dapat tumbuh, subur, dan berbuah menjadi karya yang berdaya untuk
semesta.
*Restu Nur Wahyudin. Guru Bahasa Indonesia SMP Islam Dian Didaktika Depok.
You really make it seem so easy with your presentation but I to find this matter to be really something which I believe I would by no means understand. It sort of feels too complex and extremely broad for me. I'm looking ahead on your next put up, I will try to get the hang of it! gmail log in
BalasHapus