Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Peran Media Massa dan PSSI

Leave a Comment


Dimuat di Harian Jogja
Selasa, 26 Desember 2011
Kekisruhan yang terjadi dalam lembaga sepakbola Indonesia cukup menyisakan luka yang membekas. Bagaimana tidak, sepakbola sebagai pesta rakyat, justru seakan diperalat sebagai lumbung pemasukan bagi para oknum pemangku kebijakan. Prestasi pun kian menjauh ketika lembaga terkait sibuk menyelesaikan konflik yang terjadi.

Promosinya enam klub secara cuma-cuma dalam susunan klasemen Liga Primer Indonesia (LPI), menjadi awal dari kekisruhan. Sistem pengalokasian keuangan bagi klub-klub pun tidak luput menjadi sorotan karena dirasa kecil dan tidak masuk akal. Beberapa klub yang merasa kebijakan tersebut tidak adil, merasa kecewa dan berpaling membentuk liga tandingan bernama Liga Super Indonesia (LSI). Kondisi demikian seakan mengingatkan kita pada kepengurusan PSSI terdahulu, di mana terjadi dualisme liga sepakbola di Indonesia.
Secara hakikat, dualisme liga dalam dunia sepakbola memang tidak ada salahnya, apalagi jika mengemban tugas mulia: sama-sama memajukan sepakbola Indonesia yang sepi prestasi. Tapi secara keprofesionalan jelas tidak berterima, logika sederhananya adalah liga profesional sejatinya dikelola oleh sebuah induk lembaga. Semakin celaka jika tujuan dualisme tersebut adalah hanya untuk komersiil dan disusupi berbagai kepentingan politis.
Bagaimanapun, perlu ada usaha dari semua pihak terkait mengawal persoalan yang melanda sepakbola Indonesia. Di sinilah peran media massa sebagai kontrol sosial (social control) agar tidak dimasuki oleh berbagai kepentingan-kepentingan politik. Sehingga, masyarakat dapat turut andil menentukan sikap dan solusi yang harus dilakukan.
Jika kekisruhan sepakbola Indonesia sudah mengeruak di muka publik, maka akan tercipta sebuah pengawasan besar dan perubahan yang mengakar. Sebagaimana yang dikatakan oleh Thomas B. Taylor dalam bukunya, Social Welfare (1994), ketika kondisi sosial berada dalam seribu kepentingan dan lembaga disusupi kaum-kaum politis, maka media massa menjadi penuntun jalan masyarakat untuk melakukan perubahan.
Independensi media massa dalam menyampaikan informasi, menjadi syarat mutlak demi menyelamatkan masa depan sepakbola Indonesia. Jangan sampai kepentingan-kepentingan politik masuk ke dalam ranah media massa, sehingga berimplikasi mengakibatkan pencitraan dan pemutarbalikan fakta terkait permasalahan PSSI.
Sepakbola bukan alat politik, bukan pula ajang pencitraan. Sepakbola adalah semangat membara, semangat rakyat bersuka cita. Masih ada peluang menyelamatkan sepakbola Indonesia. Percayalah!
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar