Dimuat di Lampung Post, Jumat 13 April 2012.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan negara terjebak dalam alur liberalisasi dengan berusaha meminimalisasi kucuran dana untuk sektor pendidikan.
RANCANGAN
Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) sudah memasuki tahap paripurna
di DPR. RUU ini harus dikritisi, sebab ada sejumlah pasal krusial yang
tidak sesuai dengan kondisi masyarakat kita.
Secara
substansial, Indonesia merupakan negara yang menjamin hak-hak setiap
warga negaranya. Salah satu upaya tersebut dapat dilihat dalam pembukaan
UUD 1945 alinea keempat. Salah satu tujuan negara Indonesia yakni
“mencerdaskan kehidupan bangsa”. Implementasi dari tujuan negara
tersebut dapat dilihat pada Pasal 31 Ayat (1) UUD 1945, di mana setiap
warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Tetapi, apa
yang termaktub pada UUD tersebut berbanding terbalik dengan kenyataan.
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan negara terjebak dalam alur
liberalisasi dengan berusaha meminimalisasi kucuran dana untuk sektor
pendidikan.
Sektor Jasa
Indikasi
tersebut terlihat ketika Indonesia bergabung di World Trade Organization
(WTO) dan meratifikasi perjanjian General Agreement on Trade in
Services (GATS). Dalam perjanjian ini, pendidikan tinggi termasuk ke
dalam 12 sektor jasa yang dijadikan komoditas.
Dampak
paling terasa ketika pendidikan diklasifikasikan sebagai sektor jasa
adalah lahirnya produk hukum yang berorientasi komersil. Tiga tahun
lalu, pemerintah melahirkan UU Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum
Pendidikan (BHP). Dalam UU ini, muncul istilah otonomisasi PT. Suatu
kewenangan di mana PT berhak mengelola dana pendidikan secara mandiri.
Jelas,
secara tersirat pemerintah seakan lepas tanggung jawab pada pendanaan
pendidikan tinggi. Berbagai gelombang penolakan pun mengalir dari
berbagai elemen masyarakat.
Oleh karena itu, tidak
berlebihan pula pada 2010 Mahkamah Konstitusi membatalkan UU BHP karena
bersinggungan dengan apa yang termaktub dalam UUD 1945. Rencana
melanggengkan liberalisasi pada sektor pendidikan ternyata masih belum
habis hingga kini. RUUPT yang mulai hangat di permukaan publik pada 2011
ini memuat sejumlah pasal yang krusial bagi PT di Indonesia.
Otonomisasi PT
Pada
bagian keempat draf RUUPT revisi 31 Maret 2012, disebutkan tentang
otonomi PT untuk mengelola lembaga sendiri, baik dalam bidang akademik
maupun nonakademik. Adapun bidang nonakademik tersebut antara lain
organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan, dan sarana prasarana.
Secara
bentuk, otonomi PT dapat berupa badan layanan umum (BLU) dan badan
hukum. Khusus untuk yang terakhir, pada Pasal 66 dijelaskan bila badan
hukum memiliki sejumlah kewenangan, antara lain mengelola dana secara
mandiri, mengangkat dan memberhentikan pegawainya sendiri, menutup dan
membuka program studi, dan mengelola kekayaan negara yang dipisahkan
kecuali tanah.
Lahirnya otonomisasi PT mengarah pada
munculnya komersialisasi pendidikan. Praktik komersialisasi yang biasa
dilakukan antara lain menaikkan biaya masuk kuliah dan membuka keran
komersialisasi sarana kampus kepada publik (go public). Ketika
PT dijadikan ladang keuntungan komersil, akan makin menjauhkan
pendidikan tinggi dari perannya sebagai lembaga ilmiah untuk membedah
persoalan rakyat.
Sekadar gambaran, biaya masuk kuliah
saat ini sudah mencapai puluhan juta rupiah. Jelas, biaya menjadi faktor
utama bagi rakyat Indonesia untuk kuliah. Hal ini bisa terlihat dari
jumlah mahasiswa di Indonesia baru mencapai 4,2 juta orang. Bila
dihitung terhadap populasi penduduk 19—24 tahun, angka partisipasi
kasarnya hanya mencapai 18,4%.
Memang, dalam Pasal 72 PTN
diwajibkan menjaring calon mahasiswa yang memiliki potensi akademik
tinggi, tapi kurang mampu secara ekonomi untuk diterima paling sedikit
20% pada semua program studi. Namun, pasal tersebut tetap terkesan
mengeliminasi akses berkuliah bagi calon mahasiswa yang tidak mampu dan
tidak memiliki potensi akademik.
Bila demikian, tentunya
bertentangan dengan amanat UUD 1945 Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi:
"Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan" yang dapat diartikan
dalam penyelenggaraan pendidikan baik jenjang dasar hingga tinggi, tidak
boleh melakukan tindakan diskriminasi secara ras, agama, suku, dan
kelas sosial.
RUUPT terkesan menggiring pendidikan
Indonesia pada persaingan global. Hal ini tercermin dari Pasal 89 Ayat
(1) yang menyebutkan negara lain dapat menyelenggarakan pendidikan
tinggi di Indonesia.
Keran globalisasi yang makin terbuka
lebar harus diiringi dengan kualitas pendidikan nasional. Jangan sampai
kita tersilaukan oleh reputasi internasional. Masuknya PT asing ke
Indonesia bagaimanapun akan mengekspansi watak-watak pendidikan dari
negara asalnya. Indonesia belum siap menghadapinya.
*Restu Nur Wahyudin, Ketua Unit Kegiatan Studi Kemastarakatan (UKSK) UPI Bandung.
0 komentar:
Posting Komentar