Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Tentang Janji Pemimpin (Kita)

Leave a Comment

Mimbar Akademik Pikiran Rakyat
Kamis, 20 Oktober 2011


Baik buruknya kesejahteraan rakyat, tergambar dari kinerja pemimpinnya. Ketika seorang pemimpin tak mampu mengemban amanat, dampaknya terjadi kesenjangan sosial. Lain hal jika seorang pemimpin yang mampu bekerja sesuai amanat, Ia pasti disegani dan bersinergi dengan rakyat.

Seorang individu yang didaulat menjadi pemimpin di Indonesia, cenderung mengutarakan janji-janji kepada rakyat. Janji menjadi senjata ampuh dalam dinamika pemerintahan di Indonesia.

Rakyat kerap terhanyut oleh utopis manis yang muncul dari mulut pemimpin kita. Lagi dan lagi, terus terjadi. Apalagi tidak sedikit, gelimang rupiah tersalip di antara buai janji. Maka seketika itu nalar terbungkam. Janji bagai naluri penjegal nurani, mereka yang tertindas.

Tipu muslihat
Ada pendapat menarik menyikapi watak seorang pemimpin dari Adolf Hitler dalam bukunya, Mein Kampf, “Jika ketidaksenangan di pihak rakyat mulai meningkat pada satu tingkatan, maka cara yang bisa membantu: kemilau partai harus dibasuh lagi, program diperbaiki, komisi kembali kepada kehidupan, dan tipu muslihat dimulai dari awal lagi”.

Khusus yang terakhir, kiranya cara itulah yang kerap dilakukan oleh kebanyakan pemimpin kita. Melalui kemahiran bertutur kata, mereka mengeluarkan muslihat kepada rakyat. Jika dicermati, janji-janji yang diutarakan oleh pemimpin kita lebih cenderung pada praktik pencitraan dirinya sendiri, bukan benar-benar untuk menyelesaikan masalah rakyat.

Seorang pemimpin yang kerap berjanji, dapat dikatakan sebagai ahli yang pandai memengaruhi orang-orang di sekelilingnya. Menurut Arnold Green (1984) dalam bukunya, What can the Leader do, parameter suatu janji, bisa dilihat dari seberapa besar perubahan positif yang ia lakukan bagi rakyatnya. “Janji adalah langkah awal perubahan, bukan untuk pembodohan” katanya. Singkatnya, ia mengistilahkan pemimpin tanpa perubahan, sebagai “(pemimpin) pendusta”.

Rakyat yang terlanjur memilih para (pemimpin) “pendusta”, umumnya hanya merasakan kesejahteraan semu, terperdaya oleh angan kesenangan semata. Kedepannya? Justru pemimpin dan orang-orang terdekatnya sendiri yang dapat meraih sejahtera, tetapi tidak untuk rakyatnya.

Indikasi tersebut terlihat dari banyaknya pemimpin rakyat yang sibuk memperkaya diri sendiri. Sepanjang tahun 2004-2011, Kementrian Dalam Negeri mencatat sebanyak 158 kepala daerah yang terdiri atas gubernur, bupati, dan wali kota tersangkut korupsi. Sementara itu, sedikitnya 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011.

Sungguh, ironis jika berkaca pada puluhan juta rakyat Indonesia yang terjerembab dalam jurang kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, sampai Maret 2010, jumlah rakyat miskin di Indonesia mencapai 31,02 juta jiwa.

Jelas, dalam konteks ini berdampak pada munculnya kesenjangan sosial di beberapa golongan rakyat. Golongan-golongan tertindas ini merupakan objek utama yang paling merasakan eksploitasi pemimpinnya. Sehingga perjuangan menjadi harga mati untuk melakukan perubahan. Sebut saja golongan proletariat, semisal buruh, tani, sampai insan intelektual, mahasiswa sekalipun yang terbebani oleh mahalnya biaya pendidikan.

Maka tidak berlebihan, jika tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemimpin di Indonesia menurun tajam. Berdasarkan hasil jejak pendapat Lingkar Survei Indonesia (LSI), tahun 2011 citra positif politikus di mata masyarakat melorot drastis, yaitu 23,4 persen. Di kalangan mahasiswa dan alumnus pendidikan tinggi hanya tersisa 18 persen citra positif.

Sosok pemimpin yang mengabdi sepenuh hati, dan memberi bukti bukan hanya janji. Itulah yang menjadi antitesis dari krisis kepemimpinan di Indonesia. Menjadi pemimpin merupakan jalan untuk memberikan manfaat kepada rakyat, tidak lantas menambah problem bagi rakyat.

Sejatinya setiap janji untuk berbakti, mengabdi, patutlah ditepati dan diyakini dengan sepenuh hati. Janji seorang pemimpin rakyat, bukan sekedar diucapkan saja, bukan pula dipendam di hati, tetapi dapat diwujudkan dalam kehidupan bernegara.

Jika janji seorang pemimpin dapat ditepati, sudah jelas rakyat senantiasa patuh pada amanat dan peraturan negara. Rakyat beserta pemimpinnya akan bahu membahu mencapai kesejahteraan yang hakiki. Percayalah!

*Restu Nur Wahyudin. Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia. Kepala Departemen Jaringan Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar