Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Ironi (Produk) Pendidikan Kita

Leave a Comment

Dimuat di Harian Inilah Koran, 16 Januari 2013.



Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membatalkan Pasal 50 Ayat 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Pasal yang mengatur Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di bawah sekolah pemerintah itu dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Keputusan MK tersebut patut kita apresiasi, terlebih pendidikan Indonesia bukan bersifat diskriminatif.
 
Sebagaimana yang diresahkan oleh berbagai kalangan pendidikan, alasan logis MK menghapus RSBI adalah biaya yang mahal RSBI mengakibatkan adanya diskriminasi pendidikan. Selain itu, pembedaan antara RSBI dan non-RSBI menimbulkan adanya kastanisasi dalam dunia pendidikan. Istilah Internasional pun dinilai dapat mengikis budaya dan bahasa Indonesia.

Dibatalkannya RSBI, menambah catatan produk kebijakan pendidikan indonesia yang sebelumnya digugat oleh publik kepada MK. UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) misalnya, dicabut MK pada 2010 dengan alasan mengindikasikan pelepasan tanggung jawab negara terhadap pendidikan tinggi. Belum lagi, bila menilik sejumlah kebijakan kontroversial semisal Pendidikan Profesi Guru (PPG) bagi lulusan kependidikan, Otonomi nonakademik dalam UU Pendidikan Tinggi (PT), dan yang baru-baru senter tentang pengintegrasian sejumlah mata pelajaran dalam Kurikulum 2013.

Maka, menjadi hal yang wajar bila kita mempertanyakan apakah berbagai produk kebijakan pendidikan tersebut didasari atas kebutuhan atau hanya semata tuntutan. Bila produk kebijakan pendidikan yang dilahirkan pemerintah menyentuh jantung persoalan pendidikan di Indonesia, tentu tidak menimbulkan gelombang penolakan dari berbagai kalangan.

Mengurai benang kusut
Ibarat mengurai benang kusut, banyaknya persoalan pendidikan di Indonesia harus diselesaikan dengan solusi yang tepat. Alih-alih menyelesaikan masalah, solusi yang salah dapat membuat problem pendidikan semakin kusut. Jangan dulu kita bicara masalah proses pembelajaran di kelas. Untuk sekadar mengecap jenjang pendidikan formal pun, partisipasi masyarakat masih dikatakan minim.

Survei firma pendidikan Pearson menunjukkan sistem pendidikan Indonesia terendah di dunia bersama Brasil dan Meksiko. Pada kelompok anak usia sekolah, sedikitnya setengah juta anak usia SD dan 200.000 anak usia SMP tidak dapat melanjutkan pendidikan. Tingginya jumlah anak putus sekolah ini juga turut menjadi faktor rendahnya Education Development Index Indonesia, yakni peringkat ke-69 dari 127 negara (Kompas, 27/12).

Memang, bukan peringkat internasional yang kita kejar, namun sejatinya deretan angka tersebut menjadi catatan penting untuk memetakan masalah pendidikan di Indonesia. Wajar saja, ketika lahir produk kebijakan pendidikan yang kian mengeliminasi kesempatan masyarakat bersekolah dapat menimbulkan gelombang kritik yang dahsyat.

Untuk semua kalangan
Pendidikan yang dapat diakses oleh semua kalangan, demikian hasrat yang dimiliki masyarakat. Untuk apa berlabel internasional bila kursi-kursi sekolah hanya diduduki oleh golongan menengah ke atas. Untuk apa pula diberi otonomi khusus bagi lembaga pendidikan, bila nyatanya digunakan sebagai alat untuk menetapkan biaya masuk yang mahal.

Pendidikan yang diskriminatif hanya akan berujung pada logika kompetitif yang saling mengeliminasi. Label internasional kerap menjadi iming-iming untuk bersaing di tataran global. Lulusan sekolah berlabel internasional mungkin akan lebih mudah membuka jalan masa depan ketimbang lulusan sekolah di pedalaman. Mungkin pula kelak lulusan sekolah berlabel internasional akan semakin mudah memiliki tenaga produksi, sementara lulusan sekolah di pedalaman pada akhirnya akan menjadi tenaga kerja murah dari produksi tersebut.

Kita sangat membutuhkan pendidikan yang menciptakan solidaritas sosial. Tak ada dikotomi internasional ataupun lokal. Seluruh lembaga pendidikan baik di daerah perkotaan maupun pedalaman memiliki hak yang sama. Bila terjadi kondisi demikian, lulusan dari pendidikan pun diarahkan untuk pembangunan Indonesia yang bersifat konstruktif. Tak perlu kita datangkan pemodal asing untuk mengelola industri pertambangan, sebab kelak lulusan pendidikan Indonesia mampu mengembangkannya. Tak perlu pula kita mengimpor kebutuhan pokok dari asing, sebab kelak lulusan pendidikan Indonesia mampu menciptakan kebutuhan pokok tersebut.

Dibatalkannya RSBI, patut menjadi catatan kritis terhadap pemerintah. Bahwa segala produk kebijakan pendidikan sejatinya harus berdasar pada kebutuhan yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Bukan justru sekadar tuntutan gengsi atau persaingan global.

*Restu Nur Wahyudin, Pegiat Pendidikan Kritis, Ketua UKM Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) Universitas Pendidikan Indonesia.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar