Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Strategi Menapaki Perguruan Tinggi

Leave a Comment

<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE

Opini Radar Bandung

Sabtu, 20 Agustus 2011

Kuliah di era kekinian memang seakan menjadi barang berharga. Paradigma perguruan tinggi sebagai eskalator sosial kiranya mulai tertanam dalam nalar rakyat Indonesia. Meskipun tidak dapat dimungkiri, biaya menjadi salah satu penghambat pemuda untuk dapat berkuliah.

Data mencatat, beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan minat masyarakat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dari SMA dan sederajatnya. Berdasarkan data Kementrian Pendidikan Nasional, pada tahun ajaran 2006/2007 jumlah pendaftar perguruan tinggi jenjang S1 mencapai 1.133.005 orang, angka tersebut meningkat menjadi 2.004.658 orang pada tahun ajaran 2009/2010.

Kondisi demikian didukung oleh banyaknya perguruan tinggi yang menawarkan keunggulan-keunggulan untuk dapat menarik minat pendaftar. Dari mulai perguruan tinggi yang berpredikat world class, sampai perguruan tinggi swasta yang menawarkan kemudahan bekerja bagi para lulusannya.

Akan tetapi, meningkatnya peminat perguruan tinggi, sejalan dengan banyaknya lulusan perguruan tinggi yang tidak bekerja. Pada tahun 2005, penganggur lulusan D3 mencapai 322.836 orang, kemudian meningkat menjadi 486.000 orang pada 2009. Pada tahun 2005, angka penganggur lulusan S1 mencapai 385.418, dan melonjak menjadi 626.000 orang pada 2009 (Kemennakertrans, 2010).

Meningkatnya pengangguran lulusan perguruan tinggi, menunjukan bahwa gelar akademik tidak menjamin mendapatkan pekerjaan. Artinya, perlu strategi yang harus dikembangkan oleh mahasiswa agar dapat aktif bergerak di kampus dan berhasil setelah lulus.

Strategi mahasiswa

Pertama, meningkatkan kemandirian. Peran mahasiswa sebagai agen of change, pada praktiknya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selain tantangan akademik, mahasiswa dihadapkan tantangan menyelesaikan permasalahan sosial semisal pendidikan dan lapangan pekerjaan. Maka untuk menyelesaikan permasalahan tersebut diperlukan kemandirian dalam diri mahasiswa. Kemandirian diartikan memiliki prinsip berdiri sendiri, berani bertindak, dan sanggup menanggung risiko.

Kedua, memanfaatkan pergaulan kampus. Interaksi kampus memiliki kecenderungan multikultur, individu di dalamnya memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Agar menjadi mahasiswa yang disukai banyak orang, sejatinya harus hidup ditengah-tengah individu, tidak lantas tebang-pilih dalam pergaulan. Hal ini menjadi peluang bagi mahasiswa untuk berbagi pemikiran, bersilang pendapat, dan bertukar pengalaman agar dapat merencanakan masa depan.

Ketiga, mengikuti organisasi mahasiswa. Peran organisasi mahasiswa sangat penting khususnya untuk meningkatkan prestasi nonakademik. Berorganisasi dapat mengajarkan mahasiswa untuk menyalurkan pemikiran, pendapat, dan meningkatkan kepekaan terhadap kondisi sosial.

Keempat, mengembangkan keterampilan kreatif. Keterampilan mahasiswa bukanlah semata keterampilan akademik saja, agar dapat menjadi mahasiswa unggul, tentunya perlu memiliki keterampilan kreatif.

Menulis merupakan salah satu keterampilan yang layak dikembangkan. Melalui keterampilan menulis, mahasiswa dapat menyalurkan gagasan intelektualnya ke media massa agar dapat diketahui publik. Soe Hok Gie dan Taufik Ismail, merupakan beberapa tokoh besar Indonesia yang aktif menulis di media massa saat menjadi mahasiswa.

Kelima, meraih beasiswa. Saat ini, banyak instansi/ lembaga pemerintah maupun swasta, menyediakan bantuan dana belajar bagi mahasiswa yang memiliki prestasi akademik dan nonakedemik. Beasiswa dapat dikatakan solusi meminimalisir beban mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi.

Keenam, peduli terhadap kondisi masyarakat. Pada akhirnya mahasiswa akan kembali ke dalam masyarakat, sehingga keilmuan yang diperoleh dalam perkuliahan dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan permasalahan sosial. Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, tumbangnya orde lama tahun 1966, reformasi tahun 1998, dan maraknya relawan mahasiswa ketika bencana alam menerpa Indonesia akhir-akhir ini, menjadi bukti betapa pentingnya peran mahasiswa dalam menyikapi permasalahan sosial.

Sejatinya menjadi mahasiswa harus dapat memberikan manfaat bagi bangsa dan negara. Bukan untuk memperkaya diri sendiri semata. Sanggupkah mahasiswa baru melakukan hal demikian? Semoga.

Restu Nur Wahyudin. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI Bandung. Kepala Departemen Jaringan Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar