‘’Sekolah adalah penjara. Tapi dalam beberapa hal, sekolah lebih kejam ketimbang penjara. Di penjara, misalnya, Anda tidak dipaksa membeli dan membaca buku-buku karangan para sipir atau kepala penjara.’’
Demikian pernyataan Bernard Show dalam Parents and Children kala
menyikapi banyaknya pendidik mendapat penghasilan dari buku karangannya
sendiri yang dijual pada murid-muridnya di Sekolah. Alih-alih enggan
mencari keuntungan di tengah persaingan pasar yang kompetitif, cara
termudah adalah mewajibkan murid untuk membeli buku karya pendidiknya
sendiri. Tak peduli baik buruknya. Peserta didik pun menjadi dilema,
antara membeli atau menolak perintah guru dengan risiko mendapat nilai
akhir yang buruk.Lantas bagaimana bila praktik komersialisasi tersebut
dilakukan di institusi perguruan tinggi? Sudah menjadi rahasia umum, hal
itu masih terjadi dalam dunia perkuliahan.
Berawal dari pengalaman seorang sahabat. Dengan alasan nilai,
mahasiswa diwajibkan membeli buku bidang ilmu perkuliahan karangan
dosennya sendiri. Beruntung bila isi bukunya berkualitas secara ilmiah.
Persoalan muncul ketika isi bukunya sekadar kumpulan kutipan, minim
analisis, dan bahkan tidak menggunakan bahasa yang baik dan benar.
Mahasiswa pun dipaksa menyerap ilmu dangkal tanpa ada analisis mendalam.
Skema Komersialisasi
Tak dapat kita pungkiri bila kondisi dunia perkuliahan sekarang
tengah terjebak dalam kondisi yang cenderung pragmatis. Mahasiswa
dicetak cepat lulus dengan alasan persaingan dunia kerja. Kuliah ibarat
jembatan singkat meraih masa depan. Kesibukan mahasiswa pun banyak
dilakukan di ruang kelas ketimbang bersosialisasi dengan masyarakat.
Segalanya rela dilakukan, demi memuluskan jalan mendapat gelar sarjana.
Akibatnya, banyak mahasiswa yang terjebak dalam pemikiran ‘’praktis’’
seperti ini.
Pola pikir yang lebih mengutamakan nilai ketimbang substansi dari
suatu ilmu pendidikan, kian hinggap dalam benak mahasiswa. Segala
hakikat ilmu pendidikan pun luntur oleh muslihat ingin mendapat nilai
yang tinggi. Dan ketika hal demikian terjadi, maka akan semakin
mempermudah skema komersialisasi kepada mahasiswa.
Dengan jumlah yang banyak dalam lingkungan kampus, mahasiswa seakan
lumbung keuntungan berharga bagi para pelaksana pendidikan. Termasuk
dalam hal ini terbukanya peluang praktik komersialisasi jual buku kepada
mahasiswa. Nilai menjadi senjata ampuh untuk memuluskan praktik
mewajibkan membeli buku dosen. Apalagi ketika praktik tersebut
diterapkan pada mahasiswa yang baru menempuh tingkat pertama
perkuliahan. Tentunya, faktor pendidikan konservatif ala sekolah yang
harus patuh pada guru semakin membuat mahasiswa terperdaya.
Harus Selektif
Padahal lingkungan perkuliahan dapat menjadi wahana
pengimplementasian kebebasan akademik. Mahasiswa memiliki hak untuk
mempertanyakan ilmu-ilmu yang diberikan oleh dosen. Proses silang
pendapat ilmiah pun sejatinya bukan hal mistis yang tidak dapat
dilakukan. Termasuk bila perlu membandingkan isi buku karya dosen dengan
buku karangan para tokoh pendidikan di setiap bidang ilmu.
Terlepas dari sejumlah persoalan tersebut, tidak sedikit buku
karangan dosen yang cukup berkualitas. Sikap selektif dan kritis dalam
diri mahasiswa sejatinya menjadi obat penawar dari praktik
komersialisasi buku yang dilakukan oleh dosen. Mahasiswa harus selektif
bila diwajibkan harus membeli buku karangan dosennya sendiri.
Sebab, mendapatkan suatu ilmu sejatinya tidak sebatas membaca buku
mata kuliah semata. Banyak sekali buku-buku nan kaya akan ilmu yang
menanti untuk dibaca bagi para generasi muda. Memanfaatkan fasilitas
perpustakaan dan mengikuti berbagai diskusi kajian buku dapat berguna
untuk meningkatkan kualitas pemikiran mahasiswa. Aturan tegas dari
pemangku kebijakan pun setidaknya dapat meredam terjadinya praktik
komersialisasi buku dosen dengan bobot yang belum tentu berkualitas.
Bila hal demikian terjadi, para pembaca termasuk dalam hal ini
mahasiswa, terpaksa menjadi korban dari dangkalnya ilmu pengetahuan.
Maka wajar bila kualitas lulusan PT di Indonesia kalah bersaing dengan
lulusan PT di negara asing.
Bukan tidak mungkin, bila kelak mahasiswa terjun dalam dunia
masyarakat dan bekerja di institusi pendidikan, akan menerapkan praktik
komersialisasi jual buku yang pernah dilakukan oleh dosen-dosennya
sendiri. Bila hal demikian terjadi, Tentunya praktik komersialisasi
dalam dunia pendidikan akan sulit dihentikan.
—Restu Nur Wahyudin, Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Ketua UKM Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI.
Sepakat sekali...
BalasHapusiya, teh lis. Jangan sampai komersialisasi menjadi budaya dalam pendidikan kita :)
BalasHapus