Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Gelora di Tengah Utopia

1 comment

Situasinya sama seperti seorang pembalap sepeda yang berada dalam posisi terdepan di etape terakhir Tour de France. Ketika menuju garis finis, ban sepeda yang ia kendarai mengalami gangguan. Ia terpaksa menyisi. Sementara itu, para pembalap sepeda di belakangnya satu per satu mendahuluinya. Sangat ironis: Selamat tinggal baju kuning!

***

Hari ini adalah registrasi mahasiswa baru di kampusku. Hari di mana puluhan ribu tunas muda yang siap berpredikat sebagai mahasiswa. Melewati beberapa fase sulit dalam proses persaingan: Lulus UN dan Lolos SNMPTN.

Ada yang membawa sekompi anggota keluarga, ada pula yang terlihat murung dan sendirian. Akan selalu menarik melihat pemandangan seperti ini: mengingat kembali, saat dua tahun yang lalu kala aku menjadi mahasiswa baru.

Bagi mereka yang mampu, wajahnya tampak ceria, berbinar, dan penuh keriangan. Barangkali sudah terasa lega bisa diterima di universitas yang dia inginkan. Lain hal bagi mereka yang kurang mampu, sangat mudah ditebak secara kasat mata. Lihat saja mereka yang berpakaian lusuh, sikapnya kikuk, dan terlihat cemas. Lebih dari cemas.

Khusus yang terakhir, aku sangat bersimpatik. Bagiku merekalah yang disebut aktor perjuangan pendidikan. Datang dari desa nekat ke kota, membawa uang seadanya, dan berusaha mendobrak tatanan sosial: masuk ke perguruan tinggi.

Aku selalu bersedih jika melihat seseorang yang demikian. Mengapa di zaman yang katanya serba mudah ini, masih ada yang sulit mengakses pendidikan tinggi. Sebagai gambaran, biaya masuk kuliah di kampusku berkisar 10 sampai 20 juta rupiah. Biaya tersebut belum dibandingkan dengan universitas lain yang tak kalah “wah” harganya.

Angka yang tidak sedikit jika dibandingkan penghasilan petani, buruh, dan rakyat miskin kota yang menurut Badan Pusat Statistik, pendapatan rata-rata penduduk Indonesia per bulannya berkisar Rp. 1.068.000. Sangat kontradiktif, bukan?

Maka bukan menjadi hal yang aneh jika banyak mahasiswa baru yang mengajukan penangguhan: tercatat sudah lebih dari 200 mahasiswa. 13 di antaranya adalah mahasiswa di jurusanku. Tentunya faktor ekonomi menjadi halangan.

Sangat ironis, seperti kisah pembalap sepeda. Ketika semangat membara, terganjal oleh kenyataan yang tak berpihak dengan keinginan. Atas dasar nurani, aku beserta beberapa mahasiswa di setiap organisasi kampus, melakukan pedampingan. Meski tidak menjanjikan, tetapi setidaknya harus ada upaya untuk dapat membantu mereka agar dapat berkuliah.

Nurani hati

Melakukan pendampingan, bagiku adalah keharusan. Menyisihkan waktu untuk masa depan tunas bangsa. Melakukan pendataan, memberikan motivasi, dan melobi birokrasi kampus agar mereka bisa berkuliah. Bagiku ini semua merupakan peran konkret mahasiswa di kampus. Sesuatu yang nantinya dapat diaplikasikan dalam dunia masyarakat.

Hampir setiap menit. Siang malam, teleponku terus berdering, mereka yang menghubungiku tak lain adalah mereka yang mengajukan penangguhan. Kebanyakan dari mereka adalah orang tua mahasiswa baru. Selalu dengan nada sendu, menanyakan kejelasan nasib anaknya. Aku selalu mendengarkan keluh kesah mereka. Sangat kompleks macam nasibnya.

Pernah suatu ketika seseorang dengan suara paruh baya menelponku, mengajak bertemu. Kusepakati keinginannya dan bertemu di kampus. Dari kejauhan terlihat seorang nenek berpakaian lusuh, dibawanya seorang gadis muda. Menurut cerita, itu adalah seorang cucu yang ingin mengajukan penangguhan.

Aku sesaat murung, saat ia menyodorkan sebuah plastik. Kulihat isinya beberapa lembar uang ribuan dan sebuah telepon genggam. Ukur ieu nu digaduhan ku ema mah, sep. Cuma ini yang emak punya, katanya. Nenek itu memelukku. Cucunya menangis, memohon untuk memberikan isi plastik itu kepada pihak kampus. Barangkali pesannya: hanya isi plastik ini yang kami punya, bukan puluhan juta seperti yang ditentukan.

Ada pula cerita tentang seorang pemuda yang datang bersama kakek tua. Dia sedikit pendiam. Mengaku datang dari sebuah desa di Indramayu. Hanya membawa bekal 100 ribu rupiah. Nekad sekali.

Kakek tua itu ternyata adalah bapaknya. Sepulang sekolah, pemuda ini sehari-hari bekerja sebagai pengrajin sapu. Itu pula yang menjadi dasar ia ingin masuk jurusan seni rupa. Mimpinya, ia ingin menjadi dosen seni dan seniman yang handal.

Sayang, lagi-lagi biaya yang menjadi kendala. Dia meneteskan air mata kala disodorkan sepucuk surat perjanjian dari pihak kampus. Isinya biaya masuk bisa dicicil, tetapi dengan biaya awal 2,6 juta rupiah. “Saya ingin sekali kuliah, tetapi saya tidak sanggup membayar biayanya” suaranya tersedu, “bahkan untuk membayar biaya awal sekalipun” tambahnya.

Satu kepedihan mendalam kala melihat satu per satu mahasiswa baru mengundurkan diri karena ketidaksanggupan. Merekalah para tunas bangsa yang kelak akan mengisi gedung-gedung pemerintahan, membuka pidato kenegaraan, menjadi pengajar yang handal, dan bahkan menjadi seorang presiden.

Aku terkadang skeptis kepada mereka, wakil rakyat terhormat. Para parlente yang seharusnya dapat menyambang lidah rakyat: tentang pendidikan tinggi, semangat tunas bangsa, dan mahalnya biaya kuliah. Sesuatu yang telah termaktuk jelas dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke empat, salah satu tujuan negara Indonesia. “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. (*)

Restu Nur Wahyudin. Ketua Subbidang Partisipasi Sosial Politik Mahasiswa Hima Satrasia. Koordinator Advokasi Forum Komunikasi Mahasiswa (Forkom) FPBS UPI.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

1 komentar:

  1. SUDAHLAH, JANGAN MENGELUH !!!
    MARI KITA BUAT PETANI TERSENYUM
    KETIKA PANEN TIBA

    Petani kita sudah terlanjur memiliki mainset bahwa untuk menghasilkan produk-produk pertanian berarti harus gunakan pupuk dan pestisida kimia, NPK yang antara lain terdiri dari Urea, TSP dan KCL serta pestisida kimia pengendali hama sudah merupakan kebutuhan rutin para petani kita, dan sudah dilakukan sejak 1967 (masa awal orde baru) , dengan produk hasil pertanian mencapai puncaknya pada tahun 1984 pada saat Indonesia mencapai swasembada beras dan kondisi ini stabil sampai dengan tahun 1990-an.
    Petani kita selanjutnya secara turun temurun beranggapan bahwa yang meningkatkan produksi pertanian mereka adalah Urea, TSP dan KCL, mereka lupa bahwa tanah kita juga butuh unsur hara mikro yang pada umumnya terdapat dalam pupuk kandang atau pupuk hijau yang ada disekitar kita, sementara yang ditambahkan pada setiap awal musim tanam adalah unsur hara makro NPK saja ditambah dengan pengendali hama kimia yang sangat merusak lingkungan dan terutama tanah pertanian mereka semakin tidak subur, semakin keras dan hasilnya dari tahun ketahun terus menurun.

    Tawaran solusi terbaik untuk para petani Indonesia agar mereka bisa tersenyum ketika panen, maka tidak ada jalan lain, perbaiki sistem pertanian mereka, ubah cara bertani mereka, mari kita kembali kealam.

    System of Rice Intensification (SRI) yang telah dicanangkan oleh pemerintah (SBY) beberapa tahun yang lalu adalah cara bertani yang ramah lingkungan, kembali kealam, menghasilkan produk yang terbebas dari unsur-unsur kimia berbahaya, kuantitas dan kualitas, serta harga produk juga jauh lebih baik. Tetapi sampai kini masih juga belum mendapat respon positif dari para petani kita, karena pada umumnya petani kita beranggapan dan beralasan bahwa walaupun hasilnya sangat menjanjikan, tetapi sangat merepotkan petani dalam proses budidayanya.

    Selain itu petani kita sudah terbiasa dan terlanjur termanjakan oleh system olah lahan yang praktis dan serba instan dengan menggunakan pupuk dan pestisida kimia, sehingga umumnya sangat berat menerima metoda SRI ini. Mungkin tunggu 5 tahun lagi setelah melihat petani tetangganya berhasil menerapkan metode tersebut.

    Kami tawarkan solusi yang lebih praktis yang perlu dipertimbangkan dan sangat mungkin untuk dapat diterima oleh masyarakat petani kita untuk dicoba, yaitu:

    "BERTANI DENGAN POLA GABUNGAN SISTEM SRI DIPADUKAN DENGAN PENGGUNAAN PUPUK ORGANIK AJAIB SO/AVRON/NASA + EFFECTIVE MICROORGANISME 16 PLUS (EM16+), DENGAN SISTEM JAJAR LEGOWO".

    Cara gabungan ini hasilnya tetap PADI ORGANIK yang ramah lingkungan seperti yang dikehendaki pada pola SRI, tetapi cara pengolahan tanah sawahnya lebih praktis, dan hasilnya bisa meningkat 60% — 200% dibanding pola tanam sekarang.

    Semoga petani kita bisa tersenyum ketika datang musim panen.

    AYOOO PARA PETANI DAN SIAPA SAJA YANG PEDULI PETANI!!!! SIAPA YANG AKAN MEMULAI? KALAU TIDAK KITA SIAPA LAGI? KALAU BUKAN SEKARANG KAPAN LAGI?

    CATATAN:
    Bagi Anda yang bukan petani, tetapi berkeinginan memakmurkan/mensejahterakan petani sekaligus ikut mengurangi tingkat pengangguran dan urbanisasi masyarakat pedesaan, dapat melakukan uji coba secara mandiri system pertanian organik ini pada lahan kecil terbatas di lokasi komunitas petani sebagai contoh (demplot) bagi masyarakat petani dengan tujuan bukan untuk Anda menjadi petani, melainkan untuk meraih tujuan yang lebih besar lagi, yaitu Anda menjadi AGEN SOSIAL penyebaran informasi pengembangan system pertanian organik diseluruh wilayah Indonesia.

    Semoga Indonesia sehat yang dicanangkan pemerintah dapat segera tercapai.

    Terimakasih,

    Omyosa -- Jakarta Selatan
    02137878827; 081310104072

    BalasHapus