Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Biaya Kuliah Mahal, Pengangguran Terdidik Meningkat

Leave a Comment


















Teropong, Pikiran Rakyat, 11 Juli 2011.

Kuliah di era kekinian, tidak ubahnya sebagai suatu barang mahal. Semangat pemuda untuk mengecap jenjang perguruan tinggi, terganjal oleh biaya yang tingginya selangit.

Sekedar gambaran, jumlah mahasiswa Indonesia saat ini baru mencapai 4,2 juta orang. Bila dihitung terhadap populasi penduduk berusia 19-14 tahun, maka angka partisipasi kasarnya baru mencapai 18,4 persen. Adapun bila dihitung terhadap populasi usia 19-30 tahun, angka partisipasi kasarnya baru 23 persen (BPS, 2010). Jumlah ini masih tertinggal dibanding dengan Negara-negara maju.

Padahal sangat jelas negara menjamin hak-hak dasar setiap warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan. Upaya tersebut dapat dilihat dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke empat, salah satu tujuan Negara Indonesia yakni “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Sementara di pasal 31 UUD 1945, tertera jika setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Akan tetapi pada kenyatannya, pemerintah sebagai pemangku kebijakan, seakan lepas tangan mendanai pendidikan perguruan tinggi.

Alih-alih tidak memberikan subsidi secara penuh terhadap pendidikan, pemerintah malah menerapkan otonomisasi kepada perguruan tinggi. Ketika otonomi kampus mulai dijalankan, terjadi kenaikan biaya kuliah 300-400% sepanjang tahun 1999. Sementara setiap tahunnya, mahasiswa harus mengeluarkan biaya sebesar Rp 4-18 juta. Dengan demikian, bagaimana mungkin anak-anak dari 38 juta rakyat Indonesia yang miskin mampu menjangkau tingkat pendidikan tinggi.

Selain itu, PTN pun mulai membuka diri kepada investasi modal ke kampus. Beberapa PTN mulai gencar melakukan program kerjasama dengan perusahaan-perusahaan yang terkait. Sarana-sarana yang dimiliki oleh kampus pun mulai di “go public” kan demi mendapatkan surplus. Otonomi Kampus telah menjadikan kampus ibarat perusahaan jasa yang sedia menyediakan jasa bagi mereka yang menanamkan saham. Institusi pendidikan tinggi negeri sudah tidak menjadi pilihan bagi rakyat kecil untuk menyekolahkan anaknya ke jenjang perguruan tinggi.

Pil Pahit

Minimnya partisipasi masyarakat untuk mengakses jenjang perguruan tinggi, disebabkan oleh semakin naiknya biaya kuliah setiap tahunnya. Data menyebutkan, angka kenaikan biaya pendidikan pada bulan Juli 2009 jika dibandingkan dengan tahun 2000 mencapai 227 persen.

Saat ini biaya masuk perguruan tinggi di Indonesia, sudah mencapai puluhan juta rupiah. Biaya tersebut jelas membuat panik bagi rakyat Indonesia yang menurut data BPS (periode Agustus, 2010), memiliki rata-rata pendapatan perbulan Rp 1.068.000.

Jika dihubungkan dengan pekerjaan rakyat Indonesia yang secara dominan berprofesi sebagai petani dan nelayan sebesar 42,8 juta jiwa, lalu diikuti oleh pekerja atau buruh pabrik dan pertambangan dengan total 14,24 juta jiwa serta masyarakat yang berwiraswasta sebanyak 22,1 juta jiwa. Tentunya hampir 70% diantara mereka hanya memiliki pendapatan yang tidak lebih dari pendapatan rata-rata secara nasional perbulannya sebesar Rp 1.068.000.

Melihat dari besaran pendapatan tersebut, maka akan melahirkan ketimpangan dalam akses perguruan tinggi di Indonesia. Hal ini dikarenakan bagi orang tua calon peserta didik yang berprofesi sebagai petani, buruh, dan pedagang kecil akan berpikir ulang untuk melanjutkan jenjang pendidikan tinggi bagi anaknya. Pertimbangan yang diambil oleh mereka tentunya akan sangat bersifat ekonomis.

Mungkin seorang buruh hanya bisa bermimpi, jika anaknya bisa menjadi sarjana. Karena upah dan sistem kerjanya sangat sulit untuk menyekolahkan anaknya. Buruh tani dan petani miskin mungkin hanya bisa gigit jari. Sementara, bagi kaum miskin perkotaan mungkin akan menganggap bahwa itu sebuah mukjizat, jika anaknya bisa berkuliah.

Celakanya, mahalnya biaya masuk perguruan tinggi tidak sebanding dengan apa yang didapat oleh mahasiswa. Salah satu indikatornya adalah terus meningkatnya pengangguran terdidik di Indonesia.

Berdasarkan data Kementrian Tenaga Kerja dan Trasportasi, pengangguran terdidik meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2005, penganggur lulusan D3 mencapai 322.836 orang, kemudian meningkat menjadi 486.000 orang pada 2009. Pada tahun 2005, angka penganggur lulusan S1 mencapai 385.418, dan melonjak menjadi 626.000 orang pada 2009.

Bagaimanapun, pendidikan adalah pilar perubahan bangsa. Pemerintah sejatinya harus bertanggung jawab menjamin secara penuh akses pendidikan perguruan tinggi. Dengan demikian, kuliah bukanlah sebuah utopis bagi rakyat Indonesia. Karena semakin tinggi pendidikan bangsa, niscaya Negara dan bangsa akan sejahtera. Semakin congkak pendidikan bangsa, bukan tidak mungkin, Indonesia hanya akan menjadi sebuah nama.

*Restu Nur Wahyudin, Kepala Departemen Jaringan Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI Bandung. Anggota Front Mahasiswa Nasional.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar