Restu Nur Wahyudin

-Teacher, Writer, and Adventurer-

Dilema Lulusan Pendidikan Tinggi

1 comment
 Dimuat di Pikiran Rakyat, 1 November 2012



Kawan saya, seorang mahasiswa ambisius. Dari awal masuk kuliah ia bercita-cita menjadi guru bahasa di luar negeri. Selain di kelas, kebanyakkan waktunya disibukkan di ruang perpustakaan. Selalu menyendiri. Nyaris tiada waktu senggang untuk sekadar bersosialisasi. Berbagai pengetahuan tentang keguruan dan kebahasaan, ia kuasai. Wajar, pada akhir perkuliahan, IPK-nya sangat tinggi.

Setelah ia diwisuda, lama kami tak berjumpa. Sampai suatu ketika, saya berpapasan dengannya. Tas jinjing, digenggam di tangannya. Dalam benak, pasti ia jadi orang besar di negeri orang. Tanpa berpikir panjang, saya menegurnya. Ditimpalinya, tanpa banyak lama. Sebagaimana persahabatan yang lama tak saling jumpa, kami bertukar cerita.

Berceritalah ia tentang kehidupannya. Lulus kuliah ibarat memulai hidup di dunia baru. Tiada lagi ruang-ruang kelas dan perkuliahan. Yang ada, dunia kemasyarakatan nan luas dan terjal. Akibat sifat anti sosialnya semasa di kampus, dia merasa terasing. Termasuk dalam hal mencari lapangan pekerjaan. Celakanya, pendidikan tinggi hari ini tidak memberikan jaminan mendapatkan pekerjaan. Mau tak mau ia harus bersaing dengan jutaan pencari kerja di Indonesia.

Yang membuat saya miris, Ambisi pribadi menjadi guru bahasa di luar negeri, rela ia tanggalkan. Kawan saya yang pintar itu kini berkarier sebagai sales di sebuah perusahaan pengkreditan motor.

Menjadi sales motor, ia dituntut mencari konsumen sebanyak-banyaknya. Maka setiap hari, ia selalu berada di pusat keramaian, menyebar  ratusan lembar list harga cicilan motor pada setiap orang. Bila sedikit konsumen didapat, ia harus bersiap menghadapi pemutusan kerja.

Minus jaminan pekerjaan
Dalam kasus kawan saya, dapat kita asumsikan bahwa jenjang pendidikan tinggi kekinian belum berhasil membuka jalan masa depan potensi mahasiswa sesuai jurusannya. Lebih jelasnya lagi, pendidikan tinggi hari ini tidak memberikan jaminan untuk mendapatkan pekerjaan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terjadi peningkatan jumlah pengangguran terdidik lulusan S1 beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2004 mencapai 348.107 orang, meningkat menjadi 612.714 orang pada 2011.

Padahal, untuk mengecap jenjang Perguruan Tinggi (PT) dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Besaran biayanya pun cenderung meningkat setiap tahunnya. Bahkan, saat ini biaya masuk kuliah sudah mencapai puluhan juta rupiah. Tentunya, hal tersebut sangat kontradiktif bila dihubungkan dengan ketiadaan jaminan mendapatkan pekerjaan bagi para lulusan PT.

Pasca lulus dari PT, para sarjana terkesan dibebaskan untuk terjun dalam persaingan dunia kerja. Potensi tanpa arahan, hanya akan berujung pada kesalahan. Hal ini seakan mengondisikan lulusan PT pada posisi yang dilematis. IPK yang besar sekalipun ibarat butiran debu bila keilmuannya tidak dapat dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Alih-alih tidak dapat bersaing secara keilmuan, tidak sedikit yang beralih jalan dan berujung pada reorientasi potensi. Lulusan PT pun ibarat kawah candradimuka calon pekerja bagi para borjuis-kapitalis. Jumlah sarjana yang terus meningkat setiap tahunnya, tidak diiringi dengan ketersediaan lapangan pekerjaan. Hal ini kian menjerumuskan lulusan PT pada skema kerja yang terkesan tidak demokratis semisal kerja kontrak dan outsourcing (alih daya).

Para lulusan PT tersebut harus menanggalkan jalan masa depan sesuai keterampilan ilmunya. Ambil contoh, sarjana pendidikan tetapi bekerja sebagai sales motor, sarjana pertanian bekerja sebagai teller bank, atau sarjana sastra tetapi bekerja sebagai penjaga keamanan.

Pendidikan Kritis
Sejatinya, PT merupakan lembaga pendidikan pencetak para calon pemimpin bangsa. Jalan untuk merealisasikan harapan tersebut, terimplementasikan dalam tridharma PT, yakni  memberikan pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Hanya saja, masuknya skema liberalisasi dalam sektor pendidikan tinggi kian mengeliminasi tridharma PT.

Pemerintah seakan melepas tanggung jawab pendanaan terhadap pendidikan tinggi. Akibatnya, PT pun ibarat pasar yang memiliki berbagai usaha untuk dapat dikonsumsi oleh publik. Sementara itu, biaya masuk kuliah naik selangit, menembus angka puluhan juta rupiah. PT seakan hanya diakses bagi golongan kelas berada yang memiliki dana lebih untuk berkuliah.

Dampak yang paling terasa dari masuknya liberalisasi tersebut terletak pada watak mahasiswanya. Aroma pragmatisme dan opertunisme sangat terasa dalam diri mahasiswa. Atas dasar meningkatnya persaingan dunia kerja, mahasiswa dicetak cepat lulus dengan kualitas yang belum tentu sudah siap.

Pemahaman “cepat lulus dan hidup sukses setelah lulus” ditebarkan dalam benak mahasiswa. Kepedulian terhadap berbagai masalah sosial pun seakan kian terpinggirkan. Maka wajar ketika banyak mahasiswa yang lebih menyibukkan diri di kelas ketimbang dalam kehidupan bermasyarakat.
Paradigma kritis sejatinya harus ditumbuhkan dalam diri mahasiswa. Selain dihadapkan pada kepentingan pribadi, mahasiswa harus mengutamakan kepentingan rakyat yang masih belum lepas dari berbagai persoalan.

Sangat jelas bila pengabdian pada masyarakat merupakan jalan strategis yang dapat dilakukan oleh mahasiswa. Taruhlah bila mahasiswa sastra dihadapkan pada persoalan banyaknya rakyat yang buta huruf, mahasiswa arsitek dihadapkan pada maraknya rumah tak layak pakai di perdesaan, sementara mahasiswa matematika dihadapkan pada persoalan banyaknya rakyat di daerah terpencil yang tidak dapat berhitung. Hal tersebut, akan mengarahkan mahasiswa pada arah masa depannya.

Jaminan mendapatkan pekerjaan tentunya menjadi hak yang wajib bagi para mahasiswa. Pelayanan pendidikan tinggi pun harus ditekankan pada aspek kualitas mahasiswanya agar berguna bagi masyarakat. Jangan sampai PT dianalogikan sebagai pabrik yang mencetak produk dengan jangka waktu cepat dan kualitas seadanya.

*Restu Nur Wahyudin, Ketua Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK).
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

1 komentar: